Ciri-Ciri Aqidah Jahmiyyah (Syekh Abdul Qadir Al Jiilaniy)
Prolog: Dalam artikel ini, insya Allah akan
dibahas secara ringkas ‘aqidah Jahmiyyah sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaikh
‘Abdul-Qadiir Al-Jiilaaniy rahimahullah. Sebagaimana diketahui bersama, beliau
ini seorang ulama yang banyak diikuti dan diagung-agungkan oleh sebagian besar
masyarakat Nusantara. Sayangnya, banyak di antara mereka yang menukil
perkataan-perkataan dusta yang kemudian dinisbatkan kepada beliau, padahal
beliau berlepas diri dari apa yang mereka katakan. Di sini akan kita lihat,
bagaimana ciri-ciri kelompok sesat Jahmiyyah sebagaimana dikatakan oleh beliau
(yang justru ada pada sebagian mereka yang mengagung-agungkan beliau).
Saya berikan penjelasan seperlunya pada catatan kaki dengan harapan akan menambah faedah bagi ikhwan Pembaca semua. Jika ada kekeliruan, mohon kiranya diberikan kritikan konstruktif yang insya Allah - jika memang itu benar – akan segera saya tindaklanjuti (untuk perbaikannya).
Asy-Syaikh ‘Abdul-Qadiir Al-Jiilaaniy
rahimahullah (wafat 561 H) berkata dalam kitab Al-Ghun-yah li-Thaalibiy
Thariiqil-Haqq (1/128; Daar Ihyaa At-Turaats, Cet. 1/1416):
“Pasal: Adapun Jahmiyyah, maka ia
dinisbatkan pada Jahm bin Shafwaan dimana ia berkata:
1. Iman adalah hanyalah ma’rifah
kepada Allah dan Rasul-Nya, serta seluruh apa yang datang di sisinya (1);
2. Al-Qur’an adalah makhluq (2);
3. Allah tidak pernah berbicara
kepada Musa (secara langsung) (3);
4. Allah ta’ala tidak pernah
berfirman (= menafikkan sifat kalaam – Abu Al-Jauzaa’) (4);
5. Allah tidak bisa dilihat (5);
6. Allah tidak diketahui mempunyai
tempat tertentu (6);
7. Allah tidak mempunyai ‘Arsy dan
Kursiy, dan Ia tidak berada di atas ‘Arsy (7);
8. Mengingkari adanya mawaaziin
(timbangan-timbangan) amal (di akhirat) (8);
9. Mengingkari adzab qubur (9);
10. Surga dan neraka telah diciptakan
yang memiliki sifat fana (tidak kekal) (10);
11. Allah ‘azza wa jalla tidak akan
berbicara kepada makhluk-Nya (11) dan tidak akan melihat mereka di hari
kiamat (12);
12. Penduduk surga tidak akan (bisa)
melihat Allah ta’ala dan tidak pula melihat-Nya di surga (13);
13. Iman itu cukup dengan
ma’rifatul-qalb tanpa pengikraran dengan lisan (14); dan
14. Mengingkari seluruh sifat-sifat
Al-Haqq (Allah) ‘azza wa jallaa” (15) (selesai)
Footnote & Penjelasan:
(1) Ini adalah paham khas Jahmiyyah dalam masalah iman
yang kemudian dipopulerkan oleh ghullatul-Murji’ah. Mereka tidak memasukkan
perkataan dan perbuatan dalam cakupan iman. Oleh karena itu, iman tidak akan
hilang (dan bahkan tetap dalam kesempurnannya) walau dikotori oleh kekufuran
dalam perkataan dan amal perbuatan. Mereka tidak mengenal bertambah dan/atau
berkurangnya iman.
Ahlus-Sunnah telah berijma’ bahwa
iman adalah perkataan dan perbuatan; bisa naik dengan ketaatan, dan turun
(bahkan hilang sama sekali) dengan kemaksiatan.
عن عبد الرزاق، قال:
سمعتُ معمراً وسفيان الثوري ومالك بن أنس وابن چريج وسفيان بن عيينة يقولون:
الإيمان قول وعمل، يزيد وينقص.
Dari ‘Abdurrazzaaq, ia berkata: Aku
mendengar Ma’mar, Sufyaan Ats-Tsauriy, Maalik bin Anas, Ibnu Juraij, dan
Sufyaan bin ‘Uyainah berkata: “Iman adalah perkataan dan perbuatan, dapat
bertambah dan berkurang” (Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah,
1/272, tahqiq: Al-Waliid bin Muhammad An-Nashr; Muassasah Qurthubah, Cet.
1/1417 – dengan sanad shahih)
عن الربيع بن سليمان
قال: سمعتُ الشافعي رضي الله عنه يقول: الإيمان قول وعمل، ويزيد وينقص.
Dari Ar-Rabii’ bin Sulaimaan ia
berkata: Aku mendengar Asy-Syaafi’iy radliyallaahu ‘anhu berkata: “Iman adalah
perkataan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang” (Diriwayatkan oleh
Al-Baihaqiy dalam Al-Manaaqibusy-Syaafi’iy, 1/385, tahqiq As-Sayyid Ahmad
Shaqr; Maktabah Daar At-Turaats)
عن أبي داود، قال:
سمعتُ أحمد بن حنبل يقول: الإيمان قول وعمل، يزيد وينقص.
Dari Abu Daawud, ia berkata: Aku
mendengar Ahmad bin Hanbal berkata: “Iman adalah perkataan dan perbuatan, dapat
bertambah dan berkurang” (Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah,
1/272; shahih)
Al-Imaam Al-Baghawiy rahimahullah
berkata:
اتفقت الصحابة
والتابعين، فمن بعدهم من علماء السنة على أن الأعمال من الإيمان، لقوله سبحانه
وتعالى: (إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ
قُلُوبُهُمْ.....) إلى قوله (وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ) (الأنفال: ٢،٣)،
فجعل الأعمال كلها إيماناً، وكما نطقَ به حديث أبي هريرة.
وقالوا: إن الإيمان
قولٌ وعملٌ وعقيدةٌ، يزيد بالطاعة، وينقص بالمعصية.......
“Para shahabat, tabi’in, dan para
ulama Ahlus-Sunnah telah bersepakat bahwa perbuatan termasuk bagian dari iman,
berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’ala: ‘Sesungguhnya orang-orang yang
beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati
mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman
mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang
yang mendirikan salat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan
kepada mereka’ (QS. Al-Anfaal: 2-3) Allah telah menjadikan seluruh perbuatan
sebagai iman, sebagaimana juga dijelaskan oleh hadits Abu Hurairah.
Dan mereka pun berkata: ‘Sesungguhnya
iman itu adalah perkataan, perbuatan, dan ‘aqidah. Bertambah dengan ketaatan,
dan berkurang dengan kemaksiatan….” (Syarhus-Sunnah oleh Al-Baghawiy, 1/38-39,
tahqiq & takhrij: Syu’aib Al-Arna’uth & Zuhair Syaawisy; Al-Maktab
Al-Islaamiy, Cet. 2/1403)
Al-Imaam Muhammad bin Husain
Al-Aajurriy rahimahullah berkata:
اعلموا رحمنا الله
وإياكم: أن الذي عليه علماء المسلمين: أن الإيمان واجب على جميع الخلق، وهو تصديق
بالقلب، وإقرار باللسان، وعمل بالجوارح.
ثم اعلموا: أنه لا
تجزيء المعرفة بالقلب والتصديق، إلا أن يكون معه الإيمان باللسان نطقاًَ، ولا
تجزيء معرفة بالقلب، ونطق باللسان، حتى يكون عمل بالجوارح، فإذا كملت فيه هذه
الثلاث الخصال: كان مؤمناً.
دلّ على ذلك القرآن
والسنة وقول علماء المسلمين.
“Ketahuilah – semoga Allah merahmati
kami dan juga kalian – bahwasannya apa yang diyakini oleh ulama kaum muslimin
adalah: Iman adalah wajib bagi seluruh makhluk, dan ia adalah tashdiiq dengan
hati, iqraar dengan lisan, dan beramal dengan anggota badan. Apabila lengkap
tiga hal ini, maka ia seorang mukmin.
Kemudian ketahuilah bahwasannya
tidaklah mencukupi (dalam iman) ma’rifah dengan hati dan tashdiiq
(membenarkan), kecuali disertai ucapan dengan lisan. Dan tidaklah mencukupi
ma’rifah dengan hati dan ucapan dengan lisan kecuali diwujudkan dalam perbuatan
anggota badan”. (Asy-Syarii’ah, 1/274)
Adapun dalil yang diisyaratkan oleh
para ulama di atas tentang iman terdiri dari perkataan dan perbuatan serta bisa
bertambah dan berkurang; antara lain:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ
السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ
إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا
حَكِيمًا
“Dia-lah yang telah menurunkan
ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di
samping keimanan mereka (yang telah ada) Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit
dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Fat-h: 4)
الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ
النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ
إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
“(Yaitu) orang-orang (yang menaati
Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan:
"Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu,
karena itu takutlah kepada mereka", maka perkataan itu menambah keimanan
mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan
Allah adalah sebaik-baik Pelindung" (QS. Aali ‘Imraan: 173)
عن عبدالله بن عمر، عن
رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: "..... وما رأيت من ناقصات عقل ودين
أغلب لذي لب منكن" قالت: يا رسول الله! وما نقصان العقل والدين؟ قال
"أما نقصان العقل فشهادة امرأتين تعدل شهادة رجل. فهذا نقصان العقل. وتمكث
الليالي ما تصلي. وتفطر في رمضان. فهذا نقصان الدين".
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, dari
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau bersabda: “….Dan
aku tidak melihat ada yang kurang akal dan agamanya yang dapat mengalahkan
seseorang yang mempunyai keteguhan akal daripada kalian (para wanita)”. Mereka
(para wanita) berkata: “Wahai Rasulullah, apa kekurangan akal dan agama itu?”.
Beliau menjawab: “Adapun kekurangan akal, persaksian dua orang wanita sebanding
dengan persaksian seorang laki-laki. Inilah maksud kekurangan akal. Kalian
berhenti selama beberapa malam (hari) tidak melakukan shalat dan berbuka di
bulan Ramadlan. Inilah maksud kekurangan agama” (Diriwayatkan oleh Muslim no.
79 – dan beliau memasukkannya dalam Baab: Bayaani Nuqshaanil-Iimaan
bi-Naqshith-Thaa’aat…)
عن أبي هريرة؛ قال: قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: "الإيمان بضع وستون شعبة. فأفضلها قول لا إله
إلا الله. وأدناها إماطة الأذى عن الطريق. والحياء شعبة من الإيمان".
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Telah
bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Iman itu lebih dari tujuh
puluh cabang. Yang paling tinggi adalah perkataan Laa ilaha illallaah (= tidak
ada tuhan yang berhak diibadahi melainkan Allah), dan yang paling rendah adalah
menyingkirkan gangguan dari jalan. Rasa malu termasuk bagian dari iman” (Diriwayatkan
oleh Muslim no. 35, Ahmad 2/414, Abu Dawud no. 4676, Ibnu Maajah no. 147, Ibnu
Hibbaan no. 166, Al-Baghawiy no. 17, dan yang lainnya)
(2) Ini adalah ‘aqidah sesat, yang kemudian lebih
dipopulerkan oleh Mu’tazillah, yang merupakan derivate firqah Jahmiyyah.
Ahlus-Sunnah mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah Kalaamullah, bukan makhluk.
Allah ta’ala berfirman:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ
أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْلَمُونَ
“Dan jika seorang di antara
orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia
supaya ia sempat mendengar ‘kalaamullah’ (firman Allah), kemudian antarkanlah
ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak
mengetahui” (QS. At-Taubah: 6)
Kalimat ‘supaya ia sempat mendengar
kalaamullah’ maksudnya adalah Al-Qur’an.
عن جابر بن عبد اللّه
قال: قال رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم..... فإِن قريشاً قد منعوني أن أبلغ كلام
ربي".
Dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata:
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “….Sesungguhnya kaum
Quraisy telah menghalangiku untuk menyampaikan kalam Rabb-ku” (Diriwayatkan
oleh Abu Dawud no. no. 4734, At-Tirmidziy no. 2925, Ibnu Majah no. 197, Ad-Daarimi
no. 3354, Ahmad no. 15229, dan Al-Haakim no. 4220; shahih. Lihat Silsilah
Ash-Shahiihah no. 1947)
Maksud dari perkataan ‘kalaam
Rabb-ku’ adalah Al-Qur’an.
Mari kita simak debat menarik dari
Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahullah sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Al-Baihaqiy:
أخبرنا أبو عبد الله
الحافظ، قال: أخبرني أبو عبد الله محمد بن إبراهيم المؤذن، عن عبد الواحد بن محمد
الأرغياني، عن أبي محمد الزبيري، قال: قال رجل للشافعي: أخبرني عن القرآن، خالق هو
؟. قال الشافعي: اللهم لا. قال: فمخلوق ؟. قال الشافعي: اللهم لا. قال: فغير مخلوق
؟. قال الشافعي: اللهم نعم. قال: فما الدليل على أنه غير مخلوق ؟. فرفع الشافعي
رأسه وقال: تقرّ بإن القرآن كلام الله ؟. قال: نعم. قال الشافعي: سبقْت في هذه
الكلمة؛ قال الله تعالى ذكره: (وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ
حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ) وقال: (وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا) قال
الشافعي: فَتُقِرُّ بأن الله كان وكان كلامه ؟ أو كان الله ولم يكن كلامه ؟. فقال
الرجل: بل كان الله، وكان كلامه. قال: فتبسَّم الشافعي وقال: يا كوفيون، إنكم
لتأتوني بعظيم من القول، إذا كنتم تقرون بأن الله كان قبل القَبْل، وكان كلامه،
فمن أين لكم الكلام: إن الكلام الله، أو سوى الله، أو غير الله، أو دون الله ؟.
قال: فسكت الرجل وخرج.
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu
‘Abdillah Al-Haafid, ia berkata: Telah mengkhabarkan kepadaku Abu ‘Abdillah
Muhammad bin Ibraahiim Al-Muadzdzin, dari ‘Abdul-Waahid bin Muhammad
Al-Arghiyaaniy, dari Abu Muhammad Az-Zubairiy, ia berkata: Berkata seorang
laki-laki kepada Asy-Syaafi’iy: “Beritahukan kepadaku tentang Al-Qur’an, apakah
ia Khaaliq (Allah)?”. Asy-Syaafi’iy berkata: “Allaahumma, bukan!”. Laki-laki
itu berkata: “Kalau begitu, ia makhluk?”. Asy-Syaafi’iy berkata: “Allaahumma,
bukan!”. Laki-laki itu berkata: “Bukan makhluk (maksudmu)?”. Asy-Syaafi’iy
berkata: “Allaahumma, benar!”. Laki-laki itu berkata: “Apa dalil yang
melandasinya bahwa Al-Qur’an itu bukan makhluk?”. Asy-Syaafi’iy pun mengangkat
kepalanya lalu berkata: “Apakah engkau mengakui bahwa Al-Qur’an itu Kalaamullah?”.
Laki-laki itu berkata: “Ya”. Asy-Syaafi’iy berkata: “Engkau telah mendahului
dalam kalimat ini (maksudnya, laki-laki itu telah mengetahui jawabannya –
Abul-Jauzaa) Allah ta’ala telah berfirman: ‘Dan jika seorang di antara
orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia
supaya ia sempat mendengar ‘kalaamullah’ (firman Allah)’ – QS. At-Taubah: 6 –
dan juga: ‘Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung’ – QS.
An-Nisaa’: 164”. Asy-Syaafi’iy melanjutkan: “Apakah engkau mengakui bahwa Allah
itu telah ada dan begitu juga kalam-Nya; ataukah Allah itu telah ada namun
tidak demikian halnya dengan kalam-Nya?”. Laki-laki itu berkata: “Allah itu
telah ada dan begitu juga kalam-Nya”. Asy-Syaafi’iy pun tersenyum dan berkata:
“Wahai orang-orang Kufah, sungguh kalian telah mendatangiku dengan satu
perkataan yang besar. Jika kalian mengakui bahwasannya Allah itu telah ada
sebelum segala sesuatu ada, begitu juga dengan kalaam-Nya; lantas dari mana
asalnya perkataan kalian: Kalaam itu adalah Allah, atau kalaam itu selain dari
Allah (= makhluk)?”. Maka laki-laki itu terdiam dan lantas pergi” (Manaaqibusy-Syaafi’iy
oleh Al-Baihaqiy, 1/407-408, tahqiq As-Sayyid Ahmad Shaqr; Maktabah Daar
At-Turaats)
Maksud perkataan Asy-Syaafi’iy adalah
jika saja orang tersebut mengakui bahwa Al-Qur’an itu adalah Kalaamullah yang
termasuk bagian dari sifat-sifat-Nya, dan bahwa tidak ada permulaan baginya
sebagaimana tidak ada permulaan bagi Allah sebagai pemilik sifat, maka tidak
boleh dikatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk.
عن معاوية بن عمار، قال:
سئل جعفر بن محمد - رضي الله عنهما - عن القرآن: أخالق أو مخلوق ؟ قال: ليس خالق
ولا مخلوق، ولكنه كلام الله تعالى.
Dari Mu’aawiyyah bin ‘Ammaar, ia
berkata: Ja’far bin Muhammad radliyallaahu ‘anhumaa pernah ditanya tentang
Al-Qur’an: Apakah ia termasuk Khaaliq (= Allah) ataukah makhluk. Ia pun
menjawab: “Bukan Khaaliq, bukan pula makhluk. Akan tetapi ia (Al-Qur’an) adalah
Kalaamullah ta’ala” (Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 1/217,
‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 132 & 134, Abu Nu’aim 3/188, dan
yang lainnya; hasan lighairihi)
Para ulama Ahlus-Sunnah dengan tegas
menolak paham Jahmiyyah ini, bahkan mengkafirkan siapa saja yang
mengatakan/berpendapat Al-Qur’an itu makhluk.
عن هارون القزويني يقول:
لم أسمع أحدا من أهل العلم بالمدينة وأهل السنن إلا وهم ينكرون على من قال: القرآن
مخلوق، ويكفرونه.
Dari Haaruun Al-Qazwiiniy, ia berkata:
“Aku tidak pernah mendengar seorang pun ulama di Madinah, begitu pula para ahli
hadits, melainkan mereka semua mengingkari orang yang mengatakan Al-Qur’an itu
makhluk dan mengkafirkannya” (Diriwayatkan oleh Al-Aajuriiy 1/219; shahih)
عن غياث بن جعفر قال:
سمعتُ سفيان بن عيينة يقول: القرآن كلام الله عزوجل من قال مخلوق فهو كافر ومن شك
في كفره فهو كافر
Dari Ghiyaats bin Ja’far ia berkata:
Aku mendengar Sufyaan bin ‘Uyainah berkata: ”Al-Qur’an adalah Kalamullah.
Barangsiapa yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia kafir. Dan
barangsiapa yang ragu akan kekafiran orang tersebut, maka ia juga kafir”. (Diriwayatkan
oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 25; hasan)
عن وكيع يقول: من قال
القرآن مخلوق فهو كافر.
Dari Wakii’, ia berkata: “Barangsiapa
yang berkata Al-Qur’an itu makhluk, maka ia kafir”. (Diriwayatkan oleh
Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 1/222; shahih)
عن الربيع قال: سمعت
الشافعي رحمه الله تعالى يقول: القرآن كلام الله عز وجل غير مخلوق ، ومن قال مخلوق
فهو كافر
Dari Ar-Rabii’, ia berkata: Aku
mendengar Asy-Syafi’iy rahimahullah ta’ala berkata: “Al-Qur’an itu adalah
Kalamullah ’azza wa jalla. Bukan makhluk. Barangsiapa yang mengatakan
bahwasannya ia adalah makhluk, maka ia telah kafir”. (Diriwayatkan oleh
Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah 1/224; shahih)
Al-Imaam Al-Baihaqiy rahimahumallah
berkata tentang ‘aqidah Al-Imam Asy-Syaafi’iy:
وقد ذكر الشافعي رحمه
الله ما دل على أن ما نتلوه في القرآن بألسنتنا ونسمعه بآذاننا ونكتبه في مصاحفنا
يسمى كلام الله عز وجل وأن الله عز وجل كلم به عباده بأن أرسل به رسوله صلى الله
عليه وسلم
“Dan telah disebutkan oleh
Asy-Syafi’iy rahimahullah keterangan yang menunjukkannya bahwa apa yang kita
baca di dalam Al-Qur’an dengan lisan-lisan kita, kita dengar melalui
telinga-telinga kita, dan kita tulis di dalam mushhaf-mushhaf kita; semua itu
dinamakan Kalamullah ‘azza wa jalla (bukan makhluk – Abul-Jauzaa’) Dan bahwa
Allah ‘azza wa jalla telah berbicara dengannya kepada hamba-hamba-Nya melalui pengutusan
Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. (Al-I’tiqaad wal-Hidaayah ilaa
Sabiilir-Rasyaad oleh Al-Baihaqiy, hal. 108, tahqiq: Ahmad bin ‘Ishaam
Al-Kaatib, Daarul-Aafaaq, Cet. Thn. 1401, Beirut)
Adapun suara hamba beserta
gerakan-gerakan mereka dengan Al-Qur’an, kertas mushhaf, kulitnya, dan
tintanya; maka itu semua makhluk.
Silakan baca juga artikel terkait di:
Paham Asya'iroh (Asy 'Ariyyah) adalah Cucu Paham Jahmiyyah .
Dalam artikel tersebut dijelaskan
bahwa ‘aqidah Asyaa’irah/Asy’ariyyah merupakan anak cucu ‘aqidah Jahmiyyah.
(3) Ini satu pengingkaran yang sangat jelas terhadap
firman Allah ta’ala:
وَرُسُلا قَدْ
قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلا لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
“Dan (kami telah mengutus)
rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu,
dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah
telah berbicara kepada Musa dengan langsung”. (QS. An-Nisaa’: 164)
Untuk melegalkan keyakinan mereka,
mereka pun merubah firman Allah dengan menashabkan kata Allah (yang seharusnya
rafa’), sehingga Allah yang seharusnya berperan sebagai subjek menjadi objek.
Ayat tersebut (setelah mereka ubah) berbunyi:
وَرُسُلا قَدْ
قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلا لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ
وَكَلَّمَ اللَّهَ مُوسَى تَكْلِيمًا
“Dan (kami telah mengutus)
rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu,
dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Musa
telah berbicara kepada Allah dengan langsung”. (QS. An-Nisaa’: 164)
(perhatikan yang diwarnai merah)
(4) Penetapan sifat kalam bagi Allah ta’ala merupakan
salah satu bagian ‘aqidah Ahlus-Sunnah sangat penting. Penetapan ‘aqidah inilah
yang membuat garis pemisah yang sangat kentara antara barisan Ahlus-Sunnah
dengan Ahlul-Bid’ah dimana Jahm bin Shafwan berdiri di gerbong paling depan –
dalam permasalahan sifat Allah ta’ala.
Banyak dalil yang menunjukkan sifat
kalam bagi Allah, diantaranya:
Allah ta’ala berfirman:
تِلْكَ الرُّسُلُ
فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ مِنْهُمْ مَنْ كَلَّمَ اللَّهُ وَرَفَعَ
بَعْضَهُمْ دَرَجَاتٍ
“Rasul-rasul itu Kami lebihkan
sebagian mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah
berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya
beberapa derajat…”. (QS. Al-Baqarah: 253)
فَلَمَّا أَتَاهَا
نُودِيَ مِنْ شَاطِئِ الْوَادِ الأيْمَنِ فِي الْبُقْعَةِ الْمُبَارَكَةِ مِنَ
الشَّجَرَةِ أَنْ يَا مُوسَى إِنِّي أَنَا اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Maka tatkala Musa sampai ke (tempat)
api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah yang diberkahi, dari sebatang
pohon kayu, yaitu: "Ya Musa, sesungguhnya aku adalah Allah, Tuhan semesta
alam”. (QS. Al-Qashshsash: 30)
عن عبد الله قال قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله إذا تكلم بالوحي سمع أهل السماء للسماء
صلصلة كجر السلسلة على الصفا فيصعقون فلا يزالون كذلك حتى يأتيهم جبريل فإذا جاءهم
فزع عن قلوبهم فيقولون يا جبريل ماذا قال ربك فيقول الحق فينادون الحق الحق
Dari ‘Abdullah (bin Mas’uud), ia
berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya Allah jika akan berbicara melalui wahyu, para penduduk langit
mendengar di langit suara seperti gemerincing rantai yang ditarik di atas batu
rata. Merekapun pingsan dan terus menerus dalam keadaan seperti itu hingga
Jibriil tiba. Ketika Jibriil mendatangi mereka, hilanglah rasa takut dalam diri
mereka lalu berkata: ‘Wahai Jibriil, apa gerangan yang difirmankan oleh Rabb-mu?’.
Jibril menjawab: ‘Al-haq (kebenaran)’. Mereka pun lantas berseru: ‘Al-haq,
al-haq”. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4738, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’
wash-Shifaat hal. 201, Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid hal. 145, dan
Al-Khathiib dalam At-Taariikh 11/392; shahih)
(5) Silakan lihat penjelasannya pada catatan kaki no. 13.
(6) Ini ‘aqidah baathil Jahmiyyah yang diikuti oleh
sebagian Asy’ariyyah!! ‘Aqidah Jahmiyyah ini mengkonsekuensikan bahwa Allah ada
dimana-mana/setiap tempat.
Al-Imaam Abul-Hasan Al-Asy’ariy
rahimahullah berkomentar tentang ‘aqidah Jahmiyyah yang satu ini dengan
perkataannya:
وقد قال قائلون من
المعتزلة والجهمية والحرورية: إن معنى استوى إستولى وملك وقهر، وأنه تعالى في كل
مكان، وجحدوا أن يكون على عرشه، كما قال أهل الحق، وذهبوا في الإستواء إلى القدرة،
فلو كان كما قالوا كان لا فرق بين العرش وبين الأرض السابعة لأنه قادر على كل شيء،
والأرض شيء، فالله قادر عليها وعلى الحشوش.
وكذا لو كان مستويا على
العرش بمعنى الإستيلاء، لجاز أن يقال: هو مستو على الأشياء كلها ولم يجز عند أحد
من المسلمين أن يقول: إن الله مستو على الأخلية والحشوش، فبطل أن يكون الإستواء (على
العرش): الإستيلاء.
“Dan telah berkata orang-orang dari
kalangan Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah (Khawarij): ‘Sesungguhnya makna
istiwaa’ adalah menguasai (istilaa’), memiliki, dan mengalahkan. Allah ta’ala
berada di setiap tempat’. Mereka mengingkari keberadaan Allah di atas
‘Arsy-Nya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlul-Haq (Ahlus-Sunnah) Mereka
(Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah) memalingkan (mena’wilkan) makna
istiwaa’ kepada kekuasaan/kemampuan (al-qudrah) Jika saja hal itu seperti yang
mereka katakan, maka tidak akan ada bedanya antara ‘Arsy dan bumi yang tujuh,
karena Allah berkuasa atas segala sesuatu. Bumi adalah sesuatu, dimana Allah
berkuasa atasnya dan atas rerumputan.
Begitu juga apabila istiwaa’ di atas
‘Arsy itu bermakna menguasai (istilaa’), maka akan berkonsekuensi untuk
membolehkan perkataan: ‘Allah ber-istiwaa’ di atas segala sesuatu’. Namun tidak
ada seorang pun dari kaum muslimin yang membolehkan untuk berkata:
‘Sesungguhnya Allah ber-istiwaa’ di tanah-tanah kosong dan rerumputan’. Oleh
karena itu, terbuktilah kebathilan perkataan bahwa makna istiwaa’ (di atas
‘Arsy) adalah istilaa’ (menguasai)”. (selengkapnya, silakan lihat Al-Ibaanah,
hal. 34-37 – melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw lidz-Dzahabiy oleh
Al-Albaaniy, hal. 239; Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 1/1401 H)
Bandingkan dengan golongan
Asy’ariyyah yang berpendapat bahwa Allah ta’ala tidak di dalam alam dan tidak
pula di luar alam! (lantas dimanakah Allah?)
Sebagai seorang muslim ketika muncul
pertanyaan dimana Allah, maka dengan tegas harus kita jawab: “Di langit,
bersemayam di atas ‘Arsy-Nya”. Ini sebagai wujud ittiba’ kita terhadap hadits:
عن معاوية بن الحكم
السلمي؛ قال:.....وكانت لي جارية ترعى غنما لي قبل أحد والجوانية. فاطلعت ذات يوم
فإذا الذيب (الذئب؟؟) قد ذهب بشاة من غنمها. وأنا رجل من بني آدم. آسف كما يأسفون.
لكني صككتها صكة. فأتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فعظم ذلك علي. قلت: يا رسول
الله! أفلا أعتقها؟ قال "ائتني بها" فأتيته بها. فقال لها "أين
الله؟" قالت: في السماء. قال "من أنا؟" قالت: أنت رسول الله. قال
"أعتقها. فإنها مؤمنة".
Dari Mu’awiyyah bin Al-Hakam
As-Sulamiy, ia berkata: “…..Aku mempunyai seorang budak wanita yang menggembalakan
kambingku kea rah gunung Uhud dan Jawwaaniyyah. Pada suatu hari aku
memantaunya, tiba-tiba ada seekor serigala yang membawa lari seekor kambing
yang digembalakan budakku itu. Aku sebagaimana manusia biasa pun marah
sebagaimana orang lain lain marah (melihat itu) Namun aku telah menamparnya,
lalu aku mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun
menganggap besar apa yang telah aku lakukan. Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah,
apakah aku harus memerdekakannya?’. Beliau menjawab: ‘Bawalah budak wanita itu
kepadaku’. Aku pun membawanya kepada beliau. Lalu beliau bertanya kepada budak
wanita itu: ‘Dimanakah Allah?’. Ia menjawab: ‘Di langit’. Beliau bertanya lagi:
‘Siapakah aku?’. Ia menjawab: ‘Engkau adalah utusan Allah (Rasulullah)’. Beliau
pun bersabda: ‘Bebaskanlah, sesungguhnya ia seorang wanita beriman”. (Diriwayatkan
oleh Muslim no. no. 537, Abu Dawud no. 930, An-Nasai 3/14-16, dan lain-lain)
Allah ta’ala telah berfirman:
إِنَّ رَبَّكُمُ
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ
اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا
وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah
yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di
atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat,
dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing)
tunduk kepada perintah-Nya”. (QS. Al-A’raaf: 54)
Catatan kecil:
Hadits Mu’awiyyah bin Al-Hakam di
atas telah didla’ifkan oleh Muhammad Zaahid Al-Kautsariy – lokomotif paham
Jahmiyyah abad 14 H –. Ia mendla’ifkan karena bertentangan dengan ‘aqidahnya.
Oleh karena itu, dibuatlah alasan yang bermacam-macam untuk mendla’ifkannya
dari sisi sanad (dan matannya – sehingga ia simpulkan sebagai hadits mudltharib)
Namun ia gagal, karena hadits itu memang shahih dan disepakati keshahihannya
oleh para imam ahli hadits. Silakan baca bantahan ringkas As-Syaikh Al-Albaaniy
rahimahullah dalam Mukhtashar Al-‘Ulluw hal. 82-83.
(7) ‘Aqidah ini sangat jelas bertentangan dengan firman
Allah ta’ala:
إِنَّ رَبَّكُمُ
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ
اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا
وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah
yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di
atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat,
dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing)
tunduk kepada perintah-Nya”. (QS. Al-A’raaf: 54)
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي
السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ * أَمْ أَمِنْتُمْ
مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ
نَذِيرِ
“Apakah kamu merasa aman terhadap
Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu,
sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang? atau apakah kamu merasa aman
terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu.
Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku?”.
(QS. Al-Mulk: 16-17)
اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا
هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي
السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلا
بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلا يُحِيطُونَ
بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ
وَالأرْضَ وَلا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus
(makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di
langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa
izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang
mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang
dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa
berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS.
Al-Baqarah: 255 – ayat kursiy)
Dan juga bertentangan dengan sabda
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
ما السماوات السبع في
الكرسي إلا كحلقة بأرض فلاة وفضل العرش على الكرسي كفضل تلك الفلاة على تلك الحلقة
“Perumpamaan langit yang tujuh
dibandingkan dengan Kursi seperti lingkaran yang dilemparkan di padang sahara
yang luas. Dan keunggulan ‘Arsy atau Kursi seperti keunggulan padang sahara
yang luas itu atas lingkaran tersebut”. (lihat Silsilah Al-Ahaadiits
Ash-Shahiihah, 1/223-227 no. 109)
(8) Ahlus-Sunnah beriman akan adanya miizaan (timbangan)
di hari akhirat, tidak ada perbedaan pendapat mengenai hal ini. Allah ta’ala
berfirman:
وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ
الْحَقُّ فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ * وَمَنْ
خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ بِمَا كَانُوا
بِآيَاتِنَا يَظْلِمُونَ
“Timbangan pada hari itu ialah
kebenaran (keadilan), maka barang siapa berat timbangan kebaikannya, maka
mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan
kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan
mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami”. (QS. Al-A’raaf: 8-9)
وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ
الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَإِنْ كَانَ
مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ
“Kami akan memasang timbangan yang
tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun.
Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi (dzarrah) pun pasti Kami
mendatangkan (pahala) nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan”. (QS.
Al-Anbiyaa’: 47)
عن أبي الدرداء قال:
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: (ما من شيء يوضع في الميزان أثقل من حسن
الخلق
Dari Abud-Dardaa’, ia berkata: Aku
mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada
sesuatupun yang diletakkan pada miizaan (timbangan) yang lebih berat daripada
akhlaq yang baik”. (Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2002-2003,
Ath-Thayaalisiy no. 978, ‘Abdurrazzaaq no. 20157, Al-Bukhariy dalam
Al-Adabul-Mufrad no. 270 & 464, Abu Dawud no. 4799, dan yang lainnya;
shahih. Lihat Silsilah Ash-Shahiihah no. 876)
عن أبي هريرة رضي الله
عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: (كلمتان حبيبتان إلى الرحمن، خفيفتان على
اللسان، ثقيلتان في الميزان: سبحان الله وبحمده، سبحان الله العظيم(
Dari Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu, ia berkata: Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Dua kalimat yang dicintai oleh Ar-Rahmaan (Allah), ringan di lisan namun berat
di timbangan yaitu: Subhaanallaahi wa bihamdihi subhaanallaahil-‘adhiim”. (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 6406 & 6682 & 7563 dan Muslim no. 2694, Ahmad
2/232, At-Tirmidziy no. 3463, Ibnu Maajah no. 1264, Al-Baghawiy dalam
Syarhus-Sunnah no. 1264, dan yang lainnya)
Timbangan (miizaan) tersebut adalah
timbangan hakiki yang mempunyai dua daun timbangan. Berbeda halnya dengan
Mu’tazillah yang berpendapat bahwa timbangan tersebut adalah kinaayah pada
penegakan keadilan. Namun kita tidak mengetahui kaifiyah timbangan karena hal
itu termasuk perkara-perkara akhirat. Kebaikan akan diletakkan pada satu daun
timbangan, dan kejelekan akan diletakkan di daun timbangan lainnya. (lihat
Syarh Lum’atil-I’tiqaad li-Ibni Qudaamah oleh Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan,
hal. 209-210)
Umat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa
sallam adalah umat pertama yang akan diperhitungkan (dihisab) dan ditimbang
amal perbuatannya.
عن ابن عباس؛ أن النبي
صلى الله عليه وسلم قال: ((نحن آخر الأمم، وأول من يحاسب. يقال: أين الأمة الأمية
ونبيها؟ فنحن الآخرون الأولون)(
Dari Ibnu ‘Abbaas: Bahwasannya Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kita adalah umat yang paling akhir,
namun paling awal diperhitungkan (amal perbuatannya (di hari kiamat)”.
Dikatakan: “Dimanakah umat-umat lain beserta nabinya?”. (Beliau menjawab):
“Kita adalah umat yang paling akhir sekaligus paling awal”. (Diriwayatkan oleh
Ibnu Maajah no. 4290; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah no. 2374)
Para ulama meenjelaskan bahwa yang
akan ditimbang pada hari kiamat adalah amal perbuatan, manusia itu sendiri
(shaahibul-‘amal), dan lembaran-lembaran catatan amal (Diambil dari penjelasan
Asy-Syaikh Shaalih bin ‘Abdil-‘Aziiz Aalusy-Syaikh hafidhahullah terhadap kitab
Lum’atul-I’tiqaad karya Ibnu Qudaamah rahimahullah yang disampaikan di Masjid
Hamzah bin ‘Abdil-Muthallib, Dammam, 1413 H. Lihat juga Ushuulus-Sunnah oleh
Al-Imam Ahmad bin Hanbal, hal. 54, syarh & tahqiq Al-Waliid bin Muhammad
An-Nashr; Maktabah Ibn Taimiyyah, Cet. 1/1416)
(9) Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata saat
menjelaskan prinsip-prinsip ‘aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah:
والإيمان بعذاب القبر،
وأن هذه الأمة تفتن في قبورها وتُسألُ عن الإيمان والإسلام، ومن ربُّهُ ؟ ومن
نبيه؟ ويأتيه منكر ونكير كيف شاء الله عز وجل وكيف أراد، والإيمان به والتصديق به.
“Dan beriman terhadap ‘adzab kubur.
Bahwasannya umat ini akan diuji dalam kuburnya dan akan ditanya tentang iman,
Islam, siapa Rabb-nya? dan siapa Nabinya? Malaikat Munkar dan Nakiir akan
mendatanginya sebagaimana yang Allah ‘azza wa jalla kehendaki dan inginkan.
Beriman dan membenarkannya. (Ushuulus-Sunnah, hal. 56. Lihat juga Thabaqaatul-Hanaabilah
oleh Ibnu Abi Ya’laa, 1/59, tahqiq Dr. ‘Abdurrahmaan bin Sulaimaan
Al-‘Utsaimiin; Universitas Ummul-Qurra’)
Banyak dalil yang menjadi dasar
adanya ‘adzab qubur. Diantaranya:
Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن
ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيـمَةِ أَعْمَى
“Dan barangsiapa berpaling dari
peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan
menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. (QS. Thaahaa: 124)
Al-Haafidh Ibnu Katsir rahimahullah
saat menjelaskan ayat tersebut membawakan riwayat Al-Bazzar:
حدثنا أبو زُرْعَة،
حدثنا أبو الوليد، حدثنا حماد بن سلمة، عن محمد بن عمرو، عن أبي سلمة، عن أبي
هريرة، عن النبي صلى الله عليه وسلم: { فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا } قال:
"عذاب القبر". إسناد جيد
Telah menceritakan kepada kami Abu
Zur’ah: Telah menceritakan kepada kami Abul-Waliid: Telah menceritakan kepada
kami Hammaad bin Salamah, dari Muhammad bin ’Amr, dari Abu Salamah, dari Abu
Hurairah, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam tentang ayat "Maka
sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit”. (QS. Thaha: 124), beliau
bersabda: “Yaitu adzab qubur”; sanad hadits ini jayyid (Tafsir Ibnu Katsiir,
5/324, tahqiq Saamiy bin Muhammad Salamah; Daaruth-Thayyibah, Cet. 2/1420)
عن أبي أيوب قال: خرج
رسول الله صلى الله عليه وسلم بعدما غربت الشمس. فسمع صوتا. فقال "يهود تعذب
في قبورها".
Dari Abu Ayyuub, ia berkata: “(Satu
saat), Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah keluar setelah tenggelam
matahari; lalu beliau mendengar suara, lalu bersabda: “(Mereka itu adalah
orang-orang) Yahudi yang disiksa di dalam kubur mereka”. (Diriwayatkan oleh
Muslim no. 2869)
عن أم مبشر قالت دخل
علي رسول الله صلى الله عليه وسلم وانا في حائط من حوائط بني النجار فيه قبور مهم
وهم يقول استعيذوا بالله من عذاب القبر فقلت يا رسول الله وللقبر عذاب قال نعم
وإنهم ليعذبون في قبورهم تسمعه البهائم
Dari Ummu Mubasysyir, dari Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Berlindunglah kalian kepada
Allah dari adzab kubur”. Aku (Ummu Mubasyir) berkata: “Wahai Rasulullah, apakah
kubur itu terdapat adzab?”. Beliau menjawab: “Ya, mereka diadzab dengan adzab
yang dapat didengar oleh binatang-binatang”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban no.
3125, Ibnu Abi Syaibah 3/362, Ath-Thabaraaniy 25/268, Al-Baihaqiy dalam
Itsbaatu ’Adzzabil-Qabr no. 95, dan yang lainnya; shahih sesuai persyaratan
Muslim sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Arna’uth dalam Takhriij Shahih
Ibni Hibbaan 7/396)
عن أنس رضي الله عنه،
عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (العبد إذا وضع في قبره وتولي وذهب أصحابه، حتى
إنه ليسمع قرع نعالهم، أتاه ملكان فأقعداه، فيقولان له: ما كنت تقول في هذا الرجل
محمد صلى الله عليه وسلم؟ فيقول: أشهد أنه عبد الله ورسوله، فيقال: انظر إلى مقعدك
في النار، أبدلك الله به مقعدا من الجنة(
Dari Anas radliyallaahu ’anhu, dari
Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Seorang hamba apabila
telah diletakkan dalam kuburnya serta para shahabatnya (yang mengantar) telah
berpaling dan pergi, maka ia benar-benar mendengar suara sandal-sandal mereka.
Lalu, datanglah dua malaikat yang mendudukinya. Dua malaikat itu bertanya: ’Apa
yang dulu engkau katakan tentang laki-laki ini, yaitu Muhammad shallallaahu
’alaihi wa sallam?’. Ia menjawab: ’Aku bersaksi bahwasannya ia adalah hamba
Allah dan utusan-Nya’. Maka dikatakan padanya: ’Lihatlah tempat dudukmu di
neraka. Allah telah menggantikannya untukmu tempat duduk di surga”. (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 1338 dan Muslim no. 2870)
عن البراء بن عازب، عن
النبي صلى الله عليه وسلم قال "{يثبت الله الذين آمنوا بالقول الثابت} (14
/إبراهيم /27)" قال "نزلت في عذاب القبر. فيقال له: من ربك؟ فيقول: ربي
الله ونبيي محمد صلى الله عليه وسلم فذلك قوله عز وجل: {يثبت الله الذين آمنوا
بالقول الثابت في الحياة الدنيا وفي الآخرة}".
Dari Al-Barraa’ bin ’Aazib, dari Nabi
shallallaahu ’alaihi wa sallam belaiu bersabda: “Firman Allah: ’Allah
meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh’ (QS.
Ibraahiim: 27); turun tentang adzab kubur. Maka dikatakan padanya (penghuni
kubur): ’Siapakah Rabb-mu?’, ia pun menjawab: ’Rabb-ku adalah Allah dan Nabiku
adalah Muhammad shallallaahu ’alaihi wa sallam’. Itulah makna firman-Nya ’azza
wa jalla: ’Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang
teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.” (Diriwayatkan oleh
Al-Bukhariy no. 1369 dan Muslim no. 2871)
Ibnu Abdil-Barr rahimahullah berkata:
“Tidak ada perselisihan antara ahlus-sunnah tentang iman akan adanya adzab
kubur”. (At-Tamhiid 9/230)
‘Aqidah Jahmiyyah dalam pengingkaran
adzab kubur di era kontemporer dihidupkan kembali oleh kelompok Hizbut-Tahrir.
Penolakan/pengingkaran terhadap ‘aqidah adzab kubur merupakan ciri yang sangat
kentara dari kelompok ini. Bahkan, untuk mengokohkannya, mereka harus rela
bersusah payah menulis buku tak bermanfaat yang berjudul: Absahkah? Berdalil dengan
Hadits Ahad dalam Masalah ‘Aqidah dan Siksa Kubur, karangan Syamsuddin
Ramadlan, Hanifah Press, Jakarta. Buku ini sarat dengan kedustaan dan
kebodohan.
(10) Surga dan neraka adalah dua makhluk
Allah yang telah diciptakan. Allah ta’ala berfirman:
أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ
جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ذَلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ
“Allah telah menyediakan bagi mereka
surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah
kemenangan yang besar”. (QS. At-Taubah: 89)
إِنَّا أَعْتَدْنَا
لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا
يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ
مُرْتَفَقًا
“Sesungguhnya Kami telah sediakan
bagi orang-orang lalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika
mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi
yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan
tempat istirahat yang paling jelek”. (QS. Al-Kahfiy: 29)
عن ابن عباس قال: قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم:....إني رأيت الجنة. قتناولت منها عنقودا. ولو أخذته
لأكلتم منه ما بقيت الدنيا. ورأيت النار. فلم أر كاليوم منظرا قط. ورأيت أكثر
أهلها النساء
Dari Ibnu ’Abbaas, ia berkata: Telah
bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam: “....Sesunguhnya aku telah
melihat surga. Kemudian aku mencoba meraih darinya satu tandan. Seandainya aku
mampu meraihnya, sungguh kalian akan memakannya selama dunia ini masih ada. Dan
aku juga telah melihat neraka. Aku belum pernah melihat seperti hari itu satu
pemandangan pun (yang lebih mengerikan darinya) Dan aku melihat kebanyakan
penduduknya adalah para wanita”. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1052,
Muslim no. 907, Ibnu Khuzaimah no. 1377, Ibnu Hibbaan no. 2832 & 2853, dan
yang lainnya)
Keduanya (surga dan neraka) adalah
kekal, tidak akan pernah binasa.
Allah ta’ala berfirman:
وَبَشِّرِ الَّذِينَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا
الأنْهَارُ كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِزْقًا قَالُوا هَذَا
الَّذِي رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا وَلَهُمْ فِيهَا
أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Dan sampaikanlah berita gembira
kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi
rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: "Inilah yang
pernah diberikan kepada kami dahulu." Mereka diberi buah-buahan yang
serupa dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci dan mereka kekal
di dalamnya”. (QS. Al-Baqarah: 25)
اللَّهُ وَلِيُّ
الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ
كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى
الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
"Allah Pelindung orang-orang
yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya
(iman) Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang
mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran) Mereka itu adalah
penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al-Baqarah: 257)
Al-Imam Ath-Thahawiy rahimahullah
berkata:
ونؤمن بالبعث، وجزاء
الأعمال يوم القيامة، والعرض، والحساب، وقراءة الكتاب، والثواب، والعقاب، والصراط،
والميزان، والجنة والنار مخلوقتان، لا تفنيان أبدا ولا تبيدان.
“Kita (Ahlus-Sunnah) beriman kepada
kebangkitan, pembalasan amal perbuatan di hari kiamat, pemeriksaan, hisab,
pembacaan tulisan, pahala, siksaan, ash-shiraath, miizaan, surga dan neraka
yang keduanya telah diciptakan yang tidak akan musnah selama-lamanya dan tidak
akan hancur”. (Al-’Aqiidah Ath-Thahaawiyyah, hal. 26; Daar Ibni Hazm, Cet.
1/1416)
(11) Ini adalah konsekuensi pengingkaran
mereka terhadap sifat kalam sebagaimana telah lalu pembahasannya. Padahal telah
tetap dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah bahwa Allah akan mengajak bicara
orang-orang yang beriman kelak di hari kiamat.
إِنَّ الَّذِينَ
يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا
قَلِيلا أُولَئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ إِلا النَّارَ وَلا
يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ
أَلِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang
menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab dan menjualnya
dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak
menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada
mereka pada hari kiamat dan tidak akan menyucikan mereka dan bagi mereka siksa
yang amat pedih”. (QS. Al-Baqarah: 174)
Apabila ada segolongan kaum yang
tidak akan diajak bicara oleh Allah, maka mafhum-nya ada segolongan lain akan
diajak bicara oleh Allah kelak di hari kiamat.
وَيَوْمَ نَحْشُرُهُمْ
جَمِيعًا ثُمَّ نَقُولُ لِلَّذِينَ أَشْرَكُوا أَيْنَ شُرَكَاؤُكُمُ الَّذِينَ كُنْتُمْ
تَزْعُمُونَ
“Dan (ingatlah), hari yang di waktu
itu Kami menghimpun mereka semuanya kemudian Kami berkata kepada orang-orang
musyrik: "Di manakah sembahan-sembahan kamu yang dahulu kamu katakan
(sekutu-sekutu Kami)?". (QS. Al-An’aam: 22)
ثُمَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
يُخْزِيهِمْ وَيَقُولُ أَيْنَ شُرَكَائِيَ الَّذِينَ كُنْتُمْ تُشَاقُّونَ فِيهِمْ
قَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ إِنَّ الْخِزْيَ الْيَوْمَ وَالسُّوءَ عَلَى
الْكَافِرِينَ
“Kemudian Allah menghinakan mereka di
hari kiamat, dan berfirman: "Di manakah sekutu-sekutu-Ku itu (yang karena
membelanya) kamu selalu memusuhi mereka (nabi-nabi dan orang-orang
mukmin)?" Berkatalah orang-orang yang telah diberi ilmu):
"Sesungguhnya kehinaan dan azab hari ini ditimpakan atas orang-orang yang
kafir". (QS. Al-Hijr: 27)
عن عدي بن حاتم
قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ما منكم من أحد إلا سيكلمه ربه ليس
بينه وبينه ترجمان ولا حجاب يحجبه
Dari ‘Adiy bin Haatim ia berkata:
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Tidaklah ada seorangpun
di antara kalian kecuali ia akan diajak bicara oleh Rabb-nya. Tidak ada antara
keduanya penerjemah dan penghalang yang menghalanginya”. (Diriwayatkan oleh
Al-Bukhariy no. 6889)
عن أبي برزة الأسلمي
قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا تزول قدما عبد حتى يسأل عن عمره فيما
أفناه، وعن علمه فيما فعل وعن ماله من أين اكتسبه وفيما أنفقه وعن جسمه فيما أبلاه
Dari Abu Barzah Al-Aslamiy, ia
berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak akan
bergeser telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sebelum ditanyakan tentang
umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya seberapa jauh ia amalkan,
tentang hartanya dari mana ia mendapatkannya dan kemana ia
belanjakan/nafkahkan, dan tentang badannya untuk apa ia rusakkan”. (Diriwayatkan
oleh At-Tirmidziy no. 2417, Abu Ya’laa no. 7434, dan Abu Nu’aim 1/232; shahih.
Lihat Silsilah Ash-Shahiihah no. 946)
(12) Ar-Ru’yah (melihat) adalah salah
satu sifat Allah yang shahih dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di hari kiamat
nanti, Allah akan melihat sebagian hamba-hamba-Nya dan tidak akan melihat
sebagian yang lain (karena kemaksiatan yang mereka lakukan)
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ
يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلا أُولَئِكَ لا
خَلاقَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ وَلا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ وَلا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang
menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang
sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah
tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada
hari kiamat dan tidak (pula) akan menyucikan mereka. Bagi mereka azab yang
pedih”. (QS. Aali ‘Imraan: 77)
عن أبي ذر عن النبي صلى
الله عليه وسلم قال ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا ينظر إليهم ولا يزكيهم
ولهم عذاب أليم قال فقرأها رسول الله صلى الله عليه وسلم ثلاث مرار قال أبو ذر
خابوا وخسروا من هم يا رسول الله قال المسبل والمنان والمنفق سلعته بالحلف الكاذب
Dari Abi Dzarr radliyallaahu ‘anhu
dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Ada tiga golongan
yang tidak akan diajak bicara oleh Allah di hari kiamat, tidak dilihat, dan
tidak pula disucikan serta baginya adzab yang sanga pedih”. Abu Dzar berkata:
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengucapkannya tiga kali”. Kemudian
Abu Dzarr bertanya: “Sungguh sangat jelek dan meruginya mereka itu wahai
Rasulullah?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “(Mereka
adalah) Musbil (orang yang melakukan isbal), orang yang gemar mengungkit-ungkit
kebaikan yang telah diberikan, dan orang yang menjual barang dagangannya dengan
sumpah palsu”. (Diriwayatkan oleh Muslim no. 106, Abu Dawud no. 4087,
At-Tirmidziy no. 1211, dan yang lainnya)
(13) Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy
rahimahullah berkata:
أجمعوا على أن المؤمنين
يرون الله عز وجل يوم القيامة بأعين وجوههم على ما أخبر به تعالى
“Mereka (para ulama) telah bersepakat
bahwa orang-orang mukmin akan melihat Allah ‘azza wa jalla kelak di hari kiamat
dengan mata kepala mereka berdasarkan apa yang telah dikhabarkan Allah ta’ala”.
(Risaalah ilaa Ahlits-Tsaghr, hal. 237 – melalui perantaraan kitab
Shifatullaahi ‘azza wa jalla Al-Waaridatu fil-Kitaab was-Sunnah oleh ‘Alawiy
bin ‘Abdil-Qaadir As-Saqqaaf, hal. 170; Ad-Durarus-Saniyyah, Cet. 3/1426)
Allah ta’ala berfirman:
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا
الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ
“Bagi orang-orang yang berbuat baik,
ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya”. (QS. Yunus: 26)
Al-Haafidh Ibnu Katsir rahimahullah
berkata:
وقد روي تفسير الزيادة
بالنظر إلى وجه الله الكريم، عن أبي بكر الصديق، وحذيفة بن اليمان، وعبد الله بن
عباس (قال البغوي وأبو موسى وعبادة بن الصامت) وسعيد بن المسيب، وعبد الرحمن بن
أبي ليلى، وعبد الرحمن بن سابط، ومجاهد، وعكرمة، وعامر بن سعد، وعطاء، والضحاك،
والحسن، وقتادة، والسدي، ومحمد بن إسحاق، وغيرهم من السلف والخلف.
وقد وردت في ذلك
أحاديثُ كثيرة، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، فمن ذلك ما رواه الإمام أحمد:
حدثنا عفان، أخبرنا
حماد بن سلمة، عن ثابت البُناني، عن عبد الرحمن بن أبي ليلى، عن صهيب؛ أن رسول
الله صلى الله عليه وسلم تلا هذه الآية: { لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى
وَزِيَادَةٌ } وقال: "إذا دخل أهل الجنة الجنة، وأهل النار النار، نادى مناد:
يا أهل الجنة، إن لكم عند الله موعدًا يريد أن يُنْجِزَكُمُوه. فيقولون: وما هو؟
ألم يُثقِّل موازيننا، ويبيض وجوهنا، ويدخلنا الجنة، ويزحزحنا من النار؟".
قال: "فيكشف لهم الحجاب، فينظرون إليه، فوالله ما أعطاهم الله شيئا أحب إليهم
من النظر إليه، ولا أقر لأعينهم".
“Telah diriwayatkan penafsiran kata
az-ziyaadah (tambahan) dengan melihat wajah Allah Yang Mulia dari Abu Bakr
Ash-Shiddiq, Hudzaifah bin Al-Yamaan, ‘Abdullah bin Al-‘Abbaas, (Al-Baghawiy
berkata: Abu Musa, ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit), Sa’iid bin Al-Musayyib,
‘Abdurrahman bin Abi Lailaa, ‘Abdurrahman bin Saabith, Mujaahid, ‘Ikrimah,
‘Aamir bin Sa’d, ‘Atha’, Adl-Dlahhaak, Al-Hasan, Qataadah, As-Suddiy, Muhammad bin
Ishaaq, dan yang lainnya dari kalangan salaf dan khalaf. Dan telah banyak
hadits yang membicarakan hal itu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, diantaranya adalah yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad: Telah
menceritakan kepada kami ‘Affaan: Telah mengkhabarkan kepada kami Hammaad bin
Salamah, dari Tsaabit Al-Bunaaniy, dari ‘Abdurrahman bin Abi Lailaa, dari
Shuhaib: Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat:
‘Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan
tambahannya’, beliau bersabda: “Bila penduduk surga telah memasuki surga dan
penduduk neraka telah memasuki neraka, maka ada seorang penyeru yang memanggil:
‘Wahai penduduk surga, sesungguhnya kalian mempunyai apa yang telah dijanjikan
di sisi Allah, Allah ingin memenuhinya untuk kalian. Maka mereka berkata:
‘Apakah itu? bukankah Allah telah memberatkan timbangan (amal baik) kami,
memutihkan wajah kami, memasukkan kami ke dalam surga, dan menyelamatkan kami
dari neraka?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan: “Maka
dibukalah hijab untuk mereka, lalu mereka melihat kepada wajah-Nya. Maka demi
Allah, tidak ada sesuatupun yang Allah berikan kepada mereka yang lebih
dicintai oleh mereka dan lebih menyenangkan mereka daripada melihat kepada
wajah-Nya”. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/262, tahqiq: Saamiy bin Muhammad Salaamah;
Daaruth-Thayyibah, Cet. 2/1420)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam pernah mengajarkan doa yang masyru’ dibaca setelah tasyahud akhir
sebelum salam:
اللهم بعلمك الغيب وقدرتك
على الخلق أحيني ما علمت الحياة خيراً لي وتوفني ما علمت الوفاة خيراً لي ، اللهم
إني وأسألك خشيتك في الغيب والشهادة ، وأسألك كلمة الحق في الرضا والغضب ، وأسألك
القصد في الغنى والفقر ، وأسألك نعيماً لا ينفد ، وأسألك قرة عين لا تنقطع ،
وأسألك الرضا بعد القضاء ، وأسألك برد العيش بعد الموت ، وأسألك لذة النظر إلى
وجهك والشوق إلى لقائك من غير ضرَّاء مضرة ولا فتنة مضلة ، اللهم زينا بزينة
الإيمان ، واجعلنا هداة مهتدين
“Ya Allah, dengan ilmu-Mu atas yang
ghaib dan dengan ke-Mahakuasaan-Mu atas seluruh makhluk, perpanjanglah hidupku,
bila Engkau mengetahui bahwa kehidupan selanjutnya lebih baik bagiku. Dan
matikanlah aku dengan segera, bila Engkau mengetahui bahwa kematian lebih baik
bagiku. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu agar takut kepada-Mu dalam
keadaan sembunyi (sepi) atau ramai. Aku mohon kepada-Mu agar dapat berpegang
dengan kalimat hak di waktu rela atau marah. Aku mohon kepada-Mu agar aku bisa
melaksanakan kesederhanaan dalam keadaan kaya atau faqir, aku mohon kepada-Mu
agar diberikan nikmat yang tidak habis, dan aku mohon kepada-Mu agar diberikan
penyejuk mata yang tidak putus. Aku mohon kepada-Mu agar aku dapat rela setelah
qadla-Mu (turun pada kehidupanku) Aku mohon kepada-Mu kehidupan yang
menyenangkan setelah aku mati. Aku mohon kepada-Mu kenikmatan memandang
wajah-Mu (di surga), rindu bertemu dengan-Mu tanpa penderitaan yang
membahayakan dan fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah kami dengan
keimanan dan jadikanlah kami sebagai penunjuk jalan (lurus) yang memperoleh
bimbingan dari-Mu”. (Diriwayatkan oleh An-Nasa’iy 3/54 no. 1305, Ahmad 4/264,
Al-Haakim 1/524, Ibnu Abi Syaibah 10/265, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’
wash-Shifaat no. 120; shahih)
Tidak mungkin beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam mengajarkan kalimat: “Aku mohon kepada-Mu kenikmatan
memandang wajah-Mu (di surga)” jika hal itu tidak akan terwujud (mustahil
terjadi) kelak di akhirat.
(14) Lihat kembali catatan kaki no. 1.
(15) Ini adalah inti ‘aqidah Jahmiyyah
yang mengingkari seluruh sifat Allah ta’ala. Pada hakekatnya, mereka seperti
menyembah sesuatu yang tidak ada (karena tidak mempunyai sifat) Maha Suci Allah
dari yang mereka katakan.
Wallahu a’lam bishowaab, semoga
bermanfaat, baarokallahu fiikum.
Penulis: Abul Jauzaa’
(Alumnus IPB & UGM)
Editor: Ahmadi As-Sambasy
Cilacap – Jawa Tengah
Posting Komentar untuk "Ciri-Ciri Aqidah Jahmiyyah (Syekh Abdul Qadir Al Jiilaniy)"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.