Ketinggian Allah di Atas Semua Makhluk-Nya
Allah ta’ala berfirman:
يَخَافُونَ
رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Mereka takut kepada Tuhan mereka
yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka)”. (QS.
An-Nahl: 50)
تَعْرُجُ
الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ
سَنَةٍ
“Malaikat-malaikat dan Jibril naik
(menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun”. (QS.
Al-Ma’aarij: 4)
Ayat ini merupakan salah satu dalil
yang bahwa Allah ta’ala berada di atas makhluk-Nya secara hakiki. Dijelaskan
lagi di ayat lain:
أَأَمِنْتُمْ
مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ
“Apakah kamu merasa aman terhadap
Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama
kamu”. (QS. Al-Mulk: 16)
Al-Baihaqiy rahimahullah berkata
tentang ayat ini:
وَقَدْ
ذَكَرْنَا أَنَّ مَعْنَاهُ: مَنْ فَوْقِ السَّمَاءِ عَلَى الْعَرْشِ، كَمَا قَالَ:
فَسِيحُوا فِي الأَرْضِ أَيْ: فَوْقَ الأَرْضِ،
“Dan kami telah menyebutkan bahwa
maknanya: Allah yang berada di atas langit di atas ‘Arsy, sebagaimana
firman-Nya: ‘Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin) di muka bumi (fil-ardli)’
(QS. At-Taubah: 2), yaitu: fauqal-ardli (di atas permukaan bumi)..” (Al-Asmaa’
wash-Shifaat oleh Al-Baihaqiy, 2/334, tahqiq: ‘Abdullah Al-Haasyidiy; Maktabah
As-Suwaadiy)
Berikut ini akan saya bawakan
beberapa atsar dari para shahabat dan ulama setelahnya yang menjelaskan
ketinggian Allah di atas makhluk-Nya, dan Ia di atas langit-langit-Nya lagi
beristiwaa’ di atas ‘Arsy-Nya.
1. Zainab Bintu Jahsy Radliyallaahu
‘Anhaa
حَدَّثَنَا
عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْفَضْلِ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ
بْنُ زَيْدٍ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ فِي
زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا
قَالَ: فَكَانَتْ تَفْخَرُ عَلَى أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ تَقُولُ: زَوَّجَكُنَّ أَهْلُكُنَّ، وَزَوَّجَنِي اللَّهُ مِنْ فَوْقِ
سَبْعِ سَمَاوَاتٍ ".قَالَ أَبُو عِيسَى: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abd
bin Humaid: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Fadhl: Telah
menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid, dari Tsaabit, dari Anas, ia berkata:
“Ayat ini turun berkenaan dengan Zainab bintu Jahsy: ‘Maka tatkala Zaid telah mengakhiri
keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), maka Kami nikahkan engkau
dengannya’ (Al-Ahzab: 37)”. Anas berkata: “Adalah Zainab membanggakan dirinya
atas istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata: ‘Yang
menikahkan kamu (dengan Nabi) adalah keluarga-keluargamu, sedangkan yang
menikahkan aku adalah Allah yang berada di atas tujuh langit” (Diriwayatkan
oleh At-Tirmidziy no. 3213, dan ia berkata: “Hadits hasan shahih”)
2. ‘Abdullah Bin Mas’uud Radliyallaahu
‘Anhu.
حَدَّثَنَا بَحْرُ
بْنُ نَصْرِ بْنِ سَابِقٍ الْخَوْلانِيُّ، قَالَ: ثنا أَسَدٌ، قَالَ: ثنا حَمَّادُ
بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ عَاصِمِ ابْنِ بَهْدَلَةَ، عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ، عَنِ
ابْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: " مَا بَيْنَ سَمَاءِ الدُّنْيَا وَالَّتِي تَلِيهَا
مَسِيرَةَ خَمْسِ مِائَةِ عَامٍ، وَبَيْنَ كُلِّ سَمَاءٍ مَسِيرَةَ خَمْسِ مِائَةِ
عَامٍ، وَبَيْنَ السَّمَاءِ السَّابِعَةِ وَبَيْنَ الْكُرْسِيِّ خَمْسِ مِائَةِ
عَامٍ، وَالْعَرْشُ فَوْقَ السَّمَاءِ، وَاللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَوْقَ
الْعَرْشِ، وَهُوَ يَعْلَمُ مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ
"
Telah menceritakan kepada kami Bahr
bin Nashr bin Saabiq Al-Khaulaaniy, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami
Asad, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari
‘Aashim bin Bahdalah, dari Zirr bin Hubaisy, dari Ibnu Mas’uud, ia berkata:
“Jarak antara langit dunia dan langit di atasnya sejauh perjalanan selama 500
tahun. Jarak antara setiap langit dengan langit lainnya sejauh perjalanan
selama 500 tahun. Jarak antara langit ketujuh dan kursi sejauh perjalanan
selama 500 tahun. Dan ‘Arsy di atas langit, dan Allah tabaaraka wa ta’ala
berada di atas ‘Arsy. Ia mengetahui apa yang kalian lakukan” (Diriwayatkan oleh
Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid, hal. 242-243, tahqiq: Dr. ‘Abdul-‘Aziiz
Asy-Syahwaan; Daarur-Rusyd, Cet. 1/1408 H)
Sanadnya hasan.
3. Adl-Dlahhaak Bin Muzaahim Rahimahullah
(W. 105/106 H)
حَدَّثَنِي
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي زِيَادٍ، قَالَ: ثني نضر بْنُ مَيْمُونٍ الْمَضْرُوبُ،
قَالَ: ثنا بُكَيْرُ بْنُ مَعْرُوفٍ، عَنْ مُقَاتِلِ بْنِ حَيَّانَ، عَنِ
الضَّحَّاكِ، فِي قَوْلِهِ: مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلاثَةٍ إِلَى
قَوْلِهِ:هُوَ مَعَهُمْ. قَالَ: هُوَ فَوْقَ الْعَرْشِ، وَعِلْمُهُ مَعَهُمْ
أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ
اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah
bin Abi Ziyaad, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Nadlr bin Maimuun
Al-Madlruub, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Bukair bin Ma’ruuf,
dari Muqaatil bin Hayyaan, dari Adl-Dlahhaak bin Muzaahim tentang firman-Nya:
‘Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang’ hingga firman-Nya: ‘melainkan Dia
berada bersama mereka’ (QS. Al-Mujaadilah: 7) Ia (Adl-Dlahhaak) berkata: “Ia
(Allah) berada di atas ‘Arsy, dan ilmu-Nya bersama mereka, di mana pun mereka
berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang
telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (Diriwayatkan
oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 23/237, tahqiq: Ahmad Muhammad
Syaakir; Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 1/1420 H)
Catatan: Penyebutan Nadlr bin Maimuun
Al-Madlruub ini keliru. Yang benar adalah: Nuuh bin Maimuun Al-Madlruub
sebagaimana riwayat ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 592, Al-Baihaqiy
dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat no. 909, dan Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah no.
388. Selain itu, ia lah perawi yang meriwayatkan dari Bukair bin Ma’ruuf.
Nuuh bin Maimuun seorang yang tsiqah.
Sanadnya hasan.
4. Sulaimaan At-Taimiy Rahimahullah
(W. 143 H)
أَخْبَرَنَا
أَحْمَدُ بْنُ عُبَيْدٍ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ، قَالَ:
أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ أَبِي خَيْثَمَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ
مَعْرُوفٍ، قَالَ: ثَنَا ضَمْرَةُ، عَنْ صَدَقَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ التَّيْمِيَّ،
يَقُولُ: لَوْ سُئِلْتُ: أَيْنَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى؟ قُلْتُ: فِي
السَّمَاءِ، فَإِنْ قَالَ: فَأَيْنَ عَرْشُهُ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاءَ؟
قُلْتُ: عَلَى الْمَاءِ، فَإِنْ قَالَ لِي: أَيْنَ كَانَ عَرْشُهُ قَبْلَ أَنْ
يَخْلُقَ الْمَاءَ ؟ قُلْتُ: لا أَدْرِي
Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad
bin ‘Ubaid, ia berkata: Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Al-Husain,
ia berkata: Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Abi Khaitsamah, ia
berkata: Telah menceritakan kepada kami Haaruun bin Ma’ruuf, ia berkata: Telah
menceritakan kepada kami Dlamrah, dari Shadaqah, ia berkata: Aku mendengar
At-Taimiy berkata: “Seandainya aku ditanya: ‘dimanakah Allah?’, akan aku jawab:
‘Di langit’. Jika ia kembali bertanya: ‘Lalu, dimanakah ‘Arsy-Nya sebelum ia
menciptakan langit?’. Aku akan menjawab: ‘Di atas air’. Dan jika ia bertanya
lagi kepadaku: ‘Dimanakah ‘Arsy-Nya dahulu sebelum Allah menciptakan air?’. Aku
akan menjawab: ‘Aku tidak tahu” (Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh
Ushuulil-I’tiqaad, hal. 401, tahqiq: Ahmad bin Mas’uud Al-Hamdaan; Cet. 2/1411
H)
5. Maalik Bin Anas Rahimahullah (W.
179 H)
حدثني أبي رحمه
الله حدثنا سريج بن النعمان حدثنا عبدالله بن نافع قال كان مالك بن أنس يقول
الايمان قول وعمل ويقول كلم الله موسى وقال مالك الله في السماء وعلمه في كل مكان
لا يخلو منه شيء
Telah menceritakan kepadaku ayahku
rahimahullah: Telah menceritakan kepada kami Suraij bin An-Nu’maan: Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Naafi’, ia berkata: “Maalik bin Anas
pernah berkata: ‘Iman itu adalah perkataan dan perbuatan, Allah berbicara
kepada Muusaa, Allah berada di atas langit dan ilmu-Nya ada di setiap tempat –
tidak ada sesuatupun yang luput dari-Nya” (Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin
Ahmad dalam As-Sunnah, hal. 280 no. 532, tahqiq: Dr. Muhammad bin Sa’iid
Al-Qahthaaniy; Daaru ‘Aalamil-Kutub, Cet. 4/1416 H. Diriwayatkan juga oleh Abu
Daawud dalam Masaail-nya hal. 263, Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah, 2/67-68 no.
695-696, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad hal. 401 no. 673, Ibnu
‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 7/138, dan Ibnu Qudaamah dalam Itsbaatu
Shifaatil-‘Ulluw hal. 166 no. 76)
Sanadnya shahih.
6. ‘Abdullah Bin Al-Mubaarak Rahimahullah
(W. 181 H)
حَدَّثَنَا
الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَّاحِ الْبَزَّازُ، ثنا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ
شَقِيقٍ، عَنِ ابْنِ الْمُبَارَكِ، قَالَ: قِيلَ لَهُ: كَيْفَ نَعْرِفُ رَبَّنَا؟
قَالَ: " بِأَنَّهُ فَوْقَ السَّمَاءِ السَّابِعَةِ عَلَى الْعَرْشِ، بَائِنٌ
مِنْ خَلْقِهِ "
Telah menceritakan kepada kami
Al-Hasan bin Ash-Shabbaah Al-Bazzaaz: Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin
Al-Hasan bin Syaqiiq, dari Ibnul-Mubaarak. Syaqiiq berkata: Dikatakan kepadanya:
“Bagaimana kita mengetahui Rabb kita?”. Ia (Ibnul-Mubaarak) berkata:
“Bahwasannya Allah berada di atas langit yang ketujuh, di atas ‘Arsy, terpisah
dari makhluk-Nya” (Diriwayatkan oleh Abu Sa’iid Ad-Daarimiy dalam Ar-Radd
‘alal-Jahmiyyah, hal. 39-40 no. 67, tahqiq: Badr Al-Badr; Ad-Daarus-Salafiyyah,
Cet. 1/1405 H. Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhaariy dalam Khalqu Af’aalil-‘Ibaad
2/15 no. 13-14 dan ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 22 & 216 dan
Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat no. 903)
Sanadnya hasan.
7. Muhammad Bin Mush’ab Al-‘Aabid Rahimahullah
(W. 228 H)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ مَخْلَدٍ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ أَبُو
الْحَسَنِ بْنُ الْعَطَّارِ، قَالَ: سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بنَ مُصْعَبٍ الْعَابِدَ،
يَقُولُ: " مَنْ زَعَمَ أَنَّكَ لا تَتَكَلَّمُ وَلا تُرَى فِي الآخِرَةِ، فَهُوَ
كَافِرٌ بِوَجْهِكَ، وَلا يَعْرِفُكَ، أَشْهَدُ أَنَّكَ فَوْقَ الْعَرْشِ، فَوْقَ
سَبْعِ سَمَوَاتٍ، لَيْسَ كَمَا يَقُولُ أَعْدَاؤُكَ الزَّنَادِقَةُ "
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Makhlad: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muhammad bin
‘Umar bin Al-Hakam Abul-Hasan bin Al-‘Aththaar, ia berkata: Aku mendengar
Muhammad bin Mush’ab Al-‘Aabid berkata: “Barangsiapa yang menyangka bahwasannya
Engkau tidak berbicara dan tidak dapat dilihat di akhirat, maka ia kafir
terhadap wajah-Mu dan tidak mengetahui-Mu. Aku bersaksi bahwasannya Engkau
berada di atas ‘Arsy, di atas tujuh langit. Tidak seperti yang dikatakan
musuh-musuh-Mu, yaitu Zanaadiqah” (Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy dalam
Ash-Shifaat, hal. 72-73 no. 64, tahqiq: Dr. ‘Aliy bin Muhammad bin Naashir
Al-Faqiihiy – dicetak bersama kitab An-Nuzuul lid-Daaruquthniy; Cet. 1/1403 H.
Diriwayatkan juga oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 167, An-Najjaad
dalam Ar-Radd ‘alaa Man Yaquulu Al-Qur’aan Makhluuq no. 110, dan Al-Khathiib
dalam At-Taariikh 4/452)
Sanadnya shahih.
8. Qutaibah Bin Sa’iid Rahimahullah
(W. 240 H)
سَمِعْتُ مُحَمَّدَ
بْنَ إِسْحَاقَ الثَّقَفِيَّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا رَجَاءٍ قُتَيْبَةَ بْنَ
سَعِيدٍ، قَالَ: " هَذَا قَوْلُ الأَئِمَّةِ الْمَأْخُوذِ فِي الإِسْلامِ
وَالسُّنَّةِ: الرِّضَا بِقَضَاءِ اللَّهِ، .........وَيَعْرِفَ اللَّهَ فِي
السَّمَاءِ السَّابِعَةِ عَلَى عَرْشِهِ كَمَا قَالَ: الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ
اسْتَوَى لَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا
تَحْتَ الثَّرَى
Aku mendengar Muhammad bin Ishaaq
Ats-Tsaqafiy, ia berkata: Aku mendengar Abu Rajaa’ Qutaibah bin Sa’iid berkata:
“Ini adalah perkataan para imam yang diambil dalam Islam dan Sunnah: ‘Ridlaa
terhadap ketetapan Allah…… dan mengetahui Allah berada di langit yang tujuh, di
atas ‘Arsy-Nya, sebagaimana firman Allah: ‘Ar-Rahmaan di atas ‘Arsy beristiwa’.
Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di
antara keduanya dan semua yang di bawah tanah’ (QS. Thaha: 5)…..” (Diriwayatkan
oleh Abu Ahmad Al-Haakim dalam Syi’aar Ashhaabil-Hadiits, hal. 30-34 no. 17,
tahqiq: As-Sayyid Shubhiy As-Saamiraa’iy; Daarul-Khulafaa’, Cet. Thn. 1404 H)
Sanadnya shahih.
9. Ahmad Bin Hanbal Rahimahullah (W.
241 H)
وهو على العرش
فوق السماء السابعة. فإن احتج مبتدع أو مخالف بقوله تعالى {وَنَحْنُ أَقْرَبُ
إِلَيهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيد} وبقوله عز وجل: {وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَمَا
كُنْتُمْ} أو بقوله تعالى: {مَا يكُونُ مِنْ نَجْوى ثلاثة إلا هُوَ رَابِعُهُمْ}
ونحو هذا من متشابه القران
“Ia (Allah) berada di atas ‘Arsy, di
atas langit ketujuh. Sesungguhnya ahli bid’ah atau orang yang menyimpang dari
kebenaran berhujjah dengan firman-Nya: ‘Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada
urat lehernya’ (QS. Qaaf: 16), atau dengan firman-Nya: ‘Dan Ia (Allah) bersama
kalian di mana saja kalian berada’ (QS. Al-Hadiid: 4), atau dengan firman-Nya:
‘Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang
keempatnya’ (QS. Al-Mujaadilah: 7), dan yang lainnya dari ayat-ayat Al-Qur’an
yang mutasyaabih” (As-Sunnah oleh Ahmad bin Hanbal melalui kitab Al-Masaail
war-Rasaail Al-Marwiyyatu ‘anil-Imaam Ahmad fil-‘Aqiidah oleh ‘Abdullah
Al-Ahmadiy, 1/318-319; Daaruth-Thayyibah, Cet. 1/1412 H)
Catatan: Penjelasan Al-Imaam Ahmad
itu menggugurkan klaim kelompok Asyaa’irah yang mengklaim bahwa lafadh Allaahu
‘alal-‘Arsy atau yang semisalnya itu sifatnya mutasyaabih. Justru mafhum yang
terambil dari perkataan beliau, lafadh itu adalah muhkam (jelas); dan yang
samar (mutasyaabih) adalah lafadh nash-nash yang menyatakan bahwa Allah ta’ala
bersama hamba-Nya. (1)
As-Sijziy rahimahullah menukil:
ونص أحمد بن
حنبل رحمة الله عليه على أن الله تعالى بذاته فوق العرش، وعلمه بكل مكان
“Dan Ahmad – semoga Allah melimpahkan
rahmat kepadanya – mengatakan bahwa Allah ta’ala di atas ‘Arsy dengan Dzat-Nya,
sedangkan ilmu-Nya ada di setiap tempat” (Risaalah As-Sijziy ilaa Ahli Zubaid,
hal. 125, tahqiq: Muhammad ba-Kariim; Daarur-Raayah, Cet. 1/1414 H)
10. Al-Muzaanniy Rahimahullah (W. 264
H)
(عال)
على عرشه، وهو دان بعلمه من خلقه، أحاط علمه بالأمور، ....
“Tinggi di atas ‘Arsy-Nya, Ia (Allah)
dekat pada hamba-Nya dengan ilmu-Nya. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu....” (Syarhus-Sunnah
lil-Muzanniy, hal. 79 no. 1, tahqiq: Jamaal ‘Azzuun)
عال على عرشه،
بائن من خلقه، موجود وليس بمعدوم ولا بمفقود
“Tinggi di atas ‘Arsy-Nya, terpisah
dengan makhluk-Nya. Allah itu ada, bukannya tidak ada dan hilang” (idem, hal.
82)
11. Abu ‘Iisaa At-Tirmidziy Rahimahullah
(W. 279 H)
وعلمُ الله
وقدرته وسلطانه في كل مكان، وهو على العرش كما وصف في كتابه
“Dan ilmu Allah, kemampuan, dan
kekuasaan-Nya ada di setiap tempat. Adapun Allah ada di atas ‘Arsy sebagaimana
yang Ia sifatkan dalam kitab-Nya” (Al-Jaami’ lit-Tirmidziy 5/403-404 melalui
perantaraan kitab ‘Aqiidah Ahlis-Sunnah wal-Jamaa’ah lil-Imaam At-Tirmidziy
oleh Abu Mu’aadz Thaariq bin ‘Iwadlillah, hal. 95; Daarul-Wathan, Cet. 1/1421 H)
12. Abu Zur’ah (W. 264 H) Dan Abu
Haatim Ar-Raaziy (W. 277 H) Rahimahumallah.
أَخْبَرَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الْمُظَفَّرِ الْمُقْرِئُ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ
مُحَمَّدِ بْنِ حَبَشٍ الْمُقْرِئُ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي حَاتِمٍ، قَالَ: سَأَلْتُ أَبِي وَأَبَا زُرْعَةَ عَنْ
مَذَاهِبِ أَهْلِ السُّنَّةِ فِي أُصُولِ الدِّينِ، وَمَا أَدْرَكَا عَلَيْهِ
الْعُلَمَاءَ فِي جَمِيعِ الأَمْصَارِ، وَمَا يَعْتَقِدَانِ مِنْ ذَلِكَ، فَقَالا:
أَدْرَكْنَا الْعُلَمَاءَ فِي جَمِيعِ الأَمْصَارِ حِجَازًا وَعِرَاقًا وَشَامًا
وَيَمَنًا فَكَانَ مِنْ مَذْهَبِهِمُ: " الإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، يَزِيدُ
وَيَنْقُصُ، ......وَأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى عَرْشِهِ بَائِنٌ مِنْ
خَلْقِهِ كَمَا وَصَفَ نَفْسَهُ فِي كِتَابِهِ، وَعَلَى لِسَانِ رَسُولِهِ K بِلا كَيْفٍ، أَحَاطَ
بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا، لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ.
Telah mengkhabarkan kepada kami
Muhammad bin Al-Mudhaffar Al-Muqriy, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami
Al-Husain bin Muhammad bin Habsy Al-Muqriy, ia berkata: Telah menceritakan
kepada kami Abu Muhammad ‘Abdurrahmaan bin Abi Haatim, ia berkata: ”Aku pernah
bertanya kepada ayahku dan Abu Zur’ah tentang madzhab Ahlus-Sunnah dalam
ushuuluddiin (pokok-pokok agama) dan apa yang mereka temui dari para ulama di
seluruh pelosok negeri dan yang mereka berdua yakini tentang hal itu, maka
mereka berdua berkata: ”Kami telah bertemu dengan para ulama di seluruh pelosok
negeri, baik di Hijaz, ’Iraq, Mesir, Syaam, dan Yaman, maka yang termasuk
madzhab mereka adalah: ”Iman adalah perkataan dan perbuatan, dapat bertambah
maupun berkurang........ dan bahwasannya Allah ’azza wa jalla berada di atas
’Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya sebagaimana yang Ia sifatkan diri-Nya
dalam Kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya shallallaahu ’alaihi wa sallam,
tanpa menanyakan ’bagaimana’, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Allah berfirman:
’Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat” (Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad,
1/176, tahqiq: Ahmad bin Sa’d Hamdaan; Cet. 2/1411 H)
Shahih.
13. ‘Utsmaan Bin Sa’iid Ad-Daarimiy Rahimahullah
(W. 280 H)
فَاللَّهُ
تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَوْقَ عَرْشِهِ، فَوْقَ سَمَوَاتِهِ، بَائِنٌ مِنْ
خَلْقِهِ، فَمَنْ لَمْ يَعْرِفْهُ بِذَلِكَ لَمْ يَعْرِفْ إِلَهَهُ الَّذِي
يَعْبُدُ
“Allah tabaraka wa ta’ala berada di
atas ‘Arsy-Nya, di atas langit-langit-Nya, terpisah dari makhluk-Nya.
Barangsiapa yang tidak mengetahui hal itu, maka itu berarti ia tidak mengetahui
tuhan yang ia sembah/ibadahi” (Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah oleh ‘Utsmaan bin Sa’iid
Ad-Daarimiy, hal. 39 no. 66)
14. Muhammad Bin ‘Utsmaan Bin Abi
Syaibah Rahimahullah (W. 297 H)
فهو فوق
السماوات وفوق العرش بذاته متخلصا من خلقه بائنا منهم، علمه في خلقه لا يخرجون من
علمه
“Allah berada di atas langit-langit
dan di atas ‘Arsy dengan Dzat-Nya, terlepas dari makhluk-Nya lagi terpisah
darinya. Adapun ilmu-Nya pada makhluk-Nya, mereka (makhluk-Nya) tidak terlepas
dari ilmu-Nya” (Al-‘Arsy oleh Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abi Syaibah, hal.
291-292, tahqiq: Dr. Muhammad bin Khaliifah At-Tamiimiy; Maktabah Ar-Rusyd,
Cet. 1/1418 H)
15. Ibnu Khuzaimah Rahimahullah (W.
311 H)
سَمِعْتُ
مُحَمَّدَ بْنَ صَالِحِ بْنِ هَانِئٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ أَبَا بَكْرٍ مُحَمَّدَ
بْنَ إِسْحَاقَ بْنِ خُزَيْمَةَ، يَقُولُ: مَنْ لَمْ يُقِرَّ بِأَنَّ اللَّهَ
تَعَالَى عَلَى عَرْشِهِ قَدِ اسْتَوَى فَوْقَ سَبْعِ سَمَاوَاتِهِ، فَهُوَ
كَافِرٌ بِرَبِّهِ يُسْتَتَابُ، فَإِنْ تَابَ، وَإِلا ضُرِبَتْ عُنُقُهُ
Aku mendengar Muhammad bin Shaalih
bin Haani’ berkata: Aku mendengar Abu Bakr Muhammad bin Ishaaq bin Khuzaimah
berkata: “Barangsiapa yang tidak mengatakan bahwasannya Allah ta’ala beristiwa’
di atas ‘Arsy, di atas tujuh lagit, maka ia telah kafir terhadap Rabbnya. Ia
diminta untuk bertaubat. Jika mau bertaubat, maka diterima, jika tidak,
dipenggal lehernya” (Diriwayatkan oleh Abu ‘Abdillah Al-Haakim dalam Ma’rifatu
‘Uluumil-Hadiits hal. 84; Daarul-Afaaq)
Sanadnya shahih.
16. Abul-Hasan Al-Asy’ariy Rahimahullah
(W. 324 H)
وأجمعوا . . أنه
فوق سماواته على عرشه دون أرضه ، وقد دل على ذلك بقوله: {أأمنتم من في السماء أن
يخسف بكم الأرض}، وقال: {إليه يصعد الكلم الطيب والعمل الصالح يرفعه}. وقال:
{الرحمن على العرش استوى}، وليس استواءه على العرش استيلاء كما قال أهل القدر،
لأنه عز وجل لم يزل مستوليا على كل شيء
“Dan mereka (para ulama Ahlus-Sunnah)
bersepakat..... bahwasannya Allah berada di atas langit-langit-Nya, di atas
‘Arsy-Nya, bukan di bumi-Nya. Dan hal itu ditunjukkan melalui firman-Nya:
‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan
menjungkir balikkan bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk: 16) Dan Allah berfirman:
‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh
dinaikkan-Nya’ (QS. Faathir: 10) Allah berfirman: ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah,
Yang ber-istiwaa’ di atas 'Arsy’ (QS. Thaha: 5) Dan bukanlah yang dimaksud
istiwaa’-nya Allah di atas ‘Arsy itu adalah istilaa’ (menguasai) sebagaimana
yang dikatakan oleh orang-orang Qadariyyah. Karena Allah ‘azza wa jalla
senantiasa berkuasa atas segala sesuatu” (Risaalatun ilaa Ahlits-Tsaghr oleh
Abul-Hasan Al-Asy’ariy, hal. 231-234, tahqiq: ‘Abdullah bin Syaakir
Al-Junaidiy; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 2/1422 H)
17. Abu Bakr Muhammad Bin Al-Husain
Al-Aajurriy Rahimahullah (W. 360 H)
أن الله عز وجل
على عرشه فوق سبع سمواته، وعلمه محيط بكل شيء، لا يخفى عليه شيء في الأرض ولا في
السماء
“Bahwasannya Allah ‘azza wa jalla
berada di atas ‘Arsy-Nya, di atas tujuh langit-langit-Nya. Dan ilmu-Nya
meliputi segala sesuatu, tidak ada sesuatu pun dibumi dan di langit yang
tersembunyi darinya” (Asy-Syarii’ah oleh Abu Bakr Al-Aajurriy, 2/70, tahqiq:
Al-Waliid bin Muhammad; Muassasah Qurthubah, Cet. 1/1417 H)
18. Ibnu Abi Zaid Al-Qairuwaaniy Rahimahullah
(W. 386 H)
وأنه تعالى فوق
عرشه المجيدِ بذاته ، وأنه في كل مكان بعلمه
“Allah ta’ala berada di atas
‘Arsy-Nya yang mulia dengan Dzat-Nya, dan bahwasannya Ia berada di setiap
tempat dengan ilmu-Nya” (Risaalah Ibni Abi Zaid Al-Qairuwaaniy yang termuat
dalam kitab ‘Aqaaidu Aimmatis-Salaf oleh Fawwaaz Ahmad Zamarliy, hal. 163;
Daarul-Kitaab Al-‘Arabiy, Cet. 1/1415 H)
وأنه فوق
سماواته على عرشه دون أرضه، وأنه في كل مكان بعلمه
“Dan Allah berada di atas
langit-langit-Nya, di atas ‘Arsy-Nya, bukan di bumi-Nya. Dan bahwasannya ia ada
di setiap tempat dengan ilmu-Nya” (Al-Jaami’ hal. 141 melalui perantaraan
Masaailul-‘Aqiidah Allatii Qarrarahaa Aimmatul-Maalikiyyah oleh Abu ‘Abdillah
Al-Hammaadiy, hal. 199; Ad-Daarul-Atsariyyah, Cet. 1/1429 H)
19. Abu ‘Abdillah Muhammad Bin Ishaaq
Bin Mandah Rahimahullah (W. 395 H)
بيان اخر يدل
على أن الله تعالى فوق عرشه بائنا عن خلقه
“Penjelasan lain yang menunjukkan
bahwa Allah ta’ala di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya” (At-Tauhiid
oleh Ibnu Mandah, hal. 666, tahqiq: Muhammad Al-Wuhaibiy & Muusaa bin
‘Abdil-‘Aziiz Al-Ghushn; Daarul-Hadyin-Nabiy, Cet. 1/1428 H)
ذكر الايات
المتلوة والأخبار المأثورة بنقل الرواة المقبولة التي تدل على أن الله تعالى فوق
سمواته وعرشه وخلقه قاهرا سميعا عليما
“Penyebutan ayat-ayat dan
khabar-khabar ma’tsuur dengan penukilan dari para perawi yang diterima, yang
menunjukkan bahwa Allah ta’ala berada di atas langit-langit-Nya, ‘Arsy-Nya, dan
makhluk-Nya; berkuasa, Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui” (At-Tauhiid oleh
Ibnu Mandah, hal. 761)
20. Ibnu Abi Zamaniin Rahimahullah
(W. 399 H)
وَهَذَا
الْحَدِيثُ بَيَّنَ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى عَرْشِهِ فِي السَّمَاءِ
دُونَ الأَرْضِ، وَهُوَ أَيْضًا بَيِّنٌ فِي كِتَابِ اللَّهِ، وَفِي غَيْرِ مَا
حَدِيثٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ
“Hadits ini menjelaskan bahwa Allah
‘azza wa jalla di atas ‘Arsy-Nya di langit, bukan di bumi. Dan hadits itu juga
dijelaskan dalam Kitabullah dan hadits lain dari Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam” (Ushuulus-Sunnah oleh Ibnu Abi Zamaniin, hal. 113, tahqiq:
‘Abdullah Al-Bukhaariy; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 1/1415 H)
21. Abul-Qaasim Hibatullah Bin Al-Hasan
Al-Laalikaa’iy Rahimahullah (W. 418 H)
سِيَاقُ مَا
رُوِيَ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى وَأَنَّ
اللَّه عَلَى عرشه فِي السماء وقال عَزَّ وَجَلَّ: إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ
الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ. وقال: أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي
السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ. وقال تعالى: وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ
عِبَادِهِ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُمْ حَفَظَةً. فدلت هذه الآية أَنَّهُ تعالى فِي
السماء، وعلمه محيط بكل مكان مِن أرضه وسمائه
“Pembicaraan tentang apa-apa yang
diriwayatkan dalam firman-Nya ta’ala: ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang
bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha: 5) Dan bahwasannya Allah berada di atas
‘Arsy-Nya di langit. Allah ‘azza wa jalla berfirman: ‘Kepada-Nya lah naik
perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya’ (QS. Faathir:
10) Dan firman-Nya ta’ala: ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di
langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk: 16)
Dan firman-Nya ta’ala: ‘Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas
semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga’ (QS.
Al-An’aam: 61) Ayat-ayat ini menunjukkan bahwasannya Allah ta’ala berada di
langit dan ilmu-Nya meliputi seluruh tempat di bumi-Nya dan langit-Nya” (Syarh
Ushuulil-I’tiqaad oleh Al-Laalikaa’iy, hal. 387-388)
22. Abun-Nashr As-Sijziy Al-Hanafiy Rahimahullah
(W. 444 H)
واعتقاد أهل
الحق أن الله سبحانه فوق العرش بذاته من غير مماسة
“Dan orang-orang yang menetapi
kebenaran berkeyakinan bahwasannya Allah subhaanahu wa ta’ala di atas ‘Arsy
dengan Dzaat-Nya tanpa bersentuhan” (Risaalah As-Sijziy ilaa Ahli Zubaid, hal.
126-127)
23. Abu ‘Amru Ad-Daaniy rahimahullah
(w. 444 H)
ومن قولهم: أنه
سبحانه فوق سماواته، مستو على عرشه، ومستول على جميع خلقه، وبائن منهم بذاته، غير
بائن بعلمه
“Dan termasuk di antara perkataan
mereka: Bahwasannya Allah subhaanahu wa ta’ala di atas langit-langit-Nya,
beristiwaa’ di atas ‘Arsy-Nya, berkuasa atas segala makhluknya. Ia terpisah
dari mereka dengan Dzaat-Nya, namun tidak terpisah dengan ilmu-Nya” (Ar-Risaalah
Al-Waafiyah hal. 52 melalui perantaraan Masaailul-‘Aqiidah Allatii Qarrarahaa
Aimmatul-Maalikiyyah, hal. 194)
24. Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuuniy Rahimahullah
(W. 449 H)
ويعتقد أصحاب
الحديث ويشهدون أن الله سبحانه وتعالى فوق سبع سمواته على عرشه مستوٍ، كما نطق به
كتابه في قوله عز وجل في سورة يونس: إِنَّ رَبَّكُمُ اللّهُ الَّذِي خَلَقَ
السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ)..
“Para ahli hadits berkeyakinan dan
bersaksi bahwasannya Allah subhaanahu wa ta’ala berada di atas tujuh langit, di
atas ‘Arsy-Nya sebagaimana tertuang dalam Kitab-Nya dalam surat Yuunus:
‘Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam
enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy untuk mengatur segala urusan’
(QS. Yuunus: 3)…” (‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabil-Hadiits, hal. 44, tahqiq:
Abul-Yamiin Al-Manshuuriy; Daarul-Minhaaj, Cet. 1/1423 H)
25. Ibnu ‘Abdil-Barr Rahimahullah (W.
463 H)
وفيه دليل على
أن الله - عز وجل - في السماء على العرش من فوق سبع سموات، كما قالت الجماعة، وهو
من حججهم على المعتزلة والجهمية، في قولهم إن الله - عز وجل - في كل مكان، وليس
على العرش، والدليل على صحة ما قالوه أهل الحق في ذلك قول الله - عز وجل - {الرحمن
على العرش استوى}...وقوله {إليه يصعد الكلم الطيب}... وقال جل ذكره {سبح اسم ربك
الأعلى} وهذا من العلو...
“Padanya terdapat dalil bahwasannya
Allah ‘azza wa jallaa berada di langit di atas ‘Arsy, dari atas tujuh langit
sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Dan hadits tersebut
(yaitu hadits nuzuul – Abul-Jauzaa’) merupakan hujjah mereka terhadap
Mu’tazilah dan Jahmiyyah atas perkataan mereka: ‘Sesungguhnya Allah ‘azza wa
jalla ada di setiap tempat, dan tidak berada di atas ‘Arsy’. Dalil atas kebenaran
apa yang dikatakan oleh ahlul-haq (orang-orang yang menetapi kebenaran)
terhadap permasalahan tersebut adalah firman Allah ‘azza wa jalla: ‘(Yaitu)
Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha: 5), dan
firman-Nya: ‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang
saleh dinaikkan-Nya’ (QS. Faathir: 10), dan firman-Nya: ‘Sucikanlah nama
Tuhanmu Yang Maha Tinggi’ (QS. Al-A’laa: 1) Dan ini termasuk sifat
Al-‘Ulluw....” (At-Tamhiid, 7/129-131 dengan peringkasan – melalui perantaraan
kitab ‘Aqiidatu Al-Imaam Ibni ‘Abdil-Barr fit-Tauhiid wal-Iimaan, oleh
Sulaimaan bin Shaalih Al-Ghushn, hal. 318; Daarul-‘Aashimah, Cet. 1/1416 H)
26. Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy Rahimahullah
(W. 620 H)
فإن الله تعالى
وصف نفسه بالعلو في السماء ووصفه بذلك محمد خاتم الأنبياء، وأجمع على ذلك جميع
العلماء من الصحابة الأتقياء والأئمة من الفقهاء، وتواترت الأخبار بذلك على وجه
حصل به اليقين
“Sesungguhnya Allah ta’ala telah
mensifatkan diri-Nya dengan al-‘ulluw (ketinggian) di atas langit, dan juga
telah mensifatkan-Nya dengan hal itu Muhammad penutup para Nabi. Seluruh ulama
dari kalangan shahabat yang bertaqwa dan para imam kalangan fiqahaa’ telah
bersepakat tentang hal itu (ketinggian Allah di atas langit) Dan telah
mutawatir hadits-hadits yang berkenaan dengannya yang menghasikan keyakinan...”
(Itsbaatu Shifatil-‘Ulluw oleh Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy, hal. 63, tahqiq: Dr.
Ahmad bin ‘Athiyyah Al-Ghaamidiy; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 1/1409 H)
27. Abu ‘Abdillah Al-Qurthubiy Rahimahullah
(W. 671 H)
أن الله على
عرشه كما أخبر في كتابه، وعلى لسان نبيه، بلا كيف، بائن من جميع خلقه هذا جملة
مذهب السلف الصالح فيما نقل عنهم الثقات
“Bahwasannya ‘Allah berada di atas
‘Arsy-Nya sebagaimana yang Ia khabarkan dalam kitab-Nya dan melalui lisan
Nabi-Nya, dan terpisah dari seluruh makhluk-Nya. Ini merupakan perkataan
madzhab as-salafush-shaalih yang dinukil oleh para perawi tsiqaat dari mereka”
(Al-Asnaa fii Syarh Al-Asmaail-Husnaa, 2/132 – melalui perantaraan muqaddimah
muhaqqiq kitab Khalqu Af’alil-‘Ibaad lil-Bukhaariy, 1/171; Daarul-Athlas, Cet.
1/1425 H)
Ketinggian Allah di atas
langit-langit-Nya adalah sesuatu yang sangat jelas dan sangat mudah dipahami
oleh generasi salaf. Bahkan budak wanita yang tidak terpelajar pun paham,
ketika ia ditanya: ‘Dimanakah Allah?’, maka ia menjawab: ‘Di atas langit’.
حدثنا أبو جعفر
محمد بن الصباح، وأبو بكر بن أبي شيبة (وتقاربا في لفظ الحديث) قالا: حدثنا
إسماعيل بن إبراهيم عن حجاج الصواف، عن يحيى بن أبي كثير، عن هلال بن أبي ميمونة،
عن عطاء بن يسار، عن معاوية بن الحكم السلمي؛ قال: ...... وكانت لي جارية ترعى
غنما لي قبل أحد والجوانية. فاطلعت ذات يوم فإذا الذيب (الذئب؟؟) قد ذهب بشاة من
غنمها. وأنا رجل من بني آدم. آسف كما يأسفون. لكني صككتها صكة. فأتيت رسول الله
صلى الله عليه وسلم فعظم ذلك علي. قلت: يا رسول الله! أفلا أعتقها؟ قال "ائتني
بها" فأتيته بها. فقال لها "أين الله؟" قالت: في السماء. قال
"من أنا؟" قالت: أنت رسول الله. قال "أعتقها. فإنها مؤمنة".
Telah menceritakan kepada kami Abu
Ja’far Muhammad bin Ash-Shabbaah dan Abu Bakr bin Abi Syaibah (yang keduanya
berdekatan dalam lafadh hadits tersebut), mereka berdua berkata: Telah
menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim, dari Hajjaaj Ash-Shawaaf,
dari Yahyaa bin Abi Katsiir, dari Hilaal bin Abi Maimuunah, dari ‘Athaa’ bin
Yasaar, dari Mu’aawiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy, ia berkata: “…..Aku mempunyai
seorang budak wanita yang menggembalakan kambingku ke arah gunung Uhud dan
Jawwaaniyyah. Pada suatu hari aku memantaunya, tiba-tiba ada seekor serigala
yang membawa lari seekor kambing yang digembalakan budakku itu. Aku sebagaimana
manusia biasa pun marah sebagaimana orang lain lain marah (melihat itu) Namun
aku telah menamparnya, lalu aku mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Beliau pun menganggap besar apa yang telah aku lakukan. Aku berkata:
‘Wahai Rasulullah, apakah aku harus memerdekakannya?’. Beliau menjawab:
‘Bawalah budak wanita itu kepadaku’. Aku pun membawanya kepada beliau. Lalu
beliau bertanya kepada budak wanita itu: ‘Dimanakah Allah?’. Ia menjawab: ‘Di
langit’. Beliau bertanya lagi: ‘Siapakah aku?’. Ia menjawab: ‘Engkau adalah
utusan Allah (Rasulullah)’. Beliau pun bersabda: ‘Bebaskanlah, sesungguhnya ia
seorang wanita beriman” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 537 – lihat bahasannya di
sini)
Begitu juga dengan ‘Umar bin
Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu yang berisyarat ke langit ketika berbicara
tentang Allah ta’ala.
حدثنا وكيع عن
إسماعيل عن قيس قال: لما قدم عمر الشام استقبله الناس وهو على البعير فقالوا: يا
أمير المؤمنين لو ركبت برذونا يلقاك عظماء الناس ووجوههم ، فقال عمر: لا أراكم
ههنا ، إنما الامر من هنا - وأشار بيده إلى السماء
Telah menceritakan kepada kami
Wakii’, dari Ismaa’iil, dari Qais, ia berkata: Ketika ‘Umar baru datang dari
Syaam, orang-orang menghadap kepadanya dimana ia waktu itu masih di atas onta
tunggangannya. Mereka berkata: “Wahai Amiirul-Mukminiin, jika saja engkau
mengendarai kuda tunggangan yang tegak, niscaya para pembesar dan tokoh-tokoh
masyarakat akan menemuimu”. Maka ‘Umar menjawab: “Tidakkah kalian lihat,
bahwasannya perintah itu datang dari sana? – Dan ia (‘Umar) berisyarat dengan
tangannya ke langit” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 13/40; shahih)
Namun, datanglah kemudian generasi
yang tersibukkan dengan ilmu filsafat/kalam. Mereka menolak pemahaman generasi
salaf tentang keberadaan Allah di atas langit. Mereka pun membuat aneka macam
teori yang membingungkan. Jika kita mengatakan Allah berada di atas langit
ketujuh dan di atas ‘Arsy-Nya, maka – kata mereka - itu sama saja Allah
membutuhkan tempat. Lalu dengan lancangnya mereka kemudian berfatwa untuk
‘melarang’ pelaziman perkataan: ‘Dimanakah Allah (ainallah)?’. Ini adalah
sebodoh-bodoh pemahaman. Abu Muhammad ‘Abdul-Ghaniy Al-Maqdisiy rahimahullah
(w. 600 H) berkata:
ومن أجهل جهلا،
وأسخف عقلا، وأضل سبيلا ممن يقول إنه لا يجوز أن يقول: أين الله، بعد ما تصريح
صاحب الشريعة بقوله (إين الله) ؟!.
“Dan termasuk kebodohan yang paling
bodoh, akal yang paling lemah, dan jalan yang paling sesat adalah orang yang
mengatakan tidak diperbolehkannya untuk berkata: ‘Dimanakah Allah?’, setelah
adanya kejelasan dari shaahibusy-syarii’ah (yaitu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam) dengan sabdanya: ‘Dimanakah Allah?” (Al-Iqtishaad fil-I’tiqaad oleh
‘Abdul-Ghaniy Al-Maqdisiy, hal. 89, tahqiq: Dr. Ahmad bin ‘Athiyyah
Al-Ghaamidiy; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 1/1414 H)
Seandainya mereka (ahli kalam)
ditanya: ‘Dimanakah Allah?’, mereka akan menjawab: ‘Allah itu tidak di langit,
tidak di bumi, tidak di atas, tidak di bawah, tidak di dalam alam, tidak di
luar alam.
Lantas dimanakah sebenarnya Allah itu
menurut mereka?.
Dan mereka (ahli kalam) mengatakan
bahwa jika kita menetapkan bahwa Allah ta’ala ada di atas, di atas langit, dan
di atas ‘Arsy-Nya; maka itu sama saja menyamakan Allah ta’ala dengan makhluk.
Akhirnya, Ahlus-Sunnah mereka gelari dengan gelaran-gelaran buruk seperti
mujassim atau musyabbih.
Adz-Dzahabiy rahimahullah (w. 748 H)
berkata:
مقالة السلف
وأئمة السنة بل والصحابة والله ورسوله والمؤمنون، أن الله عز وجل في السماء، وأن
الله على العرش، وأن الله فوق سماواته، وأنه ينزل إلى السماء الدنيا، وحجتهم على
ذلك النصوص والآثار.
ومقالة الجهمية:
أن الله تبارك وتعالى في جميع الأمكنة، تعالى الله عن قولهم، بل هو معنا أينما كنا
بعلمه.
ومقال متأخري
المتكلمين: أن الله تعالى ليس في السماء، ولا على العرش، ولا على السموات، ولا في
الأرض، ولا داخل العالم، ولا خارج العالم، ولا هو بائن عن خلقه ولا متصل بهم!
وقالوا: جميع هذه الأشياء صفات الأجسام والله تعالى منزه عن الجسم!
قال لهم أهل
السنة والأثر: نحن لا نخوض في ذلك، ونقول ما ذكرناه اتباعا للنصوص، وإن زعمتم...
ولا نقول بقولكم، فإن هذه السلوب نعوت المعدوم، تعالى الله جل جلاله عن العدم، بل
هو موجود متميز عن خلقه، موصوف بما وصف به نفسه، من أنه فوق العرش بلا كيف.
“Perkataan salaf dan para imam
sunnah, bahkan para shahabat, Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman:
Bahwasannya Allah ‘azza wa jalla di langit. Dan bahwasannya Allah berada di
atas ‘Arsy, di atas langit-langit-Nya. Ia turun ke langit dunia. Hujjah mereka
atas hal itu adalah nash-nash dan atsar-atsar.
Adapun perkataan Jahmiyyah: Allah
tabaaraka wa ta’ala ada di seluruh tempat. Maha Tinggi Allah dari perkataan
mereka itu. Namun, Allah bersama kita di mana saja kita berada dengan ilmu-Nya.
Dan perkataan ahli kalam kontemporer:
Allah ta’ala tidak di langit, tidak di atas ‘Arsy, tidak di atas
langit-langit-(Nya), tidak di bumi, tidak berada di dalam alam, tidak di luar
alam, tidak terpisah dari makhluk-Nya, dan tidak pula melekat dengannya !.
Mereka (ahli kalam) berkata: ‘Semua hal ini merupakan sifat jism (tubuh), dan
Allah ta’ala suci dari sifat jism (tubuh)’. (2)
Orang-orang yang berpegang pada
sunnah dan atsar (Ahlus-Sunnah wal-Atsar) berkata kepada mereka: ‘Kami tidak
akan berlarut-larut dalam hal itu. Kami mengatakan apa yang telah kami sebutkan
tentangnya, yaitu mengikuti nash-nash. Dan seandainya kalian menyangkakan
sesuatu, .... maka kami tidak akan berkata dengan perkataan kalian, karena
pernyataan-pernyataan tersebut adalah sifat-sifat bagi sesuatu yang tidak ada
(ma’duum) Maha Tinggi Allah jalla jalaaluhu dari ketiadaan. Bahkan Ia ada
(maujuud) lagi terpisah dari makhluk-Nya. Allah disifati dengan apa-apa yang Ia
sifatkan dengannya bagi diri-Nya, bahwasannya Ia di atas ‘Arsy tanpa perlu
ditanyakan ‘bagaimana’” (Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar oleh Adz-Dzahabiy,
hal. 107, tashhiih: ‘Abdurrahmaan bin Muhammad ‘Utsmaan; Al-Maktabah
As-Salafiyyah, Cet. 2/1388 H)
Adapun tentang tuduhan tasybiih,
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan:
والمقصود هنا أن
أهل السنة متفقون على أن الله ليس كمثله شيء, لا في ذاته ولا في صفاته ولا في
أفعاله, ولكن لفظ التشبيه في كلام الناس لفظ مجمل, فإن أراد بنفي التشبيه ما نفاه
القرآن, ودل عليه العقل فهذا حق, فإن خصائص الرب تعالى لا يماثله شيء من المخلوقات
في شيء من صفاته....., وإن أراد بالتشبيه أنه لا يثبت لله شيء من الصفات, فلا يقال
له علم, ولا قدرة ولا حياة, لأن العبد موصوف بهذه الصفات فيلزم أن لا يقال له: حي,
عليم, قدير لأن العبد يسمى بهذه الأسماء, وكذلك في كلامه وسمعه وبصره ورؤيته وغير
ذلك......
“Dan yang dimaksud di sini,
Ahlus-Sunnah sepakat bahwa tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah. Tidak
dalam Dzaat-Nya, sifat-Nya, ataupun perbuatan-perbuatan-Nya. Akan tetapi lafadh
tasybiih dalam perkataan manusia adalah lafadh yang mujmal. Apabila yang
diinginkan dengan penafikan tasybiih adalah apa-apa yang dinafikkan Al-Qur’an
dan ditunjukkan oleh akal (sehat), maka ini benar. Hal ini dikarenakan
kekhususan-kekhususan Rabb ta’ala tidaklah disamai sesuatupun dari makhluk-makhluk,....
Dan apabila yang diinginkan dengan tasybiih tersebut bahwa tidak ada satu pun
sifat yang boleh ditetapkan untuk Allah, sehingga tidak boleh dikatakan
pada-Nya ilmu, qudrah, dan hidup, karena hamba juga disifati dengan sifat-sifat
ini; maka ia mengkonsekuenskan tidak boleh dikatakan pada-Nya: Yang Maha Hidup,
Yang Maha Mengetahui, dan Maha Berkuasa, karena hamba juga dinamai dengan
nama-nama ini. Begitu juga halnya dengan firman-Nya, pendengaran-Nya,
pengelihatan-Nya, ru’yah-Nya, dan yang lainnya.....” (Minhajus-Sunnah, melalui
perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw lidz-Dzahabiy oleh Al-Albaaniy, hal. 68;
Al-Maktab Al-Islaamiy, Cet. 2/1412 H)
Tasybih menurut pemahaman
Ahlus-Sunnah tidaklah seperti yang mereka sangka.
وقَالَ إِسْحَاق
بْنُ إِبْرَاهِيمَ: إِنَّمَا يَكُونُ التَّشْبِيهُ إِذَا قَالَ: يَدٌ كَيَدٍ أَوْ
مِثْلُ يَدٍ أَوْ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ، فَإِذَا قَالَ: سَمْعٌ
كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَهَذَا التَّشْبِيهُ، وَأَمَّا إِذَا قَالَ: كَمَا
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: " يَدٌ وَسَمْعٌ وَبَصَرٌ " وَلَا يَقُولُ
كَيْفَ، وَلَا يَقُولُ مِثْلُ سَمْعٍ وَلَا كَسَمْعٍ، فَهَذَا لَا يَكُونُ
تَشْبِيهًا، وَهُوَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابهِ: لَيْسَ كَمِثْلِهِ
شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Dan Ishaaq bin Rahawaih berkata:
“Tasybih itu hanya terjadi ketika seseorang itu mengatakan: ‘Tangan (Allah)
seperti tangan (makhluk), pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk)”.
Jika ia berkata: ‘Pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk)’, maka
inilah yang dinamakan tasybih (penyerupaan) Adapun jika seseorang mengatakan
seperti firman Allah: ’Tangan, pendengaran, penglihatan’ , kemudian ia tidak
mengatakan: ’bagaimana’ dan tidak pula mengatakan ’seperti’ pendengaran
makhluk; maka itu tidak termasuk tasybih. Dan itu sebagaimana firman Allah
ta’ala: ‘Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat (QS. Asy-Syuuraa: 11)” (Sunan At-Tirmidziy, 2/43,
tahqiq: Basyaar ‘Awwaad Ma’ruuf; Daarul-Gharb Al-Islaamiy, Cet. 1/1996 M)
Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuuniy
rahimahullah berkata:
ولا يحرفون
الكلام عن مواضعه، بحمل اليدين على النعمتين، أو القوتين؛ تحريف المعتزلة والجهمية
– أهلكهم الله-، ولا يكيفونهما بكيف، أو يشبهونهما بأيدي المخلوقين، تشبيه المشبهة
–خذلهم الله-
“Dan tidak mentahrif (merubah)
perkataan dari tempatnya, (seperti misal) dengan membawa makna ‘dua tangan’
pada makna ‘dua nikmat’ atau ‘dua kekuatan’ sebagaimana tahrif kelompok
Mu’tazilah dan Jahmiyyah – semoga Allah membinasakan mereka - . Tidak pula
men-takyif-nya dengan (pertanyaan) ‘bagaimana’, atau men-tasybih-nya dengan
tangan kedua makhluk seperti tasybih-nya kelompok Musyabbihah – semoga Allah
tidak memberi pertolongan kepada mereka – “ (Aqiidatus-Salaf wa
Ashhaabil-Hadiits, hal. 37)
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata:
ليس يلزم من
إثبات صفاته شيء من إثبات التشبيه والتجسيم، فإن التشبيه إنما يقال: يدٌ كيدنا ...
وأما إذا قيل: يد لا تشبه الأيدي، كما أنّ ذاته لا تشبه الذوات، وسمعه لا يشبه
الأسماع، وبصره لا يشبه الأبصار ولا فرق بين الجمع، فإن ذلك تنزيه
“Tidaklah penetapan sifat-sifat-Nya
mengkonsekuensikan adanya penetapan tasybiih dan tajsiim, karena tasybiih itu
hanyalah jika dikatakan: ‘tangan seperti tanganku’...... Adapun jika dikatakan:
‘tangan namun tidak menyerupai tanganku’, sebagaimana Dzaat-Nya tidak
menyerupai dzat-dzat makhluk, pendengaran-Nya tidak menyerupai
pendengaran-pendengaran makhluk, dan penglihatan tidak menyerupai
penglihatan-penglihatan makhluk, maka itulah yang disebut tanziih” (Al-Arba’iin
min Shifaati Rabbil-‘Aalamiin oleh Adz-Dzahabiy, hal. 104, tahqiq:
‘Abdul-Qaadir ‘Athaa’; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 1/1413 H)
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata:
ومُحالٌ أن يكون
مَن قال عن اللهِ ما هو في كتابه منصوصٌ مُشبهًا إذا لم يُكيّف شيئا، وأقرّ أنه
ليس كمثله شيء
“Dan tidaklah mungkin terjadi pada
orang yang berbicara tentang Allah sesuatu yang ternashkan dalam kitab-Nya
disebut sebagai musyabbih, ketika ia tidak men-takyif-nya sedikitpun dan
mengatakan tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya” (Al-Istidzkaar oleh
Ibnu ‘Abdil-Barr, 8/150, tahqiq: Dr. ‘Abdul-Mu’thiy Al-Qal’ajiy; Daar Qutaibah,
Cet. 1/1414 H)
Kembali ke bahasan, penetapan bahwa
Allah dengan Dzat-Nya mempunyai sifat ketinggian di atas semua makhluk-Nya itu
tidaklah mengkonsekuensikan tasybiih hanya karena ada sebagian kesamaan bahwa
sifat tinggi juga dimiliki oleh makhluk-Nya. Hanya saja, ketinggian Allah
adalah ketinggian yang sempurna yang tidak ada sesuatu pun yang menyamainya.
Footnote:
(1) Karena yang bersama hamba-Nya itu
adalah ilmu-Nya.
(2) Jika Anda perhatikan, apa yang
dikatakan Adz-Dzahabiy tentang ahli kalam ini merupakan realitas perkataan
Asyaa’irah. Lebih-lebih, ketika mereka membantah Ahlus-Sunnah yang mereka sebut
dengan wahabiy!
Wallaahu a’lam.
(Senayan, Jakarta – 1432 H)
Penulis: Abul Jauzaa’
(Alumnus IPB & UGM)
Editor: Ahmadi As-Sambasy
Cilacap – Jawa Tengah
Posting Komentar untuk "Ketinggian Allah di Atas Semua Makhluk-Nya"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.