Perintah Menundukkan Pandangan Dari Yang Haram
Oleh: Faishal bin ’Abduh Qa’id
Al-Hasyidi
Dalil dari Al-Qur’an
Allah berfirman:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ
يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ
اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ * وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
Katakanlah kepada orang laki-laki
yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita
yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya”. (QS. An-Nuur: 30-31)
Ibnu Katsir berkata: «Ini adalah
perintah dari Allah ’azza wa jalla kepada hamba-hamba-Nya mukminin untuk
menundukkan pandangan-pandangan mereka dari perkara-perkara yang diharamkan
bagi mereka. Mereka tidak memandang kecuali pada apa yang diperbolehkan bagi
mereka dan untuk menundukkan pandangan dari yang diharamkan, apabila kebetulan
memandang kepada yang haram tanpa disengaja maka langsung memalingkan
pandangannya secepat mungkin ». (1)
Al-Hafidh Abu Bakr Al-Amiriy
rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat {قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ} “Katakanlah kepada orang laki-laki
yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya”: «Dari yang
diharamkan atas mereka (2) Dan lafadh (مِنْ) maknanya adalah sebagian (3), seolah-olah Allah
mengkhususkan bahaya dan keharaman satu jenis dari pandangan, yaitu sebagaimana
yang telah aku isyaratkan, dan tidak mengharamkan sebagian pandangan kepada
mahram dan kepada siapa saja yang ada kebutuhan yang menuntut untuk
memandangnya.
Kemudian setelahnya disebutkan wanita
secara khusus, padahal wanita masuk dalam keumuman khithab (pembicaraan)
syari’at, karena mengikuti laki-laki. Allah berfirman: {وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ
فُرُوجَهُنَّ} “Dan katakanlah kepada wanita yang
beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya” (4) - sebagai penekanan dalam masalah pandangan dan sebagai
kehati-hatian dalam menjaga kemaluan dari zina dan bahaya yang lain, dan agar
orang tidak salah paham bahwa perintah itu khusus bagi laki-laki saja ». (5)
Al-’Allamah Ibnul-Qayyim berkata: «Allah
memerintahkan Nabi-Nya shallallaahu ’alaihi wasallam agar memerintahkan kaum
mukminin untuk menundukkan pandangan mereka, menjaga kemaluan mereka, dan
memberitahukan kepada mereka bahwa Allah menyaksikan amal-amal mereka. Allah
berfirman:
يَعْلَمُ خَائِنَةَ
الأعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
“Dia mengetahui (pandangan) mata yang
khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati” (QS. Ghaafir: 19)
Dan karena awal dari itu semua adalah
pandangan. Maka Allah menjadikan perintah menundukkan pandangan lebih dahulu
daripada menjaga kemaluan». (6)
Ibnul-Qayyim berkata pula: «Ketika
menundukkan pandangan itu adalah inti untuk menjaga kemaluan, maka Allah
memulai penyebutannya dengan menundukkan pandangan, dan karena pengharamannya adalah
pengharaman wasilah/perantara (untuk menuju maksiat) sehingga kadang dibolehkan
karena adanya maslahat yang lebih besar, dan kadang diharamkan apabila
dikhawatirkan adanya kerusakan yang tidak ada padanya maslahat yang lebih besar
daripada kerusakan tersebut. Maka Allah tidak memerintahkan untuk menundukkan
pandangan secara mutlak, tetapi memerintahkan untuk menundukkan sebagian saja.
Adapun menjaga kemaluan, maka tetap wajib dalam setiap keadaan, dan tidak
diperbolehkan kecuali dengan haknya. Oleh sebab itu, Allah mengumumkan perintah
untuk menjaganya dan Allah telah menjadikan mata sebagai cermin hati. Apabila
seorang hamba itu menundukkan pandangannya, maka hatinya akan menundukkan
syahwat dan keinginan-keinginannya. Dan apabila ia mengumbar pandangannya, maka
hati akan mengumbar syahwatnya».
Dalil-Dalil dari As-Sunnah
An-Nabawiyyah
1. Dari Jarir bin ‘Abdillah
radliyallaahu ‘anhu ia berkata:
سَأَلْتُ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِيْ أَنْ
أَصْرِفَ بَصَرِي
“Aku bertanya kepada Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam dari pandangan tiba-tiba (tidak sengaja) Maka
beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku”. (7)
Al-Imam An-Nawawi berkata: «Makna
pandangan tiba-tiba adalah pandangan kepada wanita asing/nukan mahram
(ajnabiyyah) tanpa sengaja, tidak ada dosa baginya pada awal pandangan, dan
wajib untuk memalingkannya pada saat itu juga. Apabila dipalingkan saat itu
juga maka tidak berdosa, akan tetapi apabila terus-menerus memandang, maka
berdosa berdasarkan hadits ini, karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan untuk memalingkan pandangannya. Padahal Allah ‘azza wa
jalla berfirman: {قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ
يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ} “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya». (8)
2. Dari Buraidah radliyallaahu ‘anhu,
bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يَا عِلِيُّ، لَا
تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ، فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الآخِرَةُ
“Wahai ‘Ali, janganlah kamu
mengikutkan pandangan dengan pandangan. Sesungguhnya bagimu hanyalah pandangan
yang pertama, dan bukan yang setelahnya”. (9)
Al-Haafidh Abu Bakr Al-‘Amiriy
berkata: «”Yaitu pandangan yang pertama adalah pandangan tiba-tiba tanpa
kesengajaan, maka bagimu maaf, tanpa dosa. Dan tidak boleh bagimu pandangan
yang kedua apabila kamu mengikutkannya dengan pandangan untuk menikmati. Ini
adalah pembicaraan yang ditujukan kepada ‘Ali radliyallaahu ‘anhu bersamaan
dengan pengetahuan beliau terhadap kezuhudan dan kehati-hatian ‘Ali. Penjagaan
‘Ali terhadap batinnya, juga pada lahirnya. Akan tetapi beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam tetap memperingatkan ‘Ali dari pandangan dan memberikan
keamanan kepadanya dari bahaya, agar orang-orang rendahan tidak mengaku-ngaku
aman, tertipu dengan kemaksuman dan keamanan dari fitnah/godaan. Dan tidak ada
yang merasa aman dari makar Allah kecuali kaum yang merugi”». (10)
3. Dari Abu Hurairah radliyallaahu
’anhu, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bahwasannya beliau bersabda:
كُتِبَ عَلَى ابْنِ
أدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا، مُدْرِكٌُ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا
النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ،
وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى
وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Telah dituliskan atas Bani Adam
bagian dari zina yang pasti ia melakukannya, tidak bisa tidak. Maka, zina kedua
mata adalah melihat (yang diharamkan), zina kedua telinga adalah mendengar
(yang diharamkan), zina lisan adalah berkata-kata (yang diharamkan), zina
tangan adalah memegang (yang diharamkan), zina kaki adalah melangkah (ke tempat
yang diharamkan), hati berkeinginan dan berangan-angan, dan kemaluan
membenarkan itu semua atau mendustakannya”. (11)
Ibnu Baththal rahimahullah berkata: «Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam menamakan pandangan dan pembicaraan sebagai zina,
karena keduanya menyeret kepada zina yang sesungguhnya. Oleh sebab itu beliau
bersabda: ”....dan kemaluan yang membenarkan itu semua dan yang mendustakannya».
(12)
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata: «Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam memulai dengan zina mata karena itu adalah awal
dari zina tangan, zina kaki, zina hati, dan zina kemaluan. Dan Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam menegaskan bahwa ucapan adalah zina lisan karena
zinanya bibir adalah mencium, dan kemaluan lah yang membenarkan itu semua
apabila benar-benar melakukan perbuatan (zina); atau mendustakan apabila tidak
melaksanakannya». (13)
Al-Imam Asy-Syinqithiy rahimahullah
berkata: «Yang menjadikan dalil adalah sabda beliau shallallaahu ’alaihi
wasallam: ”Maka zina kedua mata adalah melihat”; memutlakkan penyebutan zina
pada mata adalah ketika dalil yang jelas tidak memastikan keharamannya serta
memperingatkan darinya. Dan hadits-hadits yang semacam ini adalah sangat banyak
lagi diketahui.
Dan telah diketahui bahwasannya
pandangan adalah sebab terjadinya zina, karena seseorang yang banyak memandang
kecantikan wanita misalnya, maka kadang-kadang hal itu dapat menyebabkan
kecintaan dalam hatinya yang kemudian dapat menyebabkan kebinasaannya.
Wal-’iyaadzubillah». (14)
4. Dari ’Ali bin Abi Thalib
radliyallaahu ’anhu ia berkata: “Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam
membonceng Al-Fadhl bin ’Abbas di belakang beliau ketika haji, kemudian datang
seorang wanita dari Khats’am yang meminta fatwa kepada Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam. Maka Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam memalingkan kepala
Al-Fadhl agar tidak melihat kepada wanita tersebut. Maka paman beliau –
Al-’Abbas – berkata kepada beliau: “Engkau memalingkan kepala anak paman
engkau, wahai Rasululah ?”. Maka beliau menjawab:
رَأَيْتُ شَابًّا
وَشَابَّةً فَلَمْ آمَنِ الشَّيْطَانَ عَلَيْهِمَا
“Aku melihat seorang pemuda dan
seorang pemudi, maka aku tidak merasa aman dari syaithan terhadap mereka
berdua”. (15)
Al-Haafidh Abu Bakr Al-’Amiriy
rahimahullah berkata: «Yaitu (beliau khawatir) hati mereka sibuk saling
memikirkan yang lain apabila memandang. Maka lihatlah bagaimana beliau
melakukannya pada anak paman beliau sendiri di hadapan ayahnya saat dia sibuk
dengan perkara haji dan beliau tidak merasa aman terhadap tabiat dari fitnah,
sedangkan syaithan terus menggoda dan menguji». (16)
Saya (Faishal bin ’Abduh Qa’id
Al-Hasyidi – yaitu penulis risalah ini) katakan: Hadits ini diriwayatkan dari
Ibnu ‘Abbas dengan lafadh yang berbeda sebagaimana terdapat dalam Shahih
Al-Bukhari dan Muslim (17), dari ’Abdullah bin ’Abbas radliyallaahu
’anhuma ia berkata: “Al-Fadhl pernah membonceng Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam, kemudian datang seorang wanita dari Khats’am, maka Al-Fadhl melihat
kepada wanita tersebut dan wanita tersebut dan wanita tersebut pun melihat
kepadanya. Maka Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam memalingkan wajah Al-Fadhl
ke arah yang lain”. Ini adalah dalil yang paling jelas sebagaimana yang
dikatakan oleh Ibnul-Qayyim rahimahullah: «Penghalangan dan pengingkaran dengan
perbuatan, kalau seandainya memandang itu diperbolehkan, tentu Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam akan membiarkan Al-Fadhl». (18)
Ibnu Baththal berkata: «Di dalam
hadits ini terdapat perintah untuk menundukkan pandangan karena takut
fitnah/godaan”. Ia juga berkata: ”Menegaskan hal itu bahwa beliau shallallaahu
’alaihi wasallam tidak memalingkan wajah Al-Fadhl sehingga Al-Fadhl merasa
tertarik dan kagum atas wanita tersebut, sehingga beliau takut fitnah atas diri
Al-Fadhl”. Ia juga berkata: ”Dalam hadits ini menunjukkan menangnya tabiat
kemanusiaan dalam diri anak Adam dan lemahnya tabiat tersebut dari
perkara-perkara yang menguasainya seperti condong kepada wanita dan kagum
terhadap mereka». (19)
Ijma’ Ulama’ atas Keharaman Memandang
Wanita yang Bukan Mahram
Itulah sebagian dalil yang
menunjukkan haramnya memandang kepada yang tidak dihalalkan untuk memandangnya.
Dan ulama telah ber-ijma’ atas haramnya memandang orang asing (bukan mahram)
baik laki-laki ataupun perempuan yang sebagiannya memandang kepada yang lain
jenis.
Al-Haafidh Abu Bakr Al-’Amiriy
rahimahullah berkata: «Sesungguhnya yang di-ijma’-kan oleh umat dan disepakati
oleh ulama salaf serta khalaf dari kalangan fuqahaa’ dan para imam atas
keharamannya adalah memandang orang asing baik laki-laki atau perempuan,
sebagiannya kepada yang lainnya. Yaitu mereka yang tidak ada hubungan rahim dan
nasab, dan bukan pula mahram karena suatu sebab seperti susuan yang lain – maka
mereka itu haram, sebagian memandang yang lain... maka memandang dan berduaan
haram atas mereka menurut kaum muslimin secara keseluruhan». (20)
Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah
berkata: «Ulama sepakat atas wajibnya menundukkan pandangan dari selain
harimah, istri, dan budak kecuali bagi orang yang ingin menikahi wanita, maka
halal baginya untuk memandang kepada wanita tersebut». (21)
Al-Qurthubi berkata: «Sungguh
Asy-Sya’biy membenci seseorang yang terus-menerus memandang kepada anak, ibu,
dan saudarinya. Dan jaman Asy-Sya’biy lebih baik daripada jaman kita ini, dan
diharamkan atas laki-laki untuk memandang kepada yang haram, pandangan
bersyahwat dan berulang-ulang». (22)
Saya (Faishal bin ’Abduh Qa’id
Al-Hasyidi – yaitu penulis risalah ini) katakan: Semoga Allah merahmati
Al-Qurthubi. Maka bagaimana sikap beliau seandainya menyaksikan jaman kita yang
merupakan jaman dengan model pakaian transparan dan membentuk tubuh ? Dan Islam
benar-benar menjadi asing di kalangan pemeluknya, dan senantiasa terus-menerus
ada pengaduan dari para pemuda tentang apa yang mereka dapatkan dalam keluarga
mereka dari pakaian-pekaian yang menjerumuskan mereka – atau hampir-hampir
menjerumuskan mereka – ke dalam jerat-jerat fitnah (godaan/cobaan) Maka, apakah
orang-orang yang berakal memperhatikan hal ini ?
Footnote:
(1) Dengan sedikit perubahan dari
Tafsir Ibnu Katsir (3/282)
(2) Allah ‘azza wa jalla tidak
menyebutkan apa-apa yang harus ditundukkan pandangan darinya, karena hal itu
telah diketahui dengan kebiasaan bahwasannya yang dimaksud adalah yang haram.
(3) Ini adalah pendapat yang benar.
Ada yang berpendapat bahwa lafadh ini tambahan saja. Ada pula yang mengatakan
bahwa lafadh ini sebagai penghubung dengan lafadh sebelumnya.
(4) Al-Imam An-Nawawi rahimahullah
berkata dalam Syarh Muslim (3/694): “Pendapat yang benar adalah sebagaimana
madzhabnya kebanyakan ulama dan para shahabat bahwasannya diharamkan bagi
wanita untuk memandang laki-laki asing sebagaimana diharamkan bagi laki-laki
tersebut memandang kepadanya”.
(5) Ahkaamun-Nadhar karya Al-Haafidh
Abu Bakr bin Habib Al-‘Amiriy, hal. 35.
(6) Al-Jawaabul-Kaafiy oleh
Al-‘Allamah Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, hal. 226.
(7) HR. Muslim no. 2159.
(8) Syarhun-Nawawi ‘alaa Shahih
Muslim(14/139)
(9) HR. At-Tirmidzi no. 2777, Abu
Dawud no. 2149, dan Al-Albani berkata dalam Shahih Sunan Abi Dawud: hasan.
(10) Ahkaamun-Nadhar ilal-Muharramat
oleh Al-Haafidh Abu Bakr Al-‘Amiriy, hal. 45.
(11) HR. Bukhari no. 6243 dan Muslim
no. 2657, dan ini adalah lafadh Muslim.
(12) Fathul-Bari (11/28)
(13) Raudlatul-Muhibbin hal. 93.
(14) Adlwaaul-Bayaan oleh
Asy-Syinqithi (6/191)
(15) Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad
no. 562 dan At-Tirmidzi no. 885 dan ia berkata: hasan shahih. Al-Albani berkata:
hasan.
(16) Ahkaamun-Nadhar ilal-Muharramat
oleh Al-‘Amiriy, hal. 42.
(17) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no.
1513 dan Muslim no. 1334.
(18) Raudlatul-Muhibbin hal. 93.
(19) Fathul-Bari (11/10)
(20) Ahkaamun-Nadhar ilal-Muharramat
hal. 32.
(21) Maraatibul-Ijma’ oleh Abu
Muhammad bin Hazm, hal. 182.
(22) Tafsir Al-Qurthubi (12/223)
Selesai diketik tanggal 26 Agustus
2008 pukul 00.14
Penulis: Abul Jauzaa’
(Alumnus IPB & UGM)
Editor: Ahmadi Assambasy
Cilacap – Jawa Tengah
Posting Komentar untuk "Perintah Menundukkan Pandangan Dari Yang Haram "
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.