Imam Syafi'i Bertabarruk dengan Kuburannya Imam Abu Hanifah, Benarkah ?
Tanya: Apakah benar bahwasannya Imam Syafii
bertabarruk pada Abu Hanifah, karena hal ini sering di jadikan dalil oleh
orang-orang yang sering berziarah ke makam para wali dengan tujuan bertabarruk?
Jawab: Berikut kami sampaikan pemaparannya,
diharapkan tidak membaca setengah2 agar tidak gagal faham, simak dengan baik. Baarokallahu
fiikum.
Al-Khathiib Al-Baghdadiy rahimahulah
meriwayatkan:
أخبرنا القاضي أبو
عبد الله الحسين بن علي بن محمد الصيمري قال أنبأنا عمر بن إبراهيم المقرئ قال نبأنا
مكرم بن أحمد قال نبأنا عمر بن إسحاق بن إبراهيم قال نبأنا علي بن ميمون قال سمعت الشافعي
يقول اني لأتبرك بأبي حنيفة وأجيء إلى قبره في كل يوم يعني زائرا فإذا عرضت لي حاجة
صليت ركعتين وجئت إلى قبره وسألت الله تعالى الحاجة عنده فما تبعد عني حتى تقضى
Telah mengkhabarkan kepada kami
Al-Qaadliy Abu ‘Abdillah Al-Husain bin ‘Aliy bin Muhammad Ash-Shiimariy, ia
berkata: Telah memberitakan kepada kamu ‘Umar bin Ibraahiim Al-Muqri’, ia
berkata: Telah memberitakan kepada kami Mukarram bin Ahmad, ia berkata: Telah
memberitakan kepada kami ‘Umar bin Ishaaq bin Ibraahiim, ia berkata: Telah
memberitakan kepada kami ‘Aliy bin Maimuun, ia berkata: Aku mendengar
Asy-Syaafi’iy berkata: “Sesungguhnya aku akan ber-tabarruk dengan Abu Haniifah.
Aku akan datang ke kuburnya setiap hari – yaitu untuk berziarah - . Apabila aku
mempunyai satu hajat, aku pun shalat dua raka’at lalu datang ke kuburnya untuk
berdoa kepada Allah ta’ala tentang hajat tersebut di sisinya. Maka tidak lama
setelah itu, hajatku pun terpenuhi”. (Taariikh Baghdaad 1/123)
Kisah diatas seringkali dibawakan oleh
sebagian kiyai atau ustadz, untuk melegalkan amalan tabarruk kepada orang yang
telah meninggal. Namun kisah ini tidak shahih. Sekali lagi kami tegaskan bahwa
kisah ini tidak shahih. Asy-Syaikh Al-Albaniy rahimahullah berkata:
فهذه رواية ضعيفة
بل باطلة فإن عمر بن إسحاق بن إبراهيم غير معروف وليس له ذكر في شيء من كتب الرجال
, و يحتمل أن يكون هو عمرو - بفتح العين - بن إسحاق بن إبراهيم بن حميد بن السكن أبو
محمد التونسى و قد ترجمه الخطيب ( 12 / 226 ) . و ذكر أنه بخاري قدم بغداد حاجا سنة
( 341 ) و لم يذكر فيه جرحا و لا تعديلا فهو مجهول الحال , و يبعد أن يكون هو هذا إذ
أن وفاة شيخه علي بن ميمون سنة ( 247 ) على أكثر الأقوال , فبين وفاتيهما نحو مائة
سنة فيبعد أن يكون قد أدركه
“Ini adalah riwayat yang lemah,
bahkan baathil. ‘Umar bin Ishaaq bin Ibraahiim tidak dikenal, dan tidak
disebutkan satupun dalam kitab-kitab rijaal. Kemungkinan ia adalah ‘Amr –
dengan fathah pada huruf ‘ain – bin Ishaaq bin Ibraahiim bin Humaid bin As-Sakan
Abu Muhammad At-Tuunisiy. Al-Khathiib telah menyebutkan biografinya (dalam
At-Taariikh 12/226) Disebutkan bahwa ia orang Bukhara yang tiba di Baghdad pada
perjalanan hajinya tahun 341 H. Tidak disebutkan padanya jarh maupun ta’dil,
sehingga ia seorang yang berstatus majhuul haal. Namun kemungkinan ini jauh
saat diketahui gurunya yang bernama ‘Aliy bin Maimuun wafat pada tahun 247 H
menurut mayoritas pendapat. Maka diperoleh penjelasan kematian keduanya
berjarak sekitar 100 tahun sehingga jauh kemungkinan ia bertemu dengannya
(‘Aliy bin Maimuun)”. (Silsilah Ad-Dla’iifah, 1/78)
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata:
وهذا كذلك معلوم
كذبه بالاضطرار عند من له معرفة بالنقل، فإن الشافعي لما قدم بغداد لم يكن ببغداد قبر
ينتاب للدعاء عنده البتة، بل ولم يكن هذا على عهد الشافعي معروفا، وقد رأى الشافعي
بالحجاز واليمن والشام والعراق ومصر من قبور الأنبياء والصحابة والتابعين، من كان أصحابها
عنده وعند المسلمين، أفضل من أبي حنيفة، وأمثاله من العلماء. فما باله لم يتوخ الدعاء
إلا عنده. ثم أصحاب أبي حنيفة الذين أدركوه، مثل أبي يوسف ومحمد وزفر والحسن بن زياد
وطبقتهم، لم يكونوا يتحرون الدعاء، لا عند قبر أبي حنيفة ولا غيره.
“Dan hal ini demikian juga telah
diketahui sebagai kebohongan secara pasti yang dilakukan oleh orang yang
mengetahui seluk-beluk penukilan, karena Asy-Syafi’iy saat tiba di Baghdad,
tidak ada di kota tersebut kuburan yang dijadikan tempat khusus untuk berdoa.
Bahkan ini tidak terjadi di masa Asy-Syafi’iy. Asy-Syafi’iy telah melihat
kuburan para Nabi, para shahabat, dan tabi’in di Hijaaz, Yaman, Syaam, dan
‘Iraq, yang mereka itu menurutnya (Asy-Syafi’iy) dan kaum muslimin semuanya
lebih utama dibandingkan Abu Hanifah dan yang semisalnya dari kalangan ulama.
Lantas, bagaimana mungkin ia hanya menyengaja berdoa di sisi Abu Haniifah saja
? Kemudian para shahabat Abu Haniifah yang bertemu (semasa) dengannya seperti
Abu Yusuf, Muhammad (bin Al-Hasan), Zufar, Al-Hasan bin Ziyaad, dan yang
setingkat dengan mereka tidaklah bermaksud berdoa di sisi kubur Abu Haniifah
ataupun yang lainnya”. (Iqtidlaa’ Ash-Shiraathil-Mustaqiim, 2/206)
Terkait dengan bahasan ini,
Ibnul-Qayyim rahimahullah memberikan penjelasan yang cukup bagus:
فلو كان الدعاء عند
القبور، والصلاة عندها، والتبرك بها فضيلة أو سنة أو مباحا، لفعل ذلك المهاجرين والأصار،
وسنّوا ذلك لمن بعدهم، ولكن كانوا أعلم بالله ورسوله ودينه من الخلوف التي خلفت بعدهم،
وكذلك التابعون لهم بإحسان راحوا على هذه السبيل، وقد كان عندهم من قبور أصحاب رسول
الله صلى الله عليه وسلم بالأمصار عدد كثير، وهم متوافرون، فما منهم من استغاث عند
قبر صاحب، ولا دعاه، ولا دعا به، ولا دعا عنده، ولا استشقى به، ولا استسقى به، ولا
استنصر به، ومن المعلوم أن مثل هذا مما تتوفّر الهمم على نقله، بل على نقل ما دونه.
“Seandainya berdoa di sisi kuburan,
shalat di sisinya, dan mencari berkah dengannya adalah suatu keutamaan atau
sesuatu yang disunnahkan atau diperbolehkan; tentunya hal itu pernah dilakukan
oleh kaum Muhajirin dan Anshar, dan mencontohkannya kepada generasi setelah
mereka. Akan tetapi mereka adalah orang yang lebih mengetahui tentang Allah,
Rasul-Nya, dan Agama-Nya daripada orang-orang yang datang belakangan setelah
mereka. Seperti itulah, orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik (tabi’in)
menempuh jalan ini, padahal di sekitar mereka banyak terdapat makam para
shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang berada di berbagai
negeri dan jumlah mereka (tabi’in) pun cukup banyak. Namun, tidak ada seorang
pun yang meminta pertolongan (istighatsah) di sisi makam seorang shahabat,
tidak juga berdoa kepadanya, berdoa dengan perantaraannya, berdoa di sisiya,
meminta kesembuhan, meminta hujan, dan meminta pertolongan dengannya.
Sebagaimana diketahui bahwa hal seperti ini termasuk sesuatu yang memiliki
perhatian penuh untuk diriwayatkan, bahkan meriwayatkan hal yang lebih rendah
daripada itu”. (Ighaatsatul-Lahfaan, 1/204 dengan sedikit perubahan – dinukil
melalui perantaraan At-Tabarruk, Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu oleh Dr. Naashir
Al-Judai’, hal. 405)
Demikian risalah kecil ini
dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Sources: Silsilah Adl-Dla’iifah oleh
Al-Albaniy, Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1412, Riyadl; Taariikh Baghdaad oleh
Al-Khathiib Al-Baghdaadiy, Daarul-Kutub, Beirut; Iqtidlaa’
Ash-Shiraathil-Mustaqiim oleh Ibnu Taimiyyah, tahqiq: Dr. Naashir Al-‘Aql,
Daarul-‘Aalamil-Kutub, Cet. 7/1419, Beirut; At-Tabarruk, Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu
oleh Dr. Naashir Al-Judai’, Maktabah Ar-Rusyd, Cet. Thn. 1411, Riyaadl; dan
Zaahid Al-Kautsariy wa Araauhul-I’tiqadiyyah, ‘Ardlun wa Naqdun oleh ‘Aliy bin
‘Abdillah Al-Fahiid, hal. 242-244, Universitas Ummul-Qurra’ (Thesis
Magister/S2), Makkah.
(Hotel Naripan, Bandung, 29 Desember
2009)
Penulis: Abul Jauzaa’
(Alumnus IPB & UGM)
Editor: Ahmadi As-Sambasy
Cilacap – Jawa Tengah
Posting Komentar untuk "Imam Syafi'i Bertabarruk dengan Kuburannya Imam Abu Hanifah, Benarkah ?"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.