Hukum Thiyarah atau Tathayyur
Apa hukum thiyarah (merasa sial) dan
apa-apa yang terkait dengannya?
Jawab:
Allah ta’ala telah berfirman:
أَلا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ
عِنْدَ اللَّهِ
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan
mereka itu adalah ketetapan dari Allah”. (QS. Al-A’raaf: 131)
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
telah bersabda:
لا عدوى ولا طيرة
ولا هامة ولا صفر
“Tidak ada ‘adwaa (penularan
penyakit), thiyarah, haammah, dan shafar”. (1)
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
juga bersabda:
الطيرة شرك الطيرة
شرك
“Thiyarah itu syirik, thiyarah itu
syirik”.
Dari Ibnu Mas’ud secara marfu’:
الطيرة شرك - ثلاثًا
- وما منا إلا ولكن الله يذهبه بالتوكل
“Thiyarah itu syirik – beliau
mengatakan tiga kali – tidak ada seorang pun dari kita kecuali (telah terjadi
dalam dirinya sesuatu dari hal itu), namun Allah menghilangkannya dengan
tawakkal”. (2)
إنما الطيرة ما أمضاك
أو ردك
“Sesungguhnya thiyarah itu hanyalah
yang menjadikan engkau terus melangkah atau mengurungkan niatmu”. (3)
Dan diriwayatkan oleh Ahmad dari
hadits ‘Abdullah bin ‘Amr:
من ردته الطير عن
حاجته فقد أشرك. قالوا: فما كفاره ذلك ؟ قال: أن تقول: اللهم لا خير إلا خيرك ولا طير
إلا طيرك ولا إله غيرك
“Barangsiapa yang mengurungkan
hajatnya karena tathayyur, maka ia telah berbuat syirik”. Para shahabat
bertanya: “Lantas, apa kafarah (penghapus)-nya?”. Maka beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “(Hendaknya engkau mengucapkan): Ya Allah, tidak
ada kebaikan kecuali kebaikan yang datang dari-Mu, tidak ada kesialan kecuali
kesialan yang datang dari-Mu, dan tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali
Engkau”. (4)
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
أصدقها الفأل ولا
ترد مسلمًا فإذا رأى أحدكم ما يكره فليقل: اللهم لا يأتي بالحسنات إلا أنت ولا يدفع
السيئات إلا أنت ولا حول ولا قوة إلا بك
“Yang paling benar adalah fa’l, dan
tathayyur (anggapan sial) itu tidak boleh menghalangi seorang muslim (untuk
melakukan sesuatu) Apabila salah seorang di antara kalian melihat sesuatu hal
yang tidak disukai, hendaklah ia mengatakan: ‘Ya Allah, tidak ada yang
mendatangkan kebaikan kecuali Engkau, tidak ada yang dapat menolak keburukan
kecuali Engkau, serta tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan
Engkau”. (5)
Footnote:
(1) Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq
(no. 19507), Ahmad (2/267), Al-Bukhariy (no. 5717, 5770, 5775), dan Muslim (no.
2220); dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu.
Makna ‘tidak ada shafar’ adalah:
kelaparan: yaitu binatang yang ada di perut, sejenis cacing. Mereka (masyarakar
‘Arab) dulu berkeyakinan bahwa di dalam perut terdapat satu hewan yang
menyebabkan rasa lapar yang terkadang dapat membunuh orangnya. Masyarakat ‘Arab
melihat bahwa ia lebih berbahaya/menular dibandingkan kudis. Maka keyakinan itu
kemudian dibatalkan oleh Islam.
Ada pendapat lain bahwa yang dimaksud
shafar adalah bukan Shafar. Masyarakat ‘Arab dulu menganggap sial bulan Shafar,
dan kemudian Islam datang untuk membatalkannya.
Makna al-haammah adalah: sejenis
burung dimana masyarakat ‘Arab dulu meyakini kemalangan akan menimpanya atau
datangnya kematian baginya/anggota keluarganya jika ia bertengger di rumahnya
atau mendengar suaranya. Islam datang untuk membatalkannya.
(2) Diriwayatkan Ahmad (1/389, 438,
440), Al-Bukhari dalam Al-Adabul-Mufrad (no. 909), Abu Dawud (no. 3910),
At-Tirmidzi (no. 1614), Ibnu Majah (no. 3538), Ath-Thahawiy dalam Asy-Syarh
(4/312) dan Al-Musykil (1/358), dan Ath-Thayalisiy (no. 356); dan ia merupakan
hadits shahih.
(3) Diriwayatkan oleh Ahmad (1/213)
dari Ibnu ‘Ulaatsah, dari Maslamah Al-Juhhaniy, dari Al-Fadhl bin Al-‘Abbaas.
Ibnu ‘Ulaatsah adalah Muhammad bin ‘Abdillah yang statusnya diperselisihkan.
Al-Haafidh berkata: “Shaduuq, kadang salah” ; yaitu ia dla’if (lemah) jika
bersendirian (dalam periwayatan) – seperti dalam riwayat ini. Oleh karena itu,
sanad hadits ini adalah dla’if. Wallaahu a’lam.
(4) Diriwayatkan oleh Ahmad (2/220),
Ibnus-Sunniy (no. 287), Ibnu Wahb dalam Jaami’-nya (no. 656, 657, 659, 660);
dari Ibnu ‘Amr. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahiihah (no.
1065)
(5) Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no.
3919) dari Ahmad Al-Qurasyiy. Di-dla’if-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Dla’iif Abi Dawud (no. 843) dan Al-Misykah (no. 4591)
(Sumber: 200 Suaal wa Jawaab
fil-‘Aqiidah oleh Asy-Syaikh Haafidh bin Ahmad Al-Hakamiy, antara hal. 180 –
184, takhrij: Hilmiy bin Isma’il Ar-Rasyiidiy; Daarul-‘Aqiidah, Cet. 1/1419 H –
dengan sedikit perubahan dan tambahan)
Penulis: Abul Jauzaa’
(Alumnus IPB & UGM)
Editor: Ahmadi As-Sambasy
Cilacap – Jawa Tengah
Posting Komentar untuk "Hukum Thiyarah atau Tathayyur"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.