Cara Pandang Khawarij Terhadap Ayat Hukum (QS. Al-Maaidah: 44)
Telah berkata Al-Imaam Abu Bakr Muhammad bin Al-Husain Al-Aajurriy rahimahullah (w. 360 H):
ومما يتبع الحرورية
من المتشابه قول الله عز وجل: وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ
هُمُ الْكَافِرُونَ . ويقرؤون معها: ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ
فإذا رأوا الإمام يحكم بغير الحق قالوا: قد كفر . ومن كفر عدل بربه ، فقد أشرك ، فهؤلاء
الأئمة مشركون ، فيخرجون فيفعلون ما رأيت ، لأنهم يتأولون هذه الآية .
“Dan
termasuk di antara syubhat yang diikuti kaum Haruuriyyah (Khawaarij) dalam
firman Allah ta’ala: ‘Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang
diturunkan Allah, maka mereka termasuk orang-orang kafir’ (QS. Al-Maaidah: 44)
Mereka membacanya bersama ayat: ‘Namun orang-orang yang kafir mempersekutukan
(sesuatu) dengan Tuhan mereka’ (QS. Al-An’aam: 1) Apabila mereka melihat
seorang imam (penguasa) yang berhukum bukan dengan kebenaran, mereka pun
berkata: ‘Sungguh ia telah kafir. Dan barangsiapa yang kafir, maka ia telah
mempersekutukan Rabb-nya, dan sungguh ia telah berbuat syirik. Mereka adalah
para pemimpin kaum musyrik’. Akhirnya, mereka (Khawaarij) keluar (dari
ketaatan) dan melakukan apa-apa yang telah kamu lihat. Hal itu dikarenakan mereka
mena’wilkan (secara keliru) ayat ini”. (Asy-Syarii’ah, 1/144, tahqiq: Al-Waliid
bin Muhammad; Muassasah Qurthubah, Cet. 1/1417)
Telah
berkata Al-Haafidh Abu ‘Umar Yuusuf bin ‘Abdillah bin Muhammad bin ‘Abdil-Barr
rahimahullah (w. 463 H):
وقد ضلت جماعة من
أهل البدع من الخوارج والمعتزلة في هذا الباب فاحتجوا بهذه الآثار ومثلها في تكفير
المذنبين واحتجوا من كتاب الله بآيات ليست على ظاهرها مثل قوله عز وجل {وَمَنْ لَمْ
يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ}
“Dan
sungguh telah tersesat sekawanan ahlul-bida’ dari kalangan Khawaarij dan
Mu’tazilah dalam bab ini. Mereka berhujjah dengan atsar-atsar ini dan yang
semisalnya dalam pengkafiran orang-orang yang berbuat dosa. Mereka pun
berhujjah dengan Al-Qur’an berupa ayat-ayat yang tidak dimaksudkan sebagaimana
dhahir-nya, seperti firman-Nya ‘azza wa jalla: ‘‘Dan barangsiapa yang tidak
berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah, maka mereka termasuk orang-orang
kafir’ (QS. Al-Maaidah: 44)’. (At-Tamhiid limaa fii Muwaththa’ Maalik minal-Asaanid,
17/16 – melalui perantaraan Al-Burhaanul-Miniir fii Dahdli Syubuhaati
Ahlit-Takfiir wat-Tafjiir oleh ‘Abdul-‘Aziiz bin Rays Ar-Rays – http://www.islamancient.net)
(1)
Telah
berkata Al-Imaam Al-Jashshaash rahimahullah:
وقد تأولت الخوارج
هذه الآية على تكفير من ترك الحكم بما أنزل الله من غير جحود
“Dan
Khawaarij telah menta’wikan ayat ini akan kafirnya orang yang meninggalkan
hukum yang diturunkan Allah tanpa pengingkaran”. (Ahkaamul-Qur’aan, 2/534 –
melalui perantaraan Al-Burhaanul-Miniir fii Dahdli Syubuhaati Ahlit-Takfiir
wat-Tafjiir oleh ‘Abdul-‘Aziiz bin Rays Ar-Rays – http://www.islamancient.net)
Al-Imaam
Abul-Mudhaffar As-Sam’aaniy rahimahullah (w. 486 H):
واعلم أن الخوارج
يستدلون بهذه الآية ويقولون من لم يحكم بما أنزل الله فهو كافر وأهل السنة قالوا لا
يكفر بترك الحكم وللآية تأويلان أحدهما معناه ومن لم يحكم بما أنزل الله ردا وجحدا
فأولئك هم الكافرون والثاني معناه ومن لم يحكم بكل ما أنزل الله فأولئك هم الكافرون
“Ketahuilah,
bahwasannya Khawaarij berdalil dengan ayat ini, dimana mereka berkata:
‘Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan, maka ia
kaafir’. Adapun Ahlus-Sunnah berkata: ‘Tidak dikafirkan dengan meninggalkan
hukum (Allah)’. Ada dua tafsir terkait ayat tersebut: (1) Maknanya adalah,
barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah dengan
penolakan dan pengingkaran, maka mereka termasuk orang-orang kafir; dan (2)
Maknanya adalah, barangsiapa yang tidak berhukum dengan semua apa yang
diturunkan Allah, maka mereka termasuk orang-orang kafir” (Tafsir As-Sam’aaniy,
2/42; Daarul-Wathan, Cet. Thn. 1417)
Telah
berkata Al-Qaadliy Muhammad bin Al-Husain bin Muhammad bin Al-Farraa’ atau
lebih terkenal dengan Abu Ya’laa rahimahullah (w. 458 H):
واحتج بقوله تعالى
(وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ)، وظاهر
هذا يوجب إكفار أئمة الجور وهذا قولنا.
والجواب: أن المراد
بتلك اليهود
"Khawaarij
berhujjah dengan firman Allah ta'ala: 'Barangsiapa yang tidak berhukum dengan
apa yang diturunkan Allah, maka mereka termasuk orang-orang kafir'. Dhaahir
ayat ini mewajibkan untuk mengkafirkan para pemimpin yang jahat/dhalim. Inilah
perkataan kami. Jawabannya: Bahwasannya yang dimaksudkan ayat itu adalah Yahudi.....".
(Masaailul-Iimaan, hal. 340, tahqiq & ta’liq: Su’uud bin ‘Abdil-‘Aziiz
Al-Khalaf; Daarul-‘Aashimah, Cet. 1/1410)
Abul-’Abbas
Al-Qurthubi rahimahullah (guru dari mufassir Abu ’Abdillah Al-Qurthubi
rahimahullah penulis Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’an) berkata:
وقوله تعالى: )) ومن لم يحكم بما أنزل الله
فأولئك هم الكافرون )) ؛ يحتجُّ بظاهره من يُكفِّرُ بالذنوب ، وهم الخوارج ، ولا حجَّة
لهم فيه ؛ لأنَّ هذه الآيات نزلت في اليهود المحرفين كلام الله تعالى ، كما جاء في
هذا الحديث ، وهم كفار ، فيشاركهم في حكمها من يشاركهم في سبب نزولها . وبيان هذا:
أن المسلم إذا علم حكم الله تعالى في قضيَّة قطعًا ، ثم لم يحكم به ؛ فإن كان عن جَحْدٍ
كان كافرًا ، لا يختلف في هذا . وإن كان لا عن جَحْدٍ كان عاصيًا مرتكب كبيرة ؛ لأنَّه
مصدق بأصل ذلك الحكم ، وعالم بوجوب تنفيذه عليه ، لكنه عصى بترك العمل به ، وهكذا في
كل ما يعلم من ضرورة الشرع حكمه ، كالصلاة ، وغيرها من القواعد المعلومة . وهذا مذهب
أهل السُّنه.
“Firman
Allah ta’ala: Barangsiapa yang tidak berhukum/memutuskan hukum menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (QS. Al-Maaidah:
44) Dhahir ayat ini dijadikan hujjah bagi orang yang mengkafirkan orang yang
berbuat dosa (yaitu khawarij), padahal tidak ada hujjah bagi mereka pada ayat
tersebut. Karena ayat-ayat ini turun pada orang Yahudi yang menyelewengkan
firman Alah ta’ala, sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits, dan mereka
adalah orang-orang kafir. Maka orang-orang yang semisal dengan mereka yang
menjadi sebab turun ayat ini, sama pula hukumnya. Penjelasannya adalah: Sesungguhnya
seorang muslim bila dia mengetahui hukum Allah ta’ala pada perkara tertentu,
kemudian dia tidak menjalankannya, jika hal itu dilakukan karena
pengingkarannya (terhadap hukum tersebut), maka dia kafir dan ini tidak
diperselisihkan lagi. Namun jika tidak demikian (tidak mengingkari), maka dia
termasuk orang yang berbuat dosa besar, karena dia masih mengakui pokok hukum
tersebut dan mengetahui kewajiban menjalankan hukum tersebut, tapi dia
bermaksiat dengan meninggalkannya. Demikian pula halnya dengan perkara-perkara
yang hukumnya sudah diketahui dengan gamblang dari syari’at ini seperti shalat
dan selainnya berupa kaidah-kaidah yang sudah dimaklumi. Inilah madzhab
Ahlus-Sunnah". (Al-Mufhim limaa Asykala min Talkhiisi Kitaabi Muslim,
5/117)
Telah
berkata Al-Mufassir Muhammad bin Yuusuf Abu Hayyaan Al-Andaluusiy rahimahullah
(w. 745 H):
واحتجت الخوارج بهذه
الآية على أن كل من عصى الله تعالى فهو كافرٌ وقالوا هي نص في كل من حكم بغير ما أنزل
الله فهو كافر
“Khawaarij
berhujjah dengan ayat ini (yaitu QS. Al-Maaidah: 44- Abul-Jauzaa’) bahwa setiap
orang yang bermaksiat kepada Allah ta’ala, maka termasuk golongan kafir. Mereka
juga berkata: ‘Ia merupakan nash untuk setiap orang yang berhukum selain dengan
apa yang diturunkan Allah, maka termasuk golongan kafir”. (Tafsir
Al-Bahril-Muhiith, 3/505, tahqiq: ‘Aadil bin Muhammad bin ‘Abdil-Maqshuud &
‘Aliy bin Muhammad; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Cet. 1/1413)
Cara
Pandang Khawarij Ekstrim bukan?
Dan
paham-paham ini ternyata telah ada di bumi Nusantara ini…… alhamdulillah,
beberapa di antaranya sudah ada yang dicokok pihak yang berwajib. Itulah
Khawaarij, sekte paling ekstrim dalam penumpahan darah kaum muslimin. Mereka
lah anjing-anjing penduduk neraka.
حَدَّثَنَا سَهْلُ
بْنُ أَبِي سَهْلٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ أَبِي غَالِبٍ عَنْ أَبِي
أُمَامَةَ يَقُولُ شَرُّ قَتْلَى قُتِلُوا تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ وَخَيْرُ قَتِيلٍ
مَنْ قَتَلُوا كِلَابُ أَهْلِ النَّارِ قَدْ كَانَ هَؤُلَاءِ مُسْلِمِينَ فَصَارُوا
كُفَّارًا قُلْتُ يَا أَبَا أُمَامَةَ هَذَا شَيْءٌ تَقُولُهُ قَالَ بَلْ سَمِعْتُهُ
مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah
menceritakan kepada kami Sahl bin Abi Sahl (2): Telah menceritakan
kepada kami Sufyaan bin ‘Uyainah (3), dari Abu Ghaalib (4), dari
Abu Umaamah, ia berkata: “(Khawaarij adalah) seburuk-buruk manusia yang
terbunuh di bawah kolong langit, dan sebaik-baik manusia yang terbunuh adalah
orang yang di bunuh oleh anjing-anjing penduduk neraka (= Khawaarij) Pada
awalnya mereka muslim namun kemudian mereka menjadi kafir". Aku (Abu
Ghaalib) bertanya: "Wahai Abu 'Umaamah, apakah ini hanya ucapanmu semata?".
Ia menjawab: "Bahkan aku mendengarnya dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi
wa sallam". (Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 176; hasan)
حدثنا وكيع عن عكرمة
بن عمار عن عاصم بن شمخ قال: سمعت أبا سعيد الخدري يقول ويداه هكذا - يعني ترتعشان
من الكبر: لقتال الخوارج أحب إلي من قتال عدتهم من أهل الشرك
Telahmenceritakan
kepada kami Wakii’ (5), dari ‘Ikrimah bin ‘Ammaar (6), dari
‘Aaashim bin Syumaikh (7), ia berkata: Aku mendengar Abu Sa’iid
Al-Khudriy berkata – dimana kedua tangannya seperti ini, yaitu gemetar karena telah
tua -: “Sungguh, memerangi Khawaarij lebih aku senangi daripada memerangi
sejumlah mereka dari kalangan kaum musyrik”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah 15/305; lemah)
Ibnu
Hajar rahimahullah berkata:
قال ابن هبيرة: وفي
الحديث أن قتـال الخـوارج أولى من قتـال المشركين والحكمة فيه أن قتالهم حفظ رأس مال
الإسلام، وفي قتال أهل الشرك طلب الربح، وحفظ رأس المال أولى
“Telah
berkata Ibnu Hubairah: Dan dalam hadits tersebut (terdapat petunjuk bahwa)
memerangi Khawaarij lebih diutamakan daripada memerangi kaum musyrikiin. Adapun
hikmah yang ada padanya adalah memerangi mereka (Khawaarij) untuk menjaga modal
Islaam, sedangkan memerangi kaum musyrik untuk menambah laba. Menjaga modal
lebih diutamakan daripada meraih laba”. (Fathul-Baariy, 12/301)
Footnote:
(1)
Beliau rahimahullah telah mengatakan satu kalimat penting berkaitan dengan ini:
أجمع العلماء على
أن الجور في الحكم من الكبائر لمن تعمَّد ذلك عالماً به…
“Para
ulama sepakat bahwa lancung/ketidakadilan dalam hukum termasuk dosa besar bagi
siapa saja yang sengaja dalam keadaan mengetahuinya….”. (At-Tamhiid, 5/74-75)
(2)
Ia adalah Sahl bin Zanjalah Abu ‘Amru Al-Khayyaath Al-Asytar Al-Haafidh (w. 231
H) Abu Haatim berkata: “Shaduuq”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam
Ats-Tsiqaat. Maslamah bin Al-Qaasim berkata: “Tsiqah”. Ada sebagian haditsnya
yang diingkari ulama karena kekurangakurasiannya (selengkapnya lihat:
Tahdziibul-Kamaal, 12/-188 no. 2611 dan Tahdziibut-Tahdziib 4/251-252 no. 440)
Adz-Dzahabiy berkata: “Tsiqah” (Al-Kaasyif, 1/469 no. 2170) Ibnu Hajar berkata:
“Shaduuq” (At-Taqriib, hal. 419 no. 2672) Al-Albaaniy berkata: “Tsiqah” (Ash-Shahiihah,
2/470) Abu Ishaaq Al-Huwainiy berkata: “Shaduuq” (Natsnun-Nabaal, hal. 633 no.
1407) Basyar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth berkata: “Tsiqah”. (Tahriirut-Taqriib,
2/87 no. 2657)
Kesimpulan:
Ia seorang tsiqah namun memiliki beberapa keraguan.
(3)
Sufyaan bin ‘Uyainah; ia adalah Ibnu Abi ‘Imraan Al-Hilaaliy Abu Muhammad
Al-Kuufiy (107-198 H)
Ibnu
Hajar berkata: “tsiqah, haafidh, faqiih, imaam, dan hujjah. Akan tetapi
hapalannya berubah di akhir umurnya…..”. (At-Taqriib, hal. 395 no. 2464)
Perkataan
Ibnu Hajar: “hapalannya berubah di akhir umurnya” ; maka perkataan ini
bersumber pada riwayat yang dinisbatkan kepada Yahya bin Sa’iid Al-Qaththaan.
Ia (Yahyaa) ia berkata: “Bahwasannya Sufyaan bin ‘Uyainah mengalami ikhtilath
pada tahun 197. Barangsiapa yang mendengar darinya pada tahun itu atau
setelahnya, maka samaa’ (hadits)-nya itu tidak ada apa-apanya/tidak shahih”. (Tahdziibul-Kamaal,
11/196, tahqiq: Dr. Basyaar ‘Awwaad; Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 1/1408)
Perkataan
Ibnul-Qaththaan ini tidak benar. Bahkan Adz-Dzahabiy mengomentarinya sebagai
riwayat yang munkar (yang disandarkan kepada Ibnul-Qaththaan), sebab
Ibnul-Qaththaan meninggal pada bulan Shafar tahun 196 H. Lantas, bagaimana ia
dapat bersaksi bahwa Ibnu ‘Uyainah mengalami ikhtilath pada tahun 197? (lihat
penjelasan selengkapnya pada kitab Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 8/410)
Oleh
karena itu, Ibnu ‘Uyainah adalah hujjah secara mutlak dalam hadits.
(4)
Abu Ghaalib Al-Bashriy, seorang yang diperselisihkan. Ibnu Sa’d berkata:
“Munkarul-hadiits”. Ibnu Ma’iin berkata: “Shaalihul-hadiits”. Abu Haatim
berkata: “Laisa bil-qawiy”. At-Tirmidziy menghasankan sebagian haditsnya, dan
sebagian yang lain menshahihkannya. An-Nasaa’iy berkata: “Dla’iif”.
Ad-Daaruquthniy berkata: “Tsiqah”. Ibnu ‘Adiy berkata: “Aku harap tidak mengapa
dengannya”. Ibnu Hibbaan berkata: “Tidak boleh berhujjah dengannya kecuali jika
berkesesuaian dengan riwayat perawi tsiqaat”. Musa bin Haarun telah
mentsiqahkannya (lihat: Tahdzibul-Kamaal 34/170-173 no. 7561 dan
Tahdziibut-Tahdziib 12/197-198 no. 904) Adz-Dzahabiy berkata:
“Shaalihul-hadiits” (Al-Kaasyif, 2/449 no. 6776) Ibnu Hajar berkata: “Shaduuq
yukthi’ (sering keliru)”. (At-Taqriib, hal. 1188 no. 8362) Al-Albaaniy berkata:
“Hasanul-hadiits” (Ash-Shahihah, 1/841) Basyar ‘Awwaad & Al-Arna’uth
berkata: “Dla’iif yu’tabaru bihi” (Tahriirut-Taqrib, 4/249 no. 8298)
Kesimpulan:
Ia seorang yang hasan haditsnya, jika berkesesuaian dengan riwayat perawi
tsiqah. Dan di sini, riwayatnya diikuti oleh Shafwaan bin Sulaim, seorang
perawi tsiqah.
(5)
Wakii’ bin Al-Jarraah bin Maliih Ar-Ruaasiy Abu Sufyaan Al-Kuufiy; seorang yang
tsiqah tsabat, lagi ‘aabid (127/128/129-196/197 H) Dipakai Al-Bukhaariy dan
Muslim dalam Shahih-nya (At-Taqriib, hal. 1037 no. 7464)
(6)
‘Ikrimah bin ‘Ammaar Al-‘Ijliy Abu ‘Ammaar Al-Yamaamiy (w. 159 H) Ahmad bin
Hanbal berkata: “Mudltharibul-hadiits dari Yahyaa bin Abi Katsiir”. Ia juga
berkata: “Mudltharibul-hadits dari selain Iyaas bin Salamah. Adapun haditsnya
yang beasal dari Iyaas bin Salamah shaalih (baik)”. Yahyaa bin Ma’in berkata:
“Tsiqah”. Di lain riwayat: “Tsabat”. Di lain riwayat: Shaduuq, tidak mengapa
dengannya”. Di lain riwayat: “Ia seorang buta huruf, namun haafidh”. ‘Aliy bin
Al-Madiiniy berkata: “Hadits-hadits ‘Ikrimah bin ‘Ammaar dari Yahyaa bin Abi
Katsiir tidaklah seperti itu. Ia diingkari. Adapun Yahyaa bin Sa’iid
mendla’ifkan keduanya”. Di lain riwayat: “Yahyaa melemahkan riwayat penduduk
Yamaamah seperti ‘Ikrimah bin ‘Ammaar dan membuangnya”. Di lain riwayat ia
(Ibnul-Madiiniy) berkata: “’Ikrimah bin ‘Amaar di sisi shahabat kami seorang
yang tsiqah lagi tsabat”. Ahmad bin ‘Abdilah Al-‘Ijliy berkata: “Tsiqah”.
Al-Bukhaariy berkata: “Mudltharibul-hadiits dalam riwayat Yahyaa bin Abi
Katsiir, dan ia (‘Ikrimah) tidak mempunyai kitab (catatan)”. Al-Aajurriy
berkata: “Aku pernah bertanya kepada Abu Daawud tentang ‘Ikrimah in ‘Amaar,
maka ia berkata: ‘Tsiqah, dan dalam hadits Yahyaa bin Katsiir idlthiraab
(goncang)”. An-Nasaa’iy berkata: “Tidak mengapa dengannya, kecuali haditsnya
yang berasal dari Yahyaa bin Abi Katsiir”. Abu Haatim berkata: “Ia seorang yang
shaaduq, kadangkala ragu, kadangkala pula melakukan tadlis. Sedangkan haditsnya
yang berasal dari Yahyaa bin Abi Katsiir sebagiannya terdapat beberapa
kekeliruan”. Zakariyyaa bin Yahyaa As-Saajiy berkata: “Shaduuq”. Muhammad bin
‘Abdillah Al-Muushiliy berkata: “’Ikrimah bin ‘Ammaar tsiqah di sisi mereka.
Telah meriwayatkan darinya Ibnu Mahdiy. Dan tidaklah aku mendengar tentangnya
kecuali hanya kebaikan”. ‘Aliy bin Muhammad Ath-Thanaafisiy berkata: “Tsiqah”.
Shaalih bin Muhammad Al-Asadiy berkata: “Ia seorang yang shaduuq, kecuali dalam
haditsnya terdapat sesuatu”. Ishaaq bin Ahmad bin Khalaf Al-Bukhaariy
Al-Haafidh berkata: “Tsiqah”. Ibnu Khiraasy berkata: “Shaduuq, dan dalam
haditsnya terdapat nakarah”. Ibnu ‘Adiy berkata: “Mustaqiimul-hadiits, apabila
meriwayatkan darinya perawi tsiqah”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam
Ats-Tsiqaat dan berkata: “Dalam riwayatnya dari Yahyaa bin Abi Katsiir
idlthiraab. Ia meriwayatkan dari selain jurusan kitabnya”. Ya’quub bin Syaibah
berkata: “Tsiqah lagi tsabat”. Ibnu Syaahiin menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat
dan berkata: Telah berkata Ahmad bin Shaalih: “Aku katakan bahwa ia seorang
yang tsiqah, dan aku berhujjah dengannya dan perkataannya” (selengkapnya lihat:
Tahdziibul-Kamaal, 20/256-264 no. 4008 dan Tahdziibut-Tahdziib 7/261-263 no.
475) Adz-Dzahabiy berkata: “Tsiqah, kecuali riwayatnya dari Yahyaa bin Abi
Katsiir, maka mudltharib” (Al-Kaasyif, 2/33 no. 3866) Ibnu Hajar berkata:
“Shaduuq, sering keliru. Dan riwayatnya dari Yahyaa bin Abi Katsiir idlthiraab”
(At-Taqriib, hal. 687 no. 4706)
Kesimpulan
yang tepat adalah sebagaimana dikatakan Adz-Dzahabiy rahimahullah.
(7)
‘Aashim bin Syumaikh Al-Ghailaaniy. Al-‘Ijliy berkata: “Tsiqah”. Ibnu Hibbaan
memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat. Abu Haatim berkata: “Majhuul”. Al-Bazzaar
berkata: “Tidak dikenal” (Tahdziibul-Kamaal, 13/495-496 no. 3010 dan
Tahdziibut-Tahdziib 7/261-263 no. 475) Adz-Dzahabiy berkata: “Ibnu Hajar
berkata: “Telah ditsiqahkan oleh Al-‘Ijliy” (At-Taqriib, hal. 472 no. 3079)
Al-Albaaniy berkata: “Majhuul” (Dhilaalul-Jannaah, 2/444 no. 915)
Kesimpulan:
Majhuul.
Wallaahu
a’lam bish-shawwaab.
(4
Ramadlaan 1431)
Penulis: Abul Jauzaa’
(Alumnus IPB & UGM)
Editor: Ahmadi As-Sambasy
Cilacap – Jawa Tengah
Posting Komentar untuk "Cara Pandang Khawarij Terhadap Ayat Hukum (QS. Al-Maaidah: 44)"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.