Kisah Nyata Tentang Kelompok NII
Beberapa waktu lalu, santer
pemberitaan tentang NII, terutama pasca diculiknya salah satu PNS Kementerian
Perhubungan beberapa waktu lalu. Di beberapa perguruan tinggi, tidak terkecuali
UGM, diadakan koordinasi untuk mencegah masuknya NII ini di lingkungan kampus.
Ada dosen saya yang bilang bahwa salah satu mahasiswanya (S1) disinyalir
terkena imbas NII ini. Jarang kuliah, sering ngilang dari kostnya, dan tidak
pernah kontak dengan kerabat (termasuk ortunya).
Yah,… NII ini kayaknya memang ‘susah’
untuk diberantas karena komunitasnya sudah berbaur dengan masyarakat pada
umumnya. Apalagi masyarakat yang di dalamnya terjalin kontak hanya secara
kebatinan saja, seperti masyarakat di kota. Saya bukan hendak memberikan
analisa yang bermacam-macam seperti yang ada di banyak media. Saya cuma mau
cerita tentang seseorang yang terjebak – katanya – di NII. Singkat kata, orang
itu – sebut saja si A - bercerita begini (kurang lebihnya, dengan bahasa saya):
Si A ini pernah kuliah di salah satu
kota besar di Jawa Barat. Si A ini dulunya memang badung. Tapi semenjak masuk
kuliah, ia banyak berinteraksi dengan beberapa temannya. Ada yang aktifis, ada
pula yang ‘preman’. Kalau dekat dengan teman ‘preman’ alias jagger, itu mah
biasa. Di SMA kota asalnya dulu, katanya, ia pun berperan jagger kecil-kecilan.
Ini bahasa saya loh, tanpa mengurangi makna yang akan diceritakan. Ia sempat
agak kaget datang ke kampus yang memberikan suasana lain dibandingkan kota
asalnya dulu. Banyak aktifitas, mulai yang bener sampai yang nggak bener. Ia
pingin ‘mencoba’ sesuatu yang baru, yaitu aktif berinteraksi dengan teman-teman
yang berbau ‘rohis’. Ia pun kemudian ikut beberapa pengajian. Ia anggap
semuanya baik, walau ia sebenarnya bisa bersikap kritis. Ia punya satu teman.
Anggaplah namanya B. Si B ini terkenal preman kampus, temen-temennya banyak.
Apalagi statusnya sebagai mahasiswa yang tinggal kelas alias nunggak (dalam
bahasa Jawa), karena dulu di perguruan tinggi itu menerapkan sistem paket untuk
mahasiswa tingkat satu. Yang IP nya di bawah 2,00 tinggal kelas. Si B termasuk
golongan ini.
Baca Juga: Kisah Lainnya
Interaksi awal antara si A dengan si
B ini tidaklah begitu akrab. Namun tiba-tiba kok – kata si A – si B ini
mendekati dia. Main ke tempat kost dia. Ngomong-ngomong masalah agama. Satu
yang diingat si A ini, si B – yang notabene preman kampus waktu itu – sering
ngomongin ayat tentang sifat orang yang tidak mau menerima syari’at Allah,
seperti anjing yang menjulurkan lidahnya. Mungkin yang dimaksud si B ini adalah
ayat:
وَلَوْ شِئْنَا
لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ
فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ
يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ
الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan kalau Kami menghendaki,
sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia
cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka
perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan
jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga) Demikian itulah
perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah
(kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir” (QS. Al-A’raf: 176)
Tapi berhubung si A ini sama bodohnya
dengan si B waktu itu, ya cuma manggut-manggut saja. Satu ketika, setelah
beberapa kali berkunjung ke kost-kostan, si B ini ngomong sama si A bahwa ia
ingin memperkenalkan seorang ustadz kepada si A. Si A pikir, apa salahnya
kenalan sama ustadz, toh di kampus ia pun kadang ubyang-ubyung ngikut-ngikut
‘ustadz kampus’ yang ngasih asistensi sama adik kelasnya. Setelah sepakat kapan
waktu ketemuannya, maka datanglah si B dengan pak Ustadz. Ustadz itu namanya
pak Ali, asalnya Surabaya. Nama Ali itu bukan nama sebenarnya, tapi nama
setelah menjadi ‘ustadz’.
Pertemuan pertama, diisilah dengan
basa-basi dan say hello, siapa kamu dan siapa saya. Tapi tidak lama kemudian,
kata si A, sesuai dengan jabatan pak ‘Ali yang diperkenalkan sebagai ustadz
oleh si B, maka pembicaraannya dialihkan kepada materi pengajian. Pak Ali, si
A, dan si B pun akhirnya berbicara asik bertiga tentang pengajian. Si A ini
merasa tertarik sehingga di akhir pertemuan, ia mengusulkan kepada pak Ali agar
bisa mengajak teman-temannya ikut serta. Tapi jawaban pak Ali, katanya gak
boleh, karena apa yang disampaikan kepada si A ini sifatnya ‘intensif’,
pembinaan pribadi. Sebenarnya si A ini merasa agak aneh, kok kalau misalnya
baik, kenapa gak boleh ngajak teman ?. Tapi sifat kritisnya itu terkalahkan
oleh kebodohannya, begitu kata si A.
Pengajian pun dilanjutkan beberapa
kali pertemuan. Kata si A, materi yang disampaikan oleh pak Ali ini melulu
berkisar pada masalah hijrah. Hijrah dari kekafiran menuju keimanan. Hijrah
dari fase Mekkah ke fase Madinah. Ada pembicaraan lain, tapi akhirnya
dikembalikan ke topik inti, masalah hijrah. Ada satu hal yang menurut si A
membuatnya terkesan dengan pak Ali. Pernah satu kali, di satu hari, waktu
malam, ada janjian pengajian di kamar kost si A. Hari itu mendung, dan mau
hujan, dan akhirnya hujan pun turun. Si A pikir, kayaknya pak Ali gak bakal
datang karena hujan. Maklum. Namun ternyata, pak Ali datang ke kostannya si A
ini dengan baju basah kehujanan. Si A ini nanya sama pak Ali, kenapa ia nekat
datang, padahal hari hujan. Besok-besok juga bisa, toh hari bukan hanya hari
ini saja. Kata si A, pak Ali ini ngejawab bahwa apa yang ia lakukan ini
merupakan jihad. Ya intinya kurang lebih seperti itu. Pikir si A, wah ini baru
ustadz jempolan. Tetap datang walau hari hujan, gak seperti ustadz-ustadz yang
lain.
Nah,… akhirnya pada satu ketika si B
main lagi – seperti biasa – ke kostan si A. Ia ngajak si A, gimana kalau kita
main ke rumah pak Ali. Si A bilang, oke saja lah, asal di hari yang gak ada
kuliah. Akhirnya pada hari yang ditentukan, si A dan si B bertemu di kostan si
A. Kalau gak salah ingat, kata si A, hari itu adalah hari Sabtu siang. Akhirnya
mereka berdua berangkat dengan bus umum tigaperempatan menuju rumah pak Ali di
sebuah kota besar, yang jaraknya tidak jauh dari kota tempat kampus mereka
berdua. Ada hal yang aneh tapi lucu yang diinget si A akan kelakukan si B. Si B
ini niatnya mau mbayarin si A, sok ngebos lah… Ketika ditarikin sama keneknya,
ternyata si B ini menjalankan aksi premannya dengan menampakkan kesangaran
kepada si kenek. Si B ini mbayar dengan ongkos kurang untuk mereka berdua.
Tentu saja si kenek minta kekurangannya. Tapi akhirnya si kenek merasa
terintimidasi dan membiarkan aksi premanisme ala mahasiswa terjadi di busnya.
Tibalah mereka berdua di sebuah
tempat. Si A manut saja diajak si B kemana, soalnya si A ini kuper tentang
daerah situ, sementara si B ini, dari gayanya – kata si A -, sepertinya
mengenal seluk-beluk daerah tersebut. Mereka berdua pun menyusuri jalan, yang
akhirnya tiba di sebuah rumah berukuran sedang. Setelah si B mengucapkan salam,
mereka berdua masuk. Ternyata di situ telah ada ada beberapa orang yang membuka
halaqah-halaqah kecil secara terpisah. Ada yang di kamar tidur, ada yang di
kamar tamu, dan yang lainnya. Nah, ketika datang, ketemulah si A dengan pak
Ali. Namun di situ si A hanya bertemu dan ngobrol sebentar. Diperkenalkanlah
kemudian si A dengan seseorang yang lebih tua usianya dari pak Ali. Sebut saja
pak C. Ngobrol punya ngobrol, kata pak Ali dan pak C, malam nanti akan ada
pertemuan, pengajian, wisuda, atau apalah istilahnya, si A ini sudah lupa.
Setelah itu, maka pak Ali dan si B, ‘menyerahkan’ si A kepada pak C untuk
dibina. Dibawalah si A ke sebuah ruangan untuk diinduksi materi yang isinya
tidak jauh dengan yang diomongkan oleh pak Ali sebelumnya. Hijrah. Kafir jadi
Mukmin. Si A mendengarkan saja apa yang dikatakan pak C. Di akhir pembicaraan,
pak C menginterograsi si A. Siapa nama bapaknya, ibunya, saudaranya, dan
kerabat-kerabatnya. Begitu pula dengan pekerjaannya. Ada nggak yang masuk TNI
atau Polisi. Si A pun menjawab sebagaimana keadaannya. Hanya satu yang tidak ia
katakan, bahwa ia punya saudara – meskipun jauh – anggota TNI di Cijantung (1)
Setelah litsus selesai, pak C melanjutkan dengan membicarakan ayat-ayat
shadaqah/zakat. Sistem pak C menyampaikan ini, kata si A, adalah: pak C
menyebutkan surat apa dan ayat berapa, kemudian si A disuruh membacanya
sendiri. Dibacanyalah ayat itu oleh si A. Intinya, kita, kaum muslimin, lebih
khususnya mereka berdua (antara si A dan pak C) mempunyai kewajiban
bershadaqah. Langsung saja pak C nembak kepada si A, berapa bisa membayarkan
shadaqah kepada pak C (atau kelompoknya pak C) Si A bingung, karena ia
statusnya masih mahasiswa yang belum punya penghasilan, sementara shadaqah atau
zakat yang diminta oleh pak C ini rutin. Pak C menyebutkan sekian ratus. Si A
merasa keberatan. Akhirnya setelah nego, si A hanya bisa sanggup berkomitmen
membayarkan sekian puluh ribu yang akan disisihkan dari kiriman bulanan bapak
dan ibunya. Nilai uang segitu waktu itu cukup banyak, apalagi jika dibandingkan
dengan nilai uang di waktu sekarang.
Ini si A bodoh juga,…. kenapa ia
sanggupi komitmen nyetor segitu, padahal bapak ibunya bukan orang kaya, cuma
PNS biasa.
Lanjut lagi,…. Setelah selesai
pengajian dengan pak C, maka si A dibiarkan istirahat. Pak C bilang, nanti si A
mau diajak ke suatu tempat yang lebih besar lagi. Akhirnya, setelah rehat
sejenak, pak C mengajak si A pergi ke tempat yang dimaksud dengan naik motor. Puter-puter
di kota besar, hingga sampailah pak C dengan si A di suatu rumah. Sepertinya
perumahan. Rumahnya lebih kecil daripada sebelumnya. Setelah mengucapkan salam,
mereka berdua masuk. Yang menarik, kata si A, istri yang punya rumah
kerudungnya nya kerudung gak serius. Pendek. Keluar rumah juga pake daster.
Rambutnya sedikit keliatan keluar. Kalau di rumah, kerudungnya kadang dibuka,
meski ada beberapa orang tamu, termasuk si A dengan pak C. Nah, yang punya
rumah ini adalah pak D. Antara pak C dengan pak D ini, kata si A, kadang
ngomong dengan bahasa isyarat atau memakai istilah-istilah khusus yang tidak
dipahami oleh oleh si A. Selain si A, di situ ada beberapa orang, termasuk ada
anak yang masih berbaju SMA. Mereka beberapa saat duduk, yang sepertinya pak C
dan Pak D ini menunggu seseorang.
Sebenarnya si A ini sudah merasa agak
janggal semenjak pertemuannya dengan pak C di rumah pertama. Apalagi sekarang
si B dan pak Ali kabur begitu saja. Sudah ada rasa kekhawatiran.
Lanjut,… akhirnya yang ditunggu datang
juga. Pak E. Seseorang yang disegani oleh pak C dan Pak D. Sepertinya, ia
adalah ‘atasan’ mereka berdua. Setelah ngobrol sana, ngobrol sini, dikasih
induksi materi yang sama dengan sebelumnya, maka si A kembali diinterograsi.
Siapa nama ayahnya, ibunya, saudaranya, kerabatnya, dan seterusnya seperti di
tempat pertama. Ketidaksregan si A ini semakin membesar, apalagi ketika mati
lampu, kalau gak salah pak D atau pak E ini bilang: ‘Sialan’. Walah,….. dari
kualitas ngomongnya saja – pikir si A – lebih level anak rohis kampus. Ini mah,
orang biasa saja, gumam kecurigaan si A dalam hati. Apalagi tampang-tampangnya
yang sama sekali gak menunjukkan ustadz, apalagi ulama. Mulai dari si B, pak C,
pak D, dan Pak E. Dikecualikan pak Ali, yang tampangnya memang sedikit lebih
‘ngustadz’ dibanding yang lain.
Kembali ke cerita interograsi. Si A
pun mulai berpikir, bagaimana ia bisa keluar dan pulang dari tempat itu, walau
ia sendiri gak tahu jalan pulangnya. Akhirnya ia pun ingat di fase interograsi
yang pertama bahwa sesuatu yang ‘dihindari’ dan begitu dicari betul-betul
informasinya adalah: Apakah si A ini punya saudara yang kerja di TNI atau
kepolisian. Pikiran (sedikit) cerdas si A mulai muncul setelah sebelumnya
berpikir bodoh. Akhirnya ia pun mengatakan bahwa ia mempunyai saudara TNI di
Cijantung, sesuatu yang tidak ia katakan di fase pertama. Agak kaget memang. Si
A pun ditanya: Apakah ia sering ketemu, apakah hubungannya dengan si tentara
baik, dan yang semisalnya. Sebenarnya, si A dengan saudaranya yang tentara itu
sangat-sangat jarang bertemu. Karena jarang bertemu, ya tentu saja nggak akrab.
Namun demi bisa keluar dari tempat itu, si A pun ‘terpaksa’ berbohong dengan
mengatakan: Sering ketemu, hubungannya baik dan akrab.
Insting intimidasi premanisme nya
semasa SMA yang sebelumnya terpendam, mulai nampak (atau dinampakkan?) Mungkin
si A sudah kesal, karena merasa dikibuli sama si B yang katanya berkunjung ke
rumah pak Ali, malah akhirnya ia berada di satu tempat yang sama sekali ia gak
kenal. Bicaranya pun agak sedikit meninggi. Kata si A kurang lebih begini:
“Saya itu ke sini karena di ajak oleh si B untuk menemui pak Ali. Tapi mengapa
kedua orang itu malah gak ada. Dan saya kok malah diajak ke sini”. Ya kurang
lebih begitu lah intinya. O iya, dalam pertemuan kedua ini, data-data si A
dicatat, termasuk data KTP, alamat kost dan rumah asal, yang kemudian si A
disuruh ganti nama. Si A menyebutkan satu nama, tapi ia gak mau disebutkan di
sini.
Akhirnya si A di suruh keluar ruangan
dengan ditemani pak C, sementara itu pak D dan pak E ‘rapat’. Di luar ruangan
si A sempat ngobrol-ngobrol dengan pak C, sebenarnya kelompok pengajian ini apa
namanya, dan apakah sudah sejak lama. Tentang identitas kelompok pengajian, pak
C belum mau ngaku. Tapi untuk eksistensi, pak C bilang bahwa kelompok
pengajiannya ini sudah lama sekali. Sudah sejak tahun 1949. Pikiran liar yang
tadi sedikit cerdas, menjadi lebih cerdas lagi, ketika ia mulai ingat pelajaran
sejarah di SMA tentang gerakan Kartosuwiryo 1949. Di luar ruangan, pak C masih saja
memberikan motivasi agar si A tetap semangat. Namun si A sudah kadung kesal. Ia
senyum-senyum manis saja sama pak C walau dalam hati dongkol berat. Akhirnya si
A pun dipanggil. Ia masuk bersama pak C. Pak E bilang ke pak C: “Ini, tahu kan
maksud saya, harus ditinggal”. Pak C agak sedikit bingung. Lalu pak E kembali
mengulangi, yang akhirnya pak C terpaksa paham. Kata si A, sepertinya hanya dia
yang dikembalikan, sementara beberapa orang yang lain yang bernasib sama
dengannya tetap lanjut. Akhirnya dengan tampang sedikit kecewa, pak C pun
bergegas-gegas mengajak si A meninggalkan tempat itu. Dengan berlagak bego, si
A bertanya: “Mau kemana pak?” (padahal ia tahu bahwa ia gak berhasil lulus
seleksi – alhamdulillah -, yang akhirnya ia harus dikembalikan) Ikut saya saja,
kurang lebih begitu kata pak C, sebagaimana penuturan si A. Dengan
kegembiraannya bisa kabur dari tempat itu, si A pun sebenarnya merasa khawatir,
jangan-jangan ia akan dicelakai. Dibawa ke satu tempat dan dianiaya. Hari situ
sudah menjelang maghrib. Akhirnya mereka berdua naik motor jalan muter-muter.
Si A gak tahu sama sekali daerah mana itu. Yang pasti di sekitaran/pinggiran
kota besar. Kekhawatiran si A pun terus berlanjut ketika ia dibonceng pak C. Si
A dalam hati bilang, katanya, kalau pak C ini macem-macem di jalan, akan dia
hajar saja. Gak peduli lah, meskipun sudah setengah baya. Di tengah jalan,
adzan maghrib berkumandang. Si A ngingetin agar berhenti di masjid untuk
menunaikan shalat Maghrib berjama’ah. Tapi kata pak C, entar saja. Setelah
beberapa saat berkendara, berhentilah pak C di sebuah masjid di pojok kota
besar itu. Mereka berdua lalu bergegas menunaikan shalat. Seusai shalat, si A
keluar hendak menuju tempat dimana motor pak C diparkir. Ternyata, pak C dan
motornya sudah lenyap entah kemana. Bingung juga si A, karena ia belum begitu
mengenal daerah itu. Tapi, dibalik rasa bingungnya, ia pun merasa gembira
karena bisa ‘lepas’ juga dari pak C dan orang-orangnya. Ia tinggal ‘membuat
perhitungan’ dengan si B di kampus yang telah menipunya.
Si A pun tanya sana tanya sini
tentang kendaraan menuju kota dimana ia tinggal (ngekos/kuliah) Hari sudah
malam, uang di saku ngepres lagi. Ia pun berjalan sesuai dengan arahan orang
yang ia tanya. Kebetulan jalan raya yang ia telusuri dalam kondisi macet.
Maklum, malam Minggu/Ahad. Tidak dinyana-nyana, di tengah ia berjalan, si A
ketemu dengan pak C yang meninggalkannya di masjid tadi. Tiba-tiba seperti
terserang penyakit gagap, pak C aa’ uu’ minta maaf meninggalkan si A tadi
karena ada urusan. Si A pun bilang gak apa-apa, dan minta tolong dibantu nyegat
bis jurusan ke kota tempat si A tinggal/ngekos. Mungkin dengan terpaksa, pak C
kembali memboncengkan si A dan menurunkannya di pinggir jalan jalur bis yang
dimaksudkan si A. Si A pun turun dan mengucapkan terima kasih sambil tetap
menyimpan dongkol di hati. Pak C pun lalu berlalu entah kemana dengan sepeda
motornya itu. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya bus yang ditunggu pun
datang….. akhirnya ia bisa pulang ke tempas kostannya.
Setelah kejadian itu, hari-hari di
kost, si B gak muncul-muncul menyambangi si A seperti biasanya. Di kampus pun
jarang kelihatan. Tapi akhirnya ia kelihatan juga. Agak rikuh juga si B bertemu
dengan si A. Walau si B ini statusnya preman kampus yang kadang rada-rada sadar
dikit, tapi ia juga gak bisa semena-mena mengintimidasi si A. Selain karena si
A statusnya yang juga mantan preman SMA yang kalau ada yang jual dia beli, si A
juga punya jaringan luas pertemanan di kampus itu. Baik yang badung, ataupun
yang alim. Pendek kata, deking-annya banyak. Karena mau gak mau si B ketemu
sama si A di kampus, yang kebetulan juga satu kelas, ya mau gak mau juga si B
mesti sok akrab lagi dengan si A. Tapi semenjak peristiwa itu, si B tidak lagi
ngomong-ngomong masalah agama dengan si A. Si A pun akhirnya melupakan
peristiwa itu, yang akhirnya lama-kelamaan mereka berdua menjadi ‘akrab’
kembali.
Ceritanya selesai.
Nah, itulah cerita tentang pengalaman
si A dengan kelompok NII. Si A ini, setelah peristiwa tersebut, mulai sedikit
giat belajar. Membaca apa yang harus dibaca dan mendengar yang harus didengar.
Satu saat ia dengar ada temannya yang ikut-ikutan NII. Ia sambangi dan
nasihati. Ternyata, temannya ini lapor ke ‘atasannya’. Akhirnya si A berdiskusi
dengan ‘atasan’ tersebut sampai larut, dan tidak menemukan kata sepakat. Ya
karena si A dan si ‘atasan’ sama-sama masih cetek ilmunya, diskusi pun hanya
berputar pada kerangka logika saja. Begitu kata si A.
Apa yang dituliskan di sini telah
diketahui oleh si A, dan ia ridla dipublikasikan dengan menyamarkan
oknum-oknumnya dan juga tempatnya. Tujuannya adalah sekedar berbagi pengalaman,
barangkali ada faedahnya.
Ini bukan tulisan ilmiah untuk
membantah kesesatan NII. Ini adalah realitas. Jika kemarin kita mendengar salah
seorang PNS yang konon katanya diculik oleh NII, bisa jadi seperti itu. Saya
sendiri tidak bisa membayangkan jika yang direkrut itu adalah wanita, lalu ia
dibawa ke satu tempat yang tidak ia ketahui. Apalagi tabiat wanita yang mudah
sekali ditekan dan diancam.
Sekali lagi, semoga ada manfaatnya.
Footnote:
(1) Kata si A,
tentara itu adalah suami anak budhenya (kakaknya bapak si A)
(Ngaglik, 1432 H)
Penulis: Abul Jauzaa’
(Alumnus IPB & UGM)
Editor: Ahmadi As-Sambasy
Cilacap – Jawa Tengah
Posting Komentar untuk "Kisah Nyata Tentang Kelompok NII"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.