Haruskah Tetap Taat kepada Pemimpin Yang Tidak Berhukum dengan Al Qur'an dan As Sunnah ?
Tanya: Saya setuju dengan pernyataan taat
kepada pemimpin. Namun, menurut saya, semua itu terkait dengan pemimpin yang
masih berhukum dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Lantas, bagaimanakah dengan
pemimpin yang tidak berhukum dengan kedua hal tersebut (sebagaimana sekarang)?
Dan tolong hubungkan dengan QS. 5: 44,45,47 dan QS. 3: 118?
Jawab: Telah disebutkan dalam uraian kami
sebelumnya tentang satu hadits tentang kemunculan atsarah. Pada kesempatan ini
akan kami tuliskan riwayat yang lain tentang atsarah:
إنَّهَا سَتَكُوْنُ
بَعْدِيْ أَثَرَة وأُمُوْر تُنْكِرُوْنَهَا قَالُوْا يَا رَسُْولَ الله كَيْفَ تَأْمُرُ
مَنْ أَدْرَكَ مِنَّا ذَلِكَ قَالَ تُؤَدُّوْنَ الْحَقَّ الَّذِيْ عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُوْنَ
اللهَ الَّذِيْ لَكُمْ
“Sesungguhnya sepeninggalku akan ada
“atsarah” dan banyak perkara yang kalian ingkari dari mereka”. Para shahabat
bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami yang
menemuinya?”. Beliau menjawab: “Tunaikan hak (mereka) yang dibebankan/diwajibkan
atas kalian, dan mintalah hak kalian kepada Allah.” (HR. Muslim no. 1843)
Imam An-Nawawi berkata:
والأثرة: الاستئثار
والاختصاص بأمور الدنيا عليكم. أي: أسمعوا وأطيعوا وأن أختص الأمراء بالدنيا، ولم يوصلوكم
حقكم مما عندهم
“Al-Atsarah adalah monopoli dan
berbuat sewenang-wenang terhadap kalian dalam urusan dunia. Jadi arti hadits
itu (yaitu hadits atsarah) adalah: dengar dan taatilah pemerintah/penguasa
tersebut walaupun mereka lebih mengutamakan dan mengutamakan urusan dunia
mereka di atas kalian. (Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi, 12/225) (1)
Beliau kemudian melanjutkan:
فيه الحث على السمع
والطاعة وإن كان المتولي ظالماً عسوفاً، فيعطي حقه من الطاعة، ولا يخرج عليه، ولا يخلع،
بل يتضرع إلي الله – تعالي – في كشف أذاه، ودفع شره، وإصلاحه
“Di dalam (hadits atsarah) ini
terdapat anjuran untuk mendengar dan taat kepada penguasa, walaupun ia seorang
yang dhalim dan sewenang-wenang. Maka berikan haknya (sebagai pemimpin) yaitu
berupa ketaatan, tidak keluar ketaatan darinya, dan tidak menggulingkannya.
Bahkan (perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim adalah) dengan
sungguh-sungguh lebih mendekatkan diri kepada Allah ta’ala supaya Dia
menyingkirkan gangguan/siksaan darinya, menolak kejahatannya, dan agar Allah
memperbaikinya (kembali taat kepada Allah meninggalkan kedhalimannya).” (idem,
12/232)
Al-Atsarah sebagaimana yang terdapat
dalam hadits itu merupakan gambaran penguasa dhalim yang menyia-nyiakan amanah
kepemimpinan yang diberikan Allah untuk ditunaikan kepada rakyatnya. Ia adalah
tipe penguasa yang sewenang-wenang. Dalam realitas kehidupan kita, maka
al-atsarah tergambar pada diri seorang pemimpin yang melakukan korupsi, kolusi,
nepotisme, dan perbuatan maksiat lainnya. Pendek kata, ia merupakan tipe
penguasa yang menjalankan kepemimpinannya dengan tidak sesuai dengan Al-Qur’an
dan As-Sunnah (pada beberapa permasalahan) Lantas, apa yang mesti diperbuat
oleh kaum muslimin ketika menemui atsarah ini? Keluar dari ketaatan? atau
bahkan memberontak (kudeta)? Ternyata tidak. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam – dan beliaulah orang yang paling tahu tentang syari’at Islam – tetap
memerintahkan untuk sabar, mendengar dan taat pada hal-hal yang ma’ruf, selama
pemimpin tersebut masih berstatus sebagai seorang muslim (tidak kafir) dan
masih menegakkan shalat.
عَن عبَادَةَ ابن
الصَامت – رَضيَ الله عَنه -، قَالَ: دَعَانَا رَسول الله صَلَى الله عَلَيه وَسَلَمَ
فَبَايَعنَاه فَكَانَ فيمَا أَخَذَ عَلَينَا أَن بَايعنا على السمع والطاعة في منشطنا
ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر أهله قال إلا أن تروا كفرا بواحا
عندكم من الله فيه برهان
Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit
radliyallaahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
menyeru kami, maka kami membaiat kepada beliau. Adapun bai’at kami terhadap
beliau adalah untuk selalu mendengar dan taat dalam dalam keadaan senang dan benci;
dalam keadaan kami sulit dan dalam keadaan mudah; ketika kesewenang-wenangan
menimpa kami; dan juga agar kami tidak mencabut perkara (kekuasaan) dari
ahlinya (yaitu penguasa) Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Kecuali bila kalian melihat kekufuran yang jelas/nyata berdasarkan keterangan
dari Allah”. (HR. Al-Bukhari no. 7005 dan Muslim no. 1709) (2)
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
telah bersabda:
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ
الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ
وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ
وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ
لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا
تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Sebaik-baik pemimpin-pemimpin kamu
adalah dimana kamu mencintainya dan mereka mencintaimu. Kamu mendoakannya dan
mereka pun mendoakanmu. Adapun sejelek-jelek pemimpin kamu adalah dimana kamu
membencinya dan mereka pun membencimu, kamu melaknatnya dan mereka pun
melaknatmu”. Dikatakan: Wahai Rasulullah, apakah kami tidak memeranginya saja
dengan pedang?”. Beliau menjawab: “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat
di tengah kalian. Apabila kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kamu
benci, maka bencilah perbuatannya saja dan jangan melepaskan tangan dari
ketaatan.” (HR. Muslim no. 1855, Ahmad no. 24027 dan lainnya) (3)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam telah menjelaskan barometer menegakkan shalat sebagai tolok-ukur
ketaatan terhadap penguasa adalah karena shalat merupakan ibadah amali paling
agung (setelah ucapan syahadat) yang jika ditinggalkan dapat menjerumuskan
seseorang pada kekafiran. (4) Pada asalnya, ketaatan tidaklah diberikan
kecuali pada seorang muslim.
Adapun tentang firman Allah ta’ala:
وَمَن لّمْ يَحْكُم
بِمَآ أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ...... وَمَن لّمْ يَحْكُم
بِمَآ أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ الظّالِمُونَ...... وَمَن لّمْ يَحْكُم بِمَآ
أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir”. (QS. Al-Maidah: 44) “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa
yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Maidah:
45) “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Al-Maidah: 47) (5)
maka ayat di atas juga tidak
memutlakkan setiap orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah kufur
akbar yang mengeluarkannya dari Islam (murtad) yang dengan itu kita boleh
keluar dari ketaatan kepadanya (bahkan memberontak/angkat senjata kepadanya)
Kita semua paham – insyaAllah – bahwasannya berhukum dengan hukum Allah itu
mencakup segala hal (aqidah, hukum, akhlaq, dan yang sebagainya); karena
kalimat maa anzalallah (apa-apa yang diturunkan Allah) meliputi semua isi dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Semua hal yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan
As-Sunnah, maka hal itu dinamakan ghairu maa anzalallaah (selain yang
diturunkan Allah)
Jika ada orang yang berpandangan
dengan pemutlakan kekafiran (kufur akbar) terhadap siapa saja yang tidak
berhukum dengan hukum Allah, maka konsekuensinya dia akan mengkafirkan hampir
seluruh kaum muslimin, dan mungkin juga termasuk dirinya. Ia akan mengkafirkan
pada setiap pelaku kemaksiatan seperti pembohong, pencuri, pezina, dan yang
lain-lain. Tidak diragukan lagi ini adalah i’tiqad (keyakinan) yang salah yang
merupakan warisan kaum sesat Khawarij dan Mu’tazillah.
Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah telah
mengisyaratkan hal ini dengan perkataannya:
فإن الله عز وجل
قال: ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون ، ومن لم يحكم بما أنز الله فأولئك
هم الفاسقون ، ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الظالمون . فليلزم المعتزلة أن
يصرحوا بكفر كل عاص وظالم وفاسق لأن كل عامل بالمعصية فلم يحكم بما أنزل الله
“Sesungguhnya Allah telah berfirman:
Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir ; Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq ; Barangsiapa yang tidak berhukum
dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim. Maka
konsekuensi bagi Mu’tazillah, hendaknya mereka mengkafirkan setiap pelaku
kemaksiatan, kedhaliman, dan kefasikan; karena setiap pelaku kemaksiatan itu
tidaklah berhukum dengan apa yang diturunkan Allah” (Al-Fishaal juz 3 hal. 234)
(6)
Ahlus-Sunnah telah sepakat bahwa
bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah tidaklah selalu jatuh
padanya kufur akbar yang menyebabkan keluar dari agama. Bisa jadi perbuatan
tersebut merupakan kufur ashghar yang tidak sampai mengeluarkannya dari agama
(tapi ia tetap merupakan dosa besar yang wajib bagi seseorang untuk bertaubat)
Para ulama telah menjelaskan makna dari ayat di atas sebagai berikut:
Abul-’Abbas Al-Qurthubi rahimahullah
(guru dari mufassir Abu ’Abdillah Al-Qurthubi rahimahullah penulis Al-Jaami’
li-Ahkaamil-Qur’an) berkata:
وقوله تعالى: { ومن
لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون )) ؛ يحتجُّ بظاهره من يُكفِّرُ بالذنوب
، وهم الخوارج ، ولا حجَّة لهم فيه ؛ لأنَّ هذه الآيات نزلت في اليهود المحرفين كلام
الله تعالى ، كما جاء في هذا الحديث ، وهم كفار ، فيشاركهم في حكمها من يشاركهم في
سبب نزولها . وبيان هذا: أن المسلم إذا علم حكم الله تعالى في قضيَّة قطعًا ، ثم لم
يحكم به ؛ فإن كان عن جَحْدٍ كان كافرًا ، لا يختلف في هذا . وإن كان لا عن جَحْدٍ
كان عاصيًا مرتكب كبيرة ؛ لأنَّه مصدق بأصل ذلك الحكم ، وعالم بوجوب تنفيذه عليه ،
لكنه عصى بترك العمل به ، وهكذا في كل ما يعلم من ضرورة الشرع حكمه ، كالصلاة ، وغيرها
من القواعد المعلومة . وهذا مذهب أهل السُّنه.
”Firman Allah ta’ala: Barangsiapa
yang tidak berhukum/memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir (QS. Al-Maaidah: 44) Dhahir ayat ini
dijadikan hujjah bagi orang yang mengkafirkan orang yang berbuat dosa (yaitu
khawarij), padahal tidak ada hujjah bagi mereka pada ayat tersebut. Karena
ayat-ayat ini turun pada orang Yahudi yang menyelewengkan firman Alah ta’ala,
sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits, dan mereka adalah orang-orang
kafir. Maka orang-orang yang semisal dengan mereka yang menjadi sebab turun
ayat ini, sama pula hukumnya. Penjelasannya adalah: Sesungguhnya seorang muslim
bila dia mengetahui hukum Allah ta’ala pada perkara tertentu, kemudian dia
tidak menjalankannya, jika hal itu dilakukan karena pengingkarannya (terhadap
hukum tersebut), maka dia kafir dan ini tidak diperselisihkan lagi. Namun jika
tidak demikian (tidak mengingkari), maka dia termasuk orang yang berbuat dosa
besar, karena dia masih mengakui pokok hukum tersebut dan mengetahui kewajiban
menjalankan hukum tersebut, tapi dia bermaksiat dengan meninggalkannya.
Demikian pula halnya dengan perkara-perkara yang hukumnya sudah diketahui
dengan gamblang dari syari’at ini seperti shalat dan selainnya berupa
kaidah-kaidah yang sudah dimaklumi. Inilah madzhab Ahlus-Sunnah. (Al-Mufhim
limaa Asykala min Talkhiisi Kitaabi Muslim, 5/117)
Ibnul-Jauzi rahimahullah berkata:
أن من لم يحكم بما
أنزل الله جاحداً له، وهو يعلم أن الله أنزله؛ كما فعلت اليهود؛ فهو كافر، ومن لم يحكم
به ميلاً إلى الهوى من غير جحود؛ فهو ظالم فاسق، وقد روى علي بن أبي طلحة عن ابن عباس؛
أنه قال: من جحد ما أنزل الله؛ فقد كفر، ومن أقرّبه؛ ولم يحكم به؛ فهو ظالم فاسق
"Kesimpulannya, bahwa
barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah dalam
keadaan mengingkari akan kewajiban (berhukum) dengannya padahal dia mengetahui
bahwa Allah-lah yang menurunkannya – seperti orang Yahudi – maka orang ini
kafir. Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah
karena condong pada hawa nafsunya - tanpa adanya pengingkaran – maka dia itu
dhalim dan fasiq. Dan telah diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu
‘Abbas bahwa dia berkata: ‘Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang diturunkan
Allah maka dia kafir. Dan barangsiapa yang masih mengikrarkannya tapi tidak
berhukum dengannya, maka dia itu dhalim dan fasiq." (lihat Zaadul-Masiir
2/366) Dan lain-lain (7)
Jika ada orang yang berkata:
"Bukankah para penguasa kita telah ‘mengganti’ hukum Allah dengan
hukum-hukum lain seperti demokrasi sehingga dengan itu mereka telah kafir?".
Maka kita jawab: "Tidak diragukan bahwa hukum demokrasi merupakan hukum
kufur. Namun perlu dicatat bahwa « mengganti » atau tabdiil (تَبْدِيْلٌ) yang dijelaskan para ulama
Ahlus-Sunnah maknanya adalah keadaan seorang yang membuat hukum selain hukum
Allah dengan menganggap bahwa itu adalah hukum Allah atau seperti hukum Allah.
Adapun jika tidak demikian, maka bukan dinamakan tabdil (yang menyebabkan kufur
akbar)
Al-Imam Ibnul-‘Arabi rahimahullah
berkata:
وهذا يختلف: إن حكم
بما عنده على أنه من عند الله فهو تبديل له يوجب الكفر. وإن حكم به هوى و معصية فهو
ذنب تدركه المغفرة على أصل أهل السنة في الغفران للمذنبين
"Dan ini berbeda: Jika dia
berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri dengan anggapan bahwa ia dari Allah
maka ia adalah tabdiil (mengganti) yang mewajibkan kekufuran baginya. Dan jika
dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri karena hawa nafsu dan maksiat,
maka ia adalah dosa yang masih bisa diampuni sesuai dengan pokok Ahlus-Sunnah
tentang ampunan bagi orang-orang yang berdosa." (lihat Ahkaamul-Qur’an juz
2 hal. 624)
Apa yang dikatakan oleh Ibnul-‘Arabi
ini sama seperti yang dikatakan oleh Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya (6/191) dan
Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (3/268) Kita harus berhati-hati dalam
masalah ini. Jika kita tidak bisa menetapkan dengan satu kepastian, maka tidak
boleh kita menghilangkan sifat iman dan Islam dari seorang muslim (sehingga
menghukuminya menjadi seorang kafir) (8)
Inti dari penjelasan di atas adalah
bahwa tidak berhukumnya seseorang dengan satu atau beberapa bagian dari hukum
Allah tidaklah selalu mengharuskan adanya kekafiran baginya. Hal itu sangat
selaras dengan hadits:
لينقضن عرا الإسلام
عروة عروة فكلما انتقضت عروة تشبت الناس بالتي تليها وأولهن نقضا الحكم وأخرهن الصلاة
“Sungguh akan lepas tali Islam seutas
demi seutas. Maka setiap kali terlepas seutas, diikuti oleh manusia. Dan yang
pertama kali terlepas adalah hukum dan yang terakhir sekali adalah shalat.” (HR.
Ahmad no. 22214; shahih)
Perhatikanlah ! Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menghilangkan Islam secara keseluruhan
(hingga menjadi kafir) hanya karena sebab tidak berhukum dengan hukum Allah pada
beberapa bagiannya. Nash ini berlaku umum, baik amir (penguasa) maupun ma’mur
(rakyat) Perinciannya adalah sebagaimana telah dituliskan. Jika hal ini telah
menjadi pemahaman bagi kita semua, maka ayat selanjutnya dari yang ditanyakan
(yaitu QS. Aali Imran: 118) menjadi sangat mudah. Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالا وَدُّوا
مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ
أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar
kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan
bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari
mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi.
Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya”.
(QS. Aali-‘Imraan: 118)
Dalam ayat tersebut hanyalah
mengandung larangan untuk menjadikan teman kepercayaan (bithaanah) selain dari
kalanganmu (min duunikum) Kalimat min duunikum di sini maknanya adalah selain
dari kaum muslimin, yaitu orang kafir. Jadi larangan pada ayat tersebut adalah
larangan untuk menjadikan orang kafir sebagai teman dekat yang kita. (lihat
Tafsir Ibnu Katsir QS. Aali ‘Imran: 118)
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa
penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah tidaklah selalu berkonsekuensi
kafir, maka menerapkan ayat tersebut dalam pembahasan adalah kurang tepat. Kita
tetap diperintahkan untuk mendengar dan taat pada penguasa selama ia masih
berstatus Islam dan menegakkan shalat.
Terakhir, kami tutup pembicaraan ini
dengan hadits:
يَكُونُ بَعْدِي
أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ
فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ، قَالَ: قُلْتُ:
كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟، قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيعُ
لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“Akan ada sepeninggalku nanti para
pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan
sunnahku. Akan muncul pula di tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya
adalah hati syaithan dalam wujud manusia”. Aku (Hudzaifah) bertanya: “Apa yang
harus aku lakukan jika aku mendapatkannya?”. Beliau menjawab: “(Hendaknya)
kalian mendengar dan taat kepada amir, meskipun ia memukul punggungmu dan
merampas hartamu, tetaplah mendengar dan taat”. (HR. Muslim no. 1847) (9)
Wallaahu a’lam.
Footnote:
(1) Pengertian atsarah yang diterangkan
oleh An-Nawawi adalah sama dan semakna sebagaimana yang diterangkan oleh ulama
yang lainnya, seperti Ibnul-Atsir (An-Nihayah fii Gharibil-Hadits), As-Suyuthi
(Ad-Diibaaj ‘alaa Shahih Muslim), Abul-‘Abbas Al-Qurthubi (Al-Mufhim lima
Asykala min-Talkhiisi Kitaabi Muslim), Al-Qadli ‘Iyadl (Ikmaalul-Mu’lim Syarh
Shahih Muslim), Ibnu Barjas (Mu’ammalatul-Hukkam), dan yang lainnya.
Sebagai contoh Al-Hafidh As-Suyuthi
rahimahullah menerangkan makna Atsarah: “Monopoli dan berbuat sewenang-wenang
dalam urusan dunia, dan menghalang-halangi sampai kebenaran dari apa-apa yang
berada di tangannya (tanggung jawabnya)”. (Ad-Diibaaj, penjelasan hadits no.
1846)
(2) Kekufuran yang nyata/jelas yang
dimaksudkan dalam hadits ini adalah kekufuran yang didasari atas nash yang
dapat menyebabkan seseorang keluar dari agama Islam (kufur akbar), secara yakin
tanpa adanya kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat memalingkannya dari
kekufuran tersebut. Vonis kufur ini tidak bisa dilakukan kecuali setelah
ditegakkannya hujjah kepada pelaku (dan si pelaku paham dengan hujjah yang
diberikan) serta terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran. Syarat-syarat
pengkafiran adalah mengetahui (dengan jelas), dilakukan dengan sengaja, tidak
ada paksaan. Sebagai contoh, para ulama telah mengatakan kafir hukumnya orang
yang menghina dan mencela syari’at Allah. Namun kekafiran tersebut tidaklah
bisa langsung kita voniskan secara individu kepada setiap orang yang
melakukannya. Barangkali saja orang tersebut tidak tahu bahwa apa yang
dicelanya tersebut adalah syari’at Allah, atau mungkin ia melakukannya karena
terpaksa/dipaksa. Jika keadaannya seperti itu, maka vonis kafir bagi orang
tersebut tidaklah berlaku.
(3) Sebagian orang menganggap bahwa
yang dimaksudkan dengan “shalat” di sini adalah kinayah dari menegakkan hukum
secara keseluruhan, sebagaimana hadits:
لو استعمل عليكم
عبد يقودكم بكتاب الله، فاسمعوا له وأطيعوا
“Seandainya yang memerintah kalian
seorang budak Habsyi berdasarkan Kitabullah, maka dengar dan taatilah”. (HR.
Muslim no. 1838)
Maka kita jawab: Pertama, Satu lafadh
harus kita pahami sesuai dengan hakikatnya. Tidak boleh kita ubah lafadh hakiki
dengan lafadh majaz (kinayah) kecuali setelah diterangkan kemusykilannya. Oleh
karena itu, lafadh shalat di sini adalah lafadh yang hakiki, bukan majaz. Tidak
ada penghalang sama sekali untuk memahaminya dengan makna hakiki. Kedua, Lafadh
“Kitabulah” dalam hadits tersebut adalah lafadh yang muthlaq (yaitu lafadh yang
mengandung pengertian umum pada jenisnya) Menegakkan Kitabullah itu secara dhahir
mengandung makna menegakkan seluruh dari apa yang termaktub di dalamnya baik
dalam masalah aqidah, hukum, akhlaq, dan yang lainnya. Dan hal ini tidaklah
mungkin ada kecuali pada diri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan era
Khulafaur-Rasyidin. Adapun setelah itu, maka hukum Islam tidaklah ditegakkan
secara sempurna sampai dengan hari ini. Dan memang, bukanlah makna ini yang
dimaui oleh syari’at. Makna menegakkan Kitabullah itu di-taqyid (dibatasi
pengertiannya) dengan kata “shalat” sebagaimana hadits yang telah disebutkan.
Dalam ilmu Ushul-Fiqh hal ini disebut Taqyid Munfashil. Jika ada dalil muthlaq
dan muqayyad tentang satu hal yang mempunyai kesamaan sebab dan hukum, maka
dalil muthlaq harus dibawa kepada dalil muqayyad (hamlul-muthlaq ‘alal-muqayyad
wajibun) (silakan lihat kaidah ini dalam kitab Irsyaadul-Fuhuul oleh Al-Imam
Asy-Syaukani rahimahullah) Intinya, bahwa seorang pemimpin itu harus tetap
didengar dan ditaati serta tidak boleh keluar (dari ketaatan) jika ia masih
menegakkan shalat. Inilah barometer amali dari seorang pemimpin.
(4) Perhatikan hadits berikut:
عَنْ جَابِر يَقُوْلُ
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ
وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
Dari Jabir radliyallaahu ‘anhu ia
berkata: Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah
meninggalkan shalat”. (HR. Muslim no. 81, Abu Dawud no. 4678, dan yang lainnya)
(5) Sebenarnya kalimat { لَمْ
يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللّهُ}
tidak hanya mempunyai arti: “tidak memutuskan hukum dengan apa-apa yang
diturunkan Allah”. Akan tetapi ia mempunyai makna lebih umum, yaitu mempunyai
arti “tidak berhukum dengan apa-apa yang diputuskan Allah”. Kalimat Lam Yahkum
terjemahannya adalah “tidak berhukum”. Jadi ancaman pada ayat di atas lebih
umum dari sekedar pada orang yang memutuskan hukum (hakim/penguasa), namun juga
kaum muslimin yang tidak berhukum dengan hukum Allah.
(6) Namun anehnya, mereka (yang
memutlakkan kekafiran pada setiap orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah)
cenderung mengkhususkan pada pemimpin/penguasa negara saja. Bukankah jika ada
diantara ayah-ayah mereka yang membagi warisan tidak sesuai dengan syari’at
Islam (sebagaimana hal ini umum terjadi di masa sekarang) dinamakan tidak
berhukum atau memutuskan hukum selain dengan hukum Allah?
(7) Apabila tidak khawatir akan
penjangnya pembicaraan, niscaya akan kami tuliskan semua yang kami ketahui dari
perkataan para ulama dan mufassirin. Sebagai bahan rujukan, silakan dilihat
pada Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir
Al-Khazin (atau Mukhtashar-nya), Tafsir As-Samarqandi, Al-Mufhim (oleh
Abul-‘Abbas Al-Qurthubi), Tafsir Abi Su’ud, Ahkaamul-Qur’an (oleh Abu Bakr
Al-Jashshash), Tafsir Al-Baidlawi, Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah (oleh Ibnu
Abil-‘Izz Al-Hanafy), dan lain-lain.
(8) Sesuai dengan kaidah dalam
syari’at: Al-Yaqiinu laa Yuzallu bi-Syakk (sebuah keyakinan tidak
hilang/berubah hanya karena keraguan).
(9) Hadits ini merupakan puncak
pendalilan yang paling jelas dalam masalah ini. Sekali lagi perlu kami tekankan
bahwa ketaatan ini hanya pada hal yang ma’ruf. Apa yang kami jelaskan ini bukan
untuk mendukung kemaksiatan yang telah dilakukan oleh sebagian
pemimpin/penguasa. Kita tetap wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar sesuai
dengan kemampuan menurut cara-cara yang telah digariskan oleh Sunnah …….
(Ditulis ditengah keheningan malam
pada tanggal 23 Jumadits-Tsani 1430 H)
Penulis: Abul Jauzaa’
(Alumnus IPB & UGM)
Editor: Ahmadi As-Sambasy
Cilacap – Jawa Tengah
Posting Komentar untuk "Haruskah Tetap Taat kepada Pemimpin Yang Tidak Berhukum dengan Al Qur'an dan As Sunnah ?"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.