Al Walaa’ wal Baraa’ Dalam Islam
A. Definisi Al-Walaa’
Secara Bahasa (1):
- (الْوَلْيُ): artinya dekat. (تَبَاعَدَ بَعْدَ الْوَلِيِ) artinya: “Saling menjauh setelah berdekatan”. (كُلْ مَا يَلِيْكَ) artinya: “Makanlah apa yang dekat denganmu”.
- (الْوَلِيُّ) artinya wali, lawan kata dari (الْعَدُوُّ) = musuh. Setiap orang yang menguasai (berkuasa atas) urusan
seseorang, maka dia adalah “wali” dari orang tersebut.
- (الْمَوْلَى) artinya: Orang yang memerdekakan, orang yang dimerdekakan,
keponakan, pembela, tetangga, atau sekutu.
- (الْمُوَالَةُ), lawan kata dari (الْمُعَادَةُ), artinya: Permusuhan.
- (الْوِلَايَةُ) artinya: Kekuasaan, atau
- (الْوَلَايَةُ) artinya: Pembelaan.
Ibnu Faaris rahimahullah berkata:
الواو واللام والياء
أصل صحيح يدل على قرب، من ذلك: الوليّ القرب. يقال: تباعد بعد ولي، أي: قرب.....والباب
كلّه راجع إلى القرب
“Huruf wawu, laam, dan yaa adalah
huruf asal yang shahih yang menunjukkan makna dekat. Dari kata tersebut lahir
kata: al-waliy, yang bermakna al-qarb (dekat) Dikatakan: tabaa’ada ba’da waliy
(saling menjauh setelah berdekatan); waliy di situ maknanya dekat. …. Dan
seluruh bab ini semuanya akan kembali pada makna dekat” (Mu’jamu
Maqaayisil-Lughah, 6/141-142)
Secara Istilah:
الْوَلَايَةُ (al-walaayah)
atau الْمُوَالَةُ (al-muwaalah)
adalah sesuatu yang merupakan konsekuensi dari cinta. Dan walaa’ atau walaayah
atau muwaalah itu sendiri artinya: “(memberikan) pembelaan, pemuliaan,
penghormatan, dan selalu ingin setia bersama dengan yang dicintainya baik
secara lahir maupun batin”. (2) Jadi al-walaa’ bukan sekedar cinta dalam
hati, tetapi mengandung pengertian membela, memuliakan, mengagungkan, dan setia
kepada yang dicintai, lahir maupun batin. Oleh karena itu, al-walaa’ dalam
terminologi syari’at berarti penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang
dicintai dan diridlai Allah berupa perkataan, perbuatan, kepercayaan, dan
orang. Jadi ciri utama wali Allah adalah mencintai apa yang dicintai Allah dan
membenci apa yang dibenci Allah, ia condong melakukan semua itu dengan penuh
komitmen.
Kata al-muwaalah yang bermakna
seperti penjelasan di atas terdapat dalam Al-Qur’an di antaranya:
اللَّهُ وَلِيُّ
الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا
أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Allah Pelindung orang-orang yang
beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)
Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang
mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran) Mereka itu adalah
penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-Baqarah: 257)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ
أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah
(untuk menyiksamu)?” (QS. An-Nisaa’: 144)
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki
dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang
lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar,
mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. At-Taubah: 71)
B. Definsi Al-Baraa’
Secara Bahasa:
- (بَرِئَ مِنْهُ) artinya: Terbebas darinya.
- (بَرِئَ مِنَ الدَّيْنِ) artinya: Terbebas dari hutang.
- (بَرِئَ مِنَ الْعَيْبِ) artinya: terbebas dari cela; dan
- (بَرِئَ مِنَ الْمَرَضِ بُرْءاًَ) artinya: Terbebas dari sakit (sembuh)
Menurut orang Hijaz, (بَرَئَ مِنَ الْمَرَضِ) artinya: Terbebas dari sakit.
- (بَرَأَ شَرِيْكَهُ) artinya: Memisahkan diri dari kawannya.
- (بَرَأَ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ) artinya: Seorang laki-laki
memisahkan diri (menceraikan) istrinya.
- (الْبَرَاءُ) artinya: Malam yang paling pertama dari sebuah bulan.
Menurut Istilah:
Baraa’ adalah lawan kata dari Walaa’.
Al-Bara’ah artinya Al-’Adaawah (الْعَدَاوَةُ), yaitu (memberikan) permusuhan dan penjauhan diri. Ibnu
Taimiyyah (3) menjelaskan bahwa Al-Walaayah lawan kata Al-’Adaawah.
Adapun makna asal dari Al-Walaayah adalah cinta dan pendekatan diri. Adapun
makna asal dari Al-‘Adaawah adalah benci dan menjauhkan diri. Oleh karena itu,
al-baraa’ menurut terminologi syari’at berarti penyesuaian diri seorang hamba
terhadap apa yang dibenci dan dimurkai Allah dari perkataan, perbuatan,
keyakinan, kepercayaan, dan orang. Jadi, ciri utama al-baraa’ adalah membenci
apa yang dibenci Allah secara terus-menerus dan penuh komitmen.
Pengertian Umum Al-Walaa’ wal-Baraa’
Al-Walaa’ wal-Baraa’ adalah
penyesuaian seorang hamba terhadap apa yang dicintai dan diridlai Allah serta
apa yang dibenci dan dimurkai Allah; dalam hal perkataan, perbuatan,
kepercayaan, dan orang dengan penuh komitmen.
Dalam perkataan, maka yang dicintai
Allah adalah semua perkataan yang mengandung kebaikan seperti dzikir yang
sesuai sunnah. Adapun perkataan yang dibenci perkataan yang mengandung
kemaksiatan seperti celaan, makian, dan yang sejenisnya.
Dalam perbuatan, maka yang dicintai
Allah adalah semua amal perbuatan yang mengandung ketaatan seperti shalat, zakat,
puasa, haji, dan yang sejenisnya. Adapun perbuatan yang dibenci adalah semua
amal perbuatan yang mengandung kemaksiatan seperti mencuri, zina, minum khamr,
dan yang semisalnya.
Dalam hal kepercayaan, maka yang
dicintai Allah adalah keimanan dan ketauhidan; sedangkan kekufuran dan
kesyirikan adalah dibenci oleh Allah.
Dalam hal orang, maka orang yang
beriman, muwahhid, ahli ibadah, dan ahli ilmu adalah dicintai Allah; sedangkan
orang kafir, musyrik, munafiq, dan fasiq dibenci Allah.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda:
إن أوثق عرى الإيمان أن
تحب في الله وتبغض في الله
“Sesungguhnya ikatan iman yang paling
kuat adalah engkau mencintai karena Allah dan membenci karena Allah” (Diriwayatkan
oleh Ahmad 4/286 dan Ibnu Abi Syaibah 11/41 & 13/229. Berkata Al-Arna’uth:
Hasan bi-syawahidihi)
من أحب لله وأبغض لله وأعطى
لله ومنع لله فقد استكمل الإيمان
“Barangsiapa yang mencintai karena
Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena
Allah; sungguh telah sempurna imannya” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4681,
At-Tirmidziy no. 2521, Ahmad 3/438, dan yang lainnya; shahih)
Ketauhidan Mengkonsekuensikan Adanya
Al-Walaa’ wal-Baraa’
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ
وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ
وَهُمْ رَاكِعُونَ (55) وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا
فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
(56)
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah
Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah) Dan barangsiapa mengambil
Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka
sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang” (QS. Al-Maaidah:
55-56)
Asy-Syaikh ’Abdurrahmaan bin Naashir
As-Sa’diy rahimahullah berkata:
أخبر تعالى مَن يجب ويتعين
توليه، وذكر فائدة ذلك ومصلحته فقال: { إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
} فولاية الله تدرك بالإيمان والتقوى. فكل من كان مؤمنا تقيا كان لله وليا، ومن كان
وليا لله فهو ولي لرسوله، ومن تولى الله ورسوله كان تمام ذلك تولي من تولاه، وهم المؤمنون
الذين قاموا بالإيمان ظاهرا وباطنا، وأخلصوا للمعبود، ...... فأداة الحصر في قوله
{ إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا } تدل على أنه يجب
قصر الولاية على المذكورين، والتبري من ولاية غيرهم.
“Allah ta’ala telah mengkhabarkan
siapa saja yang wajib dan ditentukan sebagai penolong, dan menyebutkan pula
faedah dan kemaslahatannya. Allah berfirman: ’Sesungguhnya penolong kamu
hanyalah Allah dan Rasul-Nya’. Maka, pertolongan Allah itu didapatkan dengan
keimanan dan ketaqwaan. Setiap orang yang beriman lagi bertaqwa, maka ia telah
menjadikan Allah sebagai walinya (penolongnya) Dan barangsiapa menjadikan Allah
sebagai walinya, maka ia menjadikan Rasul-Nya sebagai walinya juga. Maka
sebagai penyempurna hal itu, ia akan menjadikan wali orang-orang yang
menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai walinya juga. Mereka itu adalah
orang-orang yang beriman yang menampakkan imannya secara dhahir dan bathin,
ikhlash beribadah kepada-Nya…. Dan adatul-hashr (kata yang bermakna membatasi,
yaitu innamaa) dalam firman-Nya: ‘Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah,
Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman’; menunjukkan wajibnya membatasi pihak
yang dijadikan sebagai waliy hanya yang disebutkan pada ayat tersebut, dan
bara’ (berlepas diri) untuk menjadikan waliy dari selain mereka” (Tafsiir
As-Sa’diy, 1/236)
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ
بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي
الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (51)
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang
lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang dhalim” (QS. Al-Maaidah: 51)
Al-Imaam Ath-Thabariy rahimahullah
berkata:
يعني تعالى ذكره بقوله:"ومن
يتولهم منكم فإنه منهم"، ومن يتولَّ اليهود والنصارى دون المؤمنين، فإنه منهم.
يقول: فإن من تولاهم ونصرَهم على المؤمنين، فهو من أهل دينهم وملتهم، فإنه لا يتولى
متولً أحدًا إلا وهو به وبدينه وما هو عليه راضٍ. وإذا رضيه ورضي دينَه، فقد عادى ما
خالفه وسَخِطه، وصار حكُمه حُكمَه، ولذلك حَكَم مَنْ حكم من أهل العلم لنصارى بني تغلب
في ذبائحهم ونكاح نسائهم وغير ذلك من أمورهم، بأحكام نصَارَى بني إسرائيل، لموالاتهم
إياهم، ورضاهم بملتهم، ونصرتهم لهم عليها، وإن كانت أنسابهم لأنسابهم مخالفة، وأصل
دينهم لأصل دينهم مفارقًا.
“Tentang firman-Nya ta’ala: ’
barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya
orang itu termasuk golongan mereka’; maknanya yaitu barangsiapa yang menjadikan
orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin selain dari orang-orang yang
beriman, maka ia termasuk golongan mereka. Ia berkata: Karena barangsiapa yang
menjadikan mereka sebagai pemimpin dan menolong mereka untuk memerangi kaum
mukminin, maka ia termasuk penganut agama mereka. Karena, tidaklah ada orang
yang menjadikan seseorang sebagai pemimpin melainkan ia bersamanya dan bersama
agamanya secara ridla (sukarela) Jika ia meridlainya dan meridlai agamanya,
maka ia akan memusuhi apa-apa yang menyelisihinya dan sekaligus membencinya. Ia
pun kemudian menjadikan hukum orang yang ia ikuti itu menjadi hukumnya juga.
Oleh karena itu, sebagian ulama yang menghukumi orang-orang Nashaaraa Bani
Tsaghlab dari macam semebelihan mereka, menikahi wanita mereka, dan yang
lainnya sama dengan hukum orang Nashaaraa dari Bani Israaiil, karena mereka
telah menjadikan orang Nashara dari Bani Israaiil sebagai pemimpin mereka,
meridlai agama mereka, dan menolong mereka untuk menghadapi musuh-musuh mereka.
Padahal, nasab Bani Tsaghlab dengan Nabi Israaiil berbeda dan juga pokok agama
mereka dengan orang Nashaaraa Bani Israaiil juga berlainan” (Tafsiir
Ath-Thabariy, 10/400)
Allah ta’ala berfirman:
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ
الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ
مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ
نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ (28)
“Janganlah orang-orang mukmin
mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya
kepada Allah kembali (mu)” (QS. Aali ’Imraan: 28)
Al-Imaam Ath-Thabariy rahimahullah
berkata:
وهذا نهيٌ من الله عز وجل
المؤمنين أن يتخذوا الكفارَ أعوانًا وأنصارًا وظهورًا، ولذلك كسر"يتخذِ"،
لأنه في موضع جزمٌ بالنهي، .........
ومعنى ذلك: لا تتخذوا، أيها
المؤمنون، الكفارَ ظهرًا وأنصارًا توالونهم على دينهم، وتظاهرونهم على المسلمين من
دون المؤمنين، وتدلُّونهم على عوراتهم، فإنه مَنْ يفعل ذلك "فليس من الله في شيء"،
يعني بذلك: فقد برئ من الله وبرئ الله منه، بارتداده عن دينه ودخوله في الكفر
"إلا أن تتقوا منهم تقاة"، إلا أن تكونوا في سلطانهم فتخافوهم على أنفسكم،
فتظهروا لهم الولاية بألسنتكم، وتضمروا لهم العداوة، ولا تشايعوهم على ما هم عليه من
الكفر، ولا تعينوهم على مُسلم بفعل
“Ayat ini adalah larangan dari Allah
’azza wa jalla kepada orang-orang mukmin untuk menjadikan orang-orang kafir
sebagai penolong, pelindung, dan mencintainya. Oleh karena itu, Allah
memisahkan kata yattakhidzu karena di-jazm-kan dengan larangan (kata laa)....
Dan makna ayat itu adalah: Janganlah kalian menjadikan – wahai orang-orang
mukmin – orang-orang kafir sebagai pelindung dan penolong yang dengan itu
kalian menolong mereka atas agama mereka. Menolong mereka untuk
memusuhi/memerangi kaum muslimin dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Menunjukkan kepada mereka aurat/rahasia kaum muslimin. Barangsiapa yang
melakukan itu, ’niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah’. Yaitu: dengan
perbuatannya itu, sungguh ia telah berlepas diri dari Allah, dan Allah pun
berlepas diri darinya, karena ia telah keluar dari agama-Nya dan masuk pada
kekufuran. Firman Allah: ’ kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu
yang ditakuti dari mereka’; maksudnya: kecuali bila kalian dalam kekuasaan
mereka dan merasa khawatir atas diri kalian, sehingga kalian (terpaksa)
menampakkan loyalitas dengan lisan-lisan kalian dan menyembunyikan permusuhan
kalian terhadap mereka. Dan janganlah kalian mengikuti mereka dalam hal
kekufuran, dan jangan pula menolong mereka untuk memusuhi/memerangi kaum
muslimin dengan perbuatan” (idem, 6/313)
Asy-Syaikh Asy-Syinqithiy
rahimahullah berkata:
وأما عند الخوف والتقية،
فيرخص في موالاتهم، بقدر المداراة التي يكتفي بها شرهم، ويشترط في ذلك سلامة الباطن
من تلك الموالاة..... ويفهم من ظواهر هذه الآيات أن من تولى الكفار عمداً اختياراً،
رغبة فيهم أنه كافر مثلهم.
“Adapun dalam keadaan khawatir dan
takut, maka diberikan rukhshah dalam pemberian walaa’ kepada mereka sesuai
dengan kebutuhan sehingga dapat terhindar dari kejelekannya. Namun disyaratkan
akan hal itu selamatnya bathin dari muwaalah tersebut.....Maka yang dipahami
dari dhahir ayat ini, bahwa barangsiapa yang ber-wala’ kepada orang kafir
secara sengaja tanpa ada paksaan karena rasa cinta kepada mereka, maka ia
dihukumi kafir seperti mereka” (Adlwaaul-Bayaan, 1/413)
Asy-Syaikh ’Abdullah bin
’Abdil-’Aziiz Al-’Anqariy rahimahullah (w. 1373 H):
إن الموالة هي: الموافقة
والمناصرة والمعاونة، والرضا بأفعال من يوالهم، وهذه هي الموالة العامة التي إذا صدرت
من مسلم لكافر، اعتبر صاحبها كافرا، أما المجرّد الاجتماع مع الكفار بدون إظهار تام
للدين مع كراهية كفرهم، فمعصية لا توجب الكفر
“Sesungguhnya muwaalah itu adalah:
persetujuan, saling tolong-menolong, saling bantu-membantu, dan ridla dengan
perbuatan yang dilakukan orang yang ia walaa’-i. Ini adalah muwalah secara umum
yang jika terjadi pada seorang muslim kepada orang kafir, maka orang (muslim)
tersebut dihukumi kafir. Adapun jika hanya berkumpul dengan orang kafir saja
tanpa menyatakan kesempurnaan agama mereka dan benci atas kekufuran mereka,
maka ini adalah hanyalah kemaksiatan tanpa mengkonsekuensikan kekufuran” (Ad-Durarus-Suniyyah,
7/309)
Pembagian Manusia yang Wajib Dicintai
(Walaa’) dan Dibenci (Baraa’)
Ada 3 (tiga) klasifikasi manusia
dalam penempatan kecintaan dan kebencian karena Allah, yaitu:
1. Orang yang dicintai dengan kecintaan murni dan tidak
tercampuri dengan permusuhan. Mereka itulah orang-orang yang beriman yang
ikhlash yang terdiri dari para nabi dan rasul, para shahabat termasuk
ummahaatul-mukminiin, shiddiqiin, syuhadaa’, dan para imam kaum muslimin. Allah
ta’ala telah berfirman:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ
بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا
بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ
رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah
mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah
kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang
yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang" (QS. Al-Hasyr: 10)
Membenci mereka adalah satu
kemunafikan.
2. Orang yang dibenci dan dimusuhi secara totalitas
tanpa adanya kecintaan dan per-walaa’-an. Mereka itu adalah orang-orang yang
betul-betul ingkar dari kalangan orang-orang kafir, musyrik, munafiq, murtad,
dan zindiq/atheis (yang tidak mengakui keberadaan Allah ta’ala) Allah ta’ala
telah berfirman:
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ
كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu
kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan
orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak,
atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka” (QS.
Al-Mujaadilah: 22)
تَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ
يَتَوَلَّوْنَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ لَهُمْ أَنْفُسُهُمْ أَنْ
سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَفِي الْعَذَابِ هُمْ خَالِدُونَ * وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ وَلَكِنَّ
كَثِيرًا مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Kamu melihat kebanyakan dari mereka
tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik) Sesungguhnya amat
buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah
kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman
kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya
(Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi
penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik” (QS.
Al-Maaidah: 80-81)
3. Orang yang dicintai sekaligus dibenci, yaitu orang
yang tercampur padanya keimanan dan kemaksiatan. Ia dicintai karena keimanannya
dan dibenci karena kemaksiatannya. Ukuran cinta dan benci ini seukuran keimanan
dan kemaksiatan yang ada padanya. Semakin tinggi iman orang tersebut, maka
semakin ia dicintai. Begitu juga sebaliknya. Ini adalah keadaan kaum muslimin
pada umumnya.
Salah satu wujud rasa cintai
(al-walaa’) adalah mencegah kedhaliman yang dilakukan saudara kita yang muslim.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا
مُعْتَمِرٌ، عَنْ حُمَيْدٍ، عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا،
قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُومًا، فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا؟
قَالَ: تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ
Telah menceritakan kepada kami
Musaddad: Telah menceritakan kepada kami Mu’tamir, dari Humaid, dari Anas
radliyallaahu ’anhu, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wa sallam: “Tolonglah saudaramu baik yang berbuat dhalim ataupun yang
didhalimi”. Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, kami akan menolong orang
yang didhalimi. Namun bagaimana kami menolong orang yang berbuat dhalim?”.
Beliau menjawab: “Engkau ambil/pegang tangannya (= mencegahnya berbuat dhalim)”
(Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2444)
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، قَالَ:
حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ،
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ، قَالَ:
حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، عَنْ أَنَسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: " لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Telah menceritakan kepada kami
Musaddad, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Yahyaa, dari Syu’bah, dari
Qataadah, dari Anas radliyallaahu ’anhu, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wa
sallam. Dan dari Husain Al-Mu’allim, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami
Qataadah, dari Anas, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam, beliau bersabda:
”Tidak beriman salah seorang diantara kamu hingga dia mencintai saudaranya
sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no.
13)
Beberapa Permasalahan
1. Apakah menggunakan kalender masehi
terhitung sebagai sikap walaa’ terhadap orang-orang kafir?
Dijawab oleh Asy-Syaikh Al-Fauzaan
hafidhahullah sebagai berikut:
الحمد لله
لا يعتبر موالاة ، لكن يعتبر
تشبهاً بهم .
والصحابة رضي الله عنهم
كان التاريخ الميلادي موجوداً في عصرهم ، ولم يستعملوه ، بل عدلوا عنه إلى التاريخ
الهجري .
وضعوا التاريخ الهجري ولم
يستعملوا التاريخ الميلادي مع أنه كان موجوداً في عهدهم ، هذا دليل على أن المسلمين
يجب أن يستقلوا عن عادات الكفار وتقاليد الكفار ، لاسيما وأن التاريخ الميلادي رمز
على دينهم ، لأنه يرمز إلى تعظيم ميلاد المسيح والاحتفال به على رأس السنة ، وهذه بدعة
ابتدعها النصارى ، فنحن لا نشاركهم ولا نشجعهم على هذا الشيء . وإذا أرّخنا بتاريخهم
فمعناه أننا نتشبه بهم .
وعندنا والحمد لله التاريخ
الهجري الذي وضعه لنا أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله عنه الخليفة الراشد بحضرة
المهاجرين والأنصار ، هذا يغنينا
“Alhamdulillah. Hal itu tidak
termasuk sikap wala’, namun termasuk sikap tasyabbuh terhadap mereka. Kalender
masehi telah ada di jaman para shahabat radliyallaahu ’anhum, namun mereka
tidak mempergunakannya. Namun mereka meninggalkannya dan mempergunakan kalender
hijriyyah. Mereka membuat kalender hijriyyah dan tidak mempergunakan kalender
masehi yang telah ada di jaman mereka. Ini merupakan dalil bahwa kaum muslimin
wajib berpaling dari kebiasaan-kebiasaan orang-orang kafir dan berpaling dari
sikap taqlid terhadap mereka. Khususnya, kalender masehi melambangkan agama
mereka, karena ia menyimbolkan pengagungan terhadap kelahiran Al-Masiih dan
merayakannya setiap tahun. Ini adalah bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang
Nashara. Dan kita tidak bersama dan mendukung mereka dalam hal ini sedikitpun.
Seandainya kita menggunakan kalender masehi mereka, itu sama saja kita
ber-tasyabbuh dengan mereka. Di sisi kita – alhamdulillah – terdapat kalender
hijriyyah yang dibuat untuk kita oleh Amiirul-Mukminiin ’Umar bin Al-Khaththaab
radliyallaahu ’anhu, salah seorang Khulafaaur-Raasyidin di hadapan kaum
Muhaajirin dan Anshaar. Ini telah mencukupi kita” (Al-Muntaqaa, 1/257)
2. Kapan membeli produk kuffar
dianggap sebagai sikap wala’ terhadap mereka? Perhatikan soal-jawab di dari
Lajnah Daaimah di bawah.
Pertanyaan ini adalah pertanyaan
Ketiga dari Fatawa no. 3323
Pertanyaan:
Apa hukum kaum muslimin tidak saling
tolong menolong yaitu mereka tidak saling ridho dan tidak punya keinginan untuk
membeli produk dari saudara mereka sesama muslim? Namun yang ada malah dorongan
untuk membeli dari toko-toko orang kafir, apakah seperti ini halal atau haram?
Jawab:
Perlu diketahui, dibolehkan bagi
seorang muslim untuk membeli kebutuhannya yang Allah halalkan baik dari penjual
muslim maupun kafir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah
melakukan jual beli dengan seorang Yahudi. Namun jika seorang muslim berpindah
ke penjual kafir tanpa ada sebab. Di antara sebabnya misalnya penjual muslim
tersebut melakukan penipuan, menetapkan harga yang terlalu tinggi atau barang
yang dijual rusak/cacat. Jika itu terjadi dan akhirnya dia lebih mengutamakan
orang kafir daripada muslim, maka ini hukumnya haram. Perbuatan semacam ini
termasuk loyal (wala’), ridho dan menaruh hati pada orang kafir. Akibatnya
adalah hal ini bisa membuat melemahnya dan lesunya perekonomian kaum muslimin.
Jika semacam ini jadi kebiasaan, akibatnya adalah berkurangnya permintaan
barang pada kaum muslimin.
Adapun jika di sana ada faktor
pendorong semacam yang telah disebutkan tadi (yaitu penjual muslim yang sering
melakukan penipuan, harga barang yang terlalu tinggi atau barang yang dijual
sering ditemukan cacat), maka wajib bagi seorang muslim menasehati sikap
saudaranya yang melakukan semacam itu yaitu memerintahkan agar saudaranya
tersebut meninggalkan hal-hal jelek tadi. Jika saudaranya menerima nasehat,
alhamdulillah. Namun jika tidak dan dia malah berpaling untuk membeli barang
pada orang lain bahkan pada orang kafir, maka pada saat itu dibolehkan mengambil
manfaat dengan bermua’amalah dengan mereka.
Wa billahit taufiq, wa shallallahu
‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi wa sallam.
Al Lajnah Ad Daa-imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal
Iftaa’
Anggota: ‘Abdullah bin Qu’ud, ‘Abdullah bin Ghodyan
Wakil Ketua: ‘Abdur Rozaq ‘Afifi
Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz
(saya sitir dari:
http://rumaysho.com/belajar-islam/jalan-kebenaran/3023-fatwa-ulama-tentang-hukum-boikot-produk-yahudi.html)
Catatan:
Namun kita dianjurkan untuk memboikot
produk orang-orang kafir jika mereka memusuhi dan memerangi kaum muslimin untuk
melemahkan mereka (orang-orang kafir), dan sebagai wujud kecintaan dan
pertolongan kita kepada kaum muslimin yang tertindas. Perhatikan tanya jawab
berikut:
السائل: شيخنا بما
أن الحرب قائمة بيننا وبين اليهود ، فهل يجوز الشراء من اليهود ، والعمل عندهم في بلد
أوروبا؟
الشيخ الألباني:
الشراء من اليهود؟
السائل: نعم ، والعمل
عندهم في بلد أوروبا يعني؟
الشيخ الألباني:
نحن لا نفرق بين اليهود والنصارى من حيث التعامل معهم في تلك البلاد ، مع الكفار والمشركين
إذا كانوا ذميين - أهل ذمة - يستوطنون بلاد الإسلام فهو أمر معروف جوازه.
وكذلك إذا كانوا
مسالمين ، غير محاربين أيضاً حكمه هو هو ، أما إذا كانوا محاربين ، فلا يجوز التعامل
معهم ، سواء كانوا في الأرض التي احتلوها كاليهود في فلسطين ، أو كانوا في أرضهم ،
ما داموا أنهم لنا من المحاربين ، فلا يجوز التعامل معهم إطلاقاً .
أما من كان مسالماً
كما قلنا ، فهو على الأصل جائز
Penanya: “Wahai syaikh kami, dengan
adanya peperangan yang terjadi antara kita (kaum muslimin) dengan orang-orang
Yahudi, apakah diperbolehkan membeli suatu barang dari orang Yahudi. Dan
bermuamalah dengan mereka di negeri Eropa?”.
Asy-Syaikh Al-Albaaniy: “Membeli dari
orang Yahudi?”.
Penanya: “Benar, dan bermuamalah
dengan mereka di negeri Eropa”.
Asy-Syaikh Al-Albaaniy: “Kami tidak
membedakan antara orang Yahudi dan Nashaara apapun bentuk muamalah dengan
dengan mereka di negeri tersebut. Orang-orang kafir dan musyrik jika mereka
termasuk ahludz-dzimmah yang berada di tengah-tengah negeri Islam, maka sudah
ma’ruf akan kebolehannya (untuk bermuamalah) Begitu juga jika mereka termasuk
orang yang mengadakan perjanjian damai (dengan kaum muslimin) yang tidak
melakukan penyerangan, maka hukumnya sama. Namun jika mereka termasuk jenis kafir
harbiy (yang memerangi kaum muslimin), tidak diperbolehkan bermuamalah dengan
mereka. Sama saja apakah mereka itu berada di tempat ia tinggal seperti orang
Yahudi di negeri Palestina, ataupun tinggal di negeri mereka. Selama mereka
masih memerangi kaum muslimin, maka tidak diperbolehkan secara mutlak. Namun
jika mereka itu termasuk orang-orang yang mengikat perjanjian damai sebagaimana
yang kami katakan sebelumnya, maka boleh”. (lihat:
http://www.islamgold.com/view.php?gid=10&rid=160)
Asy-Syaikh As-Sa’diy rahimahullah
pernah berkata:
......ومن
أعظم الجهاد وأنفعه السعي في تسهيل اقتصاديات المسلمين والتوسعة عليهم في غذائياتهم
الضرورية والكمالية ، وتوسيع مكاسبهم وتجاراتهم وأعمالهم وعمالهم ، كما أن من أنفع
الجهاد وأعظمه مقاطعة الأعداء في الصادرات والواردات فلا يسمح لوارداتهم وتجاراتهم
، ولا تفتح لها أسواق المسلمين ولا يمكنون من جلبها على بلاد المسلمين .. بل يستغني
المسلمون بما عندهم من منتوج بلادهم، ويوردون ما يحتاجونه من البلاد المسالمة. وكذلك
لا تصدر لهم منتوجات بلاد المسلمين ولا بضائعهم وخصوصا ما فيه تقوية للأعداء: كالبترول
، فإنه يتعين منع تصديره إليهم .. وكيف يصدر لهم من بلاد المسلمين ما به يستعينون على
قتالهم ؟؟! فإن تصديره إلى المعتدين ضرر كبير ، ومنعه من أكبر الجهاد ونفعه عظيم.....
“….Dan termasuk sebesar-besar jihad
dan usaha yang paling bermanfaat adalah mempermudah dan memperluas jalan
perekonomian kaum muslimin untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekundernya,
serta memperluas lapangan pekerjaan, perdagangan, dan usaha-usaha perekonomian
mereka; sebagaimana juga termasuk jihad yang paling bermanfaat dan agung adalah
memutuskan hubungan ekspor-impor terhadap musuh-musuh kaum muslimin, tidak
memberikan kelapangan masuknya barang import mereka (orang kafir) dan
perdagangan mereka, tidak membuka pasar-pasar kaum muslimin untuk mereka, tidak
menempatkan pengusaha mereka di negeri kaum muslimin..... bahkan kaum muslimin
telah cukup dengan apa-apa yang dihasilkan oleh negeri mereka di sisi mereka.
Mereka hanya mengimpor apa-apa yang mereka butuhkan dari negeri kaum muslimin
saja. Begitu juga kaum muslimin tidak mengeksport untuk mereka (orang-orang
kafir) barang-barang yang berasal dari negeri kaum muslimin, khususnya segala
hal yang bisa menguatkan musuh, seperti minyak bumi. Barang ini secara khusus
harus dicegah untuk dijual kepada mereka.... Bagaimana bisa barang itu dijual
kepada mereka dari negeri kaum muslimin yang dengannya akan membantu/menolong
memerangi mereka (kaum muslimin)? Karena, menjualnya kepada para penjajah
merupakan bahaya yang sangat besar, sehingga mencegahnya (untuk tidak menjual
kepada mereka) termasuk jihad yang paling besar dan bermanfaat....” (lihat:
http://www.islamgold.com/view.php?gid=10&rid=123)
Ini saja yang dapat saya tuliskan. (Cangkeul
yeuh....) Masih banyak bahasan yang tertinggal. Sesuatu yang tidak bisa diraih
semuanya, tidak pula ditinggalkan semuanya. Semoga yang sedikit ini bisa
bermanfaat bagi diri saya dan rekan-rekan semuanya.
Wallaahu a’lam.
Footnote:
(1) Lihat Mukhtarush-Shihah oleh
Muhammad bin Abi Bakr bin ‘Abdil-Qadir Ar-Razi, materi kata (و ل ي)
(2) Lihat Taisir Al-‘Azizil-Hamid fii
Syarhit-Tauhid oleh Asy-Syaikh Sulaiman bin ‘Abdillah bin Muhammad bin
‘Abdil-Wahhab, hal. 422, Daarul-Iftaa’, Riyadl.
(3) Lihat Al-Furqaan oleh Ibnu
Taimiyyah hal. 53, tahqiq: Dr. ‘Abdurrahman Al-Yahya; Daar Thariq lin-Nasyr,
Cet. 1/1414.
Penulis: Abul Jauzaa’
(Alumnus IPB & UGM)
Editor: Ahmadi As-Sambasy
Cilacap – Jawa Tengah
Posting Komentar untuk "Al Walaa’ wal Baraa’ Dalam Islam"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.