Apakah Orang Mati Masih Bisa Mendengar ?
Masih banyak beredar di sebagian
masyarakat Indonesia yang berkeyakinan bahwa manusia yang telah meninggal dunia
masih dapat mendengar ucapan atau perkataan-perkataan manusia. Namun tidak
sedikit pula yang menentang keyakinan seperti itu. Lantas bagaimanakah agama
islam menjelaskan hal ini? Simak tulisan berikut sampai selesai !!!
Dalil Ke 1
QS. An-Naml ayat 80:
إِنّكَ لاَ تُسْمِعُ
الْمَوْتَىَ وَلاَ تُسْمِعُ الصّمّ الدّعَآءَ إِذَا وَلّوْاْ مُدْبِرِينَ
“Sesungguhnya kamu tidak dapat
menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan
orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling
membelakang”.
Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah
berkata:
وقال ابن التين:
لا معارضة بين حديث بن عمر والاية لأن الموتى لا يسمعون بلا شك لكن إذا أراد الله إسماع
ما ليس من شأنه السماع لم يمتنع كقوله تعالى انا عرضنا الأمانة الآية وقوله فقال لها
وللأرض ائتيا طوعا أو كرها الآية وسيأتي في المغازي قول قتادة أن الله احياهم حتى سمعوا
كلام نبيه توبيخا ونقمة انتهى وقد أخذ بن جرير وجماعة من الكرامية من هذه القصة أن
السؤال في القبر يقع على البدن فقط وأن الله يخلق فيه ادراكا بحيث يسمع ويعلم ويلذ
ويألم وذهب بن حزم وابن هبيرة إلى أن السؤال يقع على الروح فقط من غير عود إلى الجسد
وخالفهم الجمهور فقالوا تعاد الروح إلى الجسد أو بعضه كما ثبت في الحديث
“Berkata Ibnut-Tiin: Tidak ada
pertentangan antara hadits Ibnu ‘Umar (yaitu hadits Qalaib Badr) dengan ayat
tersebut (QS. An-Naml: 80), sebab orang-orang mati tidak mendengar tidaklah
diragukan lagi, akan tetapi apabila Allah ta’ala menghendaki sesuatu yang tidak
mampu mendengar menjadi mampu mendengar, maka tidak ada yang menghalanginya.
Hal ini sebagaimana firman-Nya:
إِنّا عَرَضْنَا
الأمَانَةَ عَلَى السّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan
amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk
memikul amanat itu” (QS. Al-Ahzaab: 72)
فَقَالَ لَهَا وَلِلأرْضِ
ائْتِيَا طَوْعاً أَوْ كَرْهاً
“Lalu Dia berkata kepadanya (langit)
dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka
hati atau terpaksa" (QS. Fushshilat: 72)
Al-Imam Bukhari menukil ucapan
Qatadah dalam kitab Al-Maghaazi: “Sesungguhnya Allah menghidupkan mereka
sehingga mereka mendengar dari ucapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
sebagai penghinaan dan adzab bagi mereka”. Selesai ucapan Ibnut-Tiin.
Ibnu Jarir Ath-Thabari dan sebagian
besar Karamiah mengambil pendapat dari kisah ini bahwasannya pertanyaan di
dalam kubur itu terjadi pada badan saja, dan Allah memberikan kemampuan kepada
mereka untuk mendengar dan mengetahui serta merasakan adanya nikmat dan adzab.
Sedangkan Ibnu Hazm dan Ibnu Hubairah berpendapat bahwa pertanyaan terjadi
hanya pada ruh saja. Akan tetapi jumhur ulama menyelisihi mereka dan
berpendapat lain, yaitu bahwa ruh dikembalikan ke badan atau sebagiannya
sebagaimana dijelaskan dalam hadits”.
Ibnu Hajar kemudian melanjutkan:
أن المصنف أشار إلى
طريق من طرق الجمع بين حديثي بن عمر وعائشة بحمل حديث بن عمر على أن مخاطبة أهل القليب
وقعت وقت المسألة وحنيئذ كانت الروح قد اعيدت إلى الجسد وقد تبين من الأحاديث الأخرى
أن الكافر المسئول يعذب وأما إنكار عائشة فمحمول على غير وقت المسألة فيتفق الخبران
“Bahwasannya mushannif (yaitu Al-Imam
Bukhari) menunjukkan satu cara di antara cara-cara menggabungkan dua hadits,
yaitu hadits Ibnu ‘Umar dan hadits ‘Aisyah (yaitu sabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam yang berbunyi: “Sesungguhnya mereka sekarang mengetahui
bahwasannya apa yang aku katakan kepada mereka adalah benar”; kemudian Aisyah
radliyallaahu ‘anhaa membaca ayat: “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan
orang-orang yang mati dapat mendengar” sampai selesai - Abu Al-Jauzaa’)
Kemungkinan makna dari hadits Ibnu ‘Umar adalah bahwasannya ucapan terhadap
orang-orang kafir yang telah mati dan berada di dalam sumur-sumur Badar terjadi
sewaktu Malaikat Munkar dan Nakir bertanya kepada ruh tersebut setelah
dikembalikan ke badan, dan disebutkan dalam hadits lain bahwasannya orag kafir
yang ditanya diadzab. Adapun pengingkaran ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa
mengandung kemungkinan di luar – bukan – waktu pertanyaan, maka dengan ini
selaraslah dua hadits tersebut” (Lihat Fathul-Baariy 3/235)
Lihatlah penjelasan di atas! Ibnu
Hajar telah menjelaskan bahwa keumuman dalil/nash telah menetapkan bahwa
mayat/orang mati itu tidak dapat mendengar. Akan tetapi hal itu dikecualikan
pada waktu-waktu tertentu seperti kisah sumur Badr – sebagaimana akan dibahas
kemudian.
Al-Imam Asy-Syaukani dalam Tafsirnya
Fathul-Qadiir tentang ayat (إِنّكَ لاَ
تُسْمِعُ الْمَوْتَىَ) “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang
mati mendengar” (QS. An-Naml ayat 80), ia berkata:
لأنه إذا علم أن
حالهم كحال الموتى في انتفاء الجدوى بالسماع أو كحال الصم الذين لا يسمعون ولا يفهمون
ولا يهتدون صار ذلك سبباً قوياً في عدم الاعتداء بهم، شبه الكفار بالموتى الذين لا
حس لهم ولا عقل، وبالصم الذين لا يسمعون المواعظ ولا يجيبون الدعاء إلى الله.
“Hal itu dikarenakan apabila ia
mengetahui, bahwasannya keadaan mereka (kaum kafir) seperti halnya orang mati
dalam hal ketidakmampuan mengambil faedah dengan pendengaran atau seperti orang
yang tuli yang tidak dapat mendengar, memahami, dan diberi petunjuk, yang itu
menjadi satu sebab kuat dalam ketiadaan pelanggaran dengannya. Allah telah
menyerupakan mereka (kaum kafir) dengan orang mati yang tidak mempunyai rasa
dan akal; dan (mereka juga diserupakan) dengan orang yang tuli yang tidak dapat
mendengarkan nasihat dan menjawab panggilan/seruan kepada Allah”.
Kemudian Asy-Syaukani melanjutkan:
وظاهر نفي إسماع
الموتى العموم، فلا يخص منه إلا ما ورد بدليل كما ثبت في الصحيح أنه صلى الله عليه
وسلم خاطب القتلى في قليب بدر........
“Dhahirnya, (ayat tersebut) meniadakan
pendengaran dari orang mati secara umum. Maka tidaklah dikhususkan darinya
kecuali apa-apa yang datang dari dalil sebagaimana telah tetap dalam Ash-Shahih
(Al-Bukhari/Muslim) bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
berkata kepada orang-orang kafir yang terbunuh di sumur-sumur Badr…….” (Lihat
Fathul-Qadir QS. An-Naml: 80)
Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya berkata
tentang ayat (إِنّكَ لاَ تُسْمِعُ
الْمَوْتَىَ)
“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar” (QS.
An-Naml ayat 80):
أي لا تسمعهم شيئاً
ينفعهم, فكذلك هؤلاء على قلوبهم غشاوة وفي آذانهم وقر الكفر, ولهذا قال تعالى: {ولا
تسمع الصم الدعاء إذا ولوا مدبرين * وما أنت بهادي العمي عن ضلالتهم * إن تسمع إلا
من يؤمن بآياتنا فهم مسلمون} أي إنما يستجيب لك من هو سميع بصير, السمع والبصر النافع
في القلب والبصيرة, الخاضعُ لله ولما جاء عنه على ألسنة الرسل عليهم السلام.
“Yaitu engkau tidak dapat
memperdengarkan sesuatu yang bermanfaat bagi mereka. Demikian juga kafirnya
orang yang di dalam hati mereka terdapat penutup dan telinga-telingan mereka
terdapat sumbat. Untuk itu Allah ta’ala telah berfirman: “dan (tidak pula) menjadikan
orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling
membelakang. Dan kamu sekali-kali tidak dapat memimpin (memalingkan)
orang-orang buta dari kesesatan mereka. Kamu tidak dapat menjadikan (seorang
pun) mendengar, kecuali orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami, lalu
mereka berserah diri”; yaitu yang dapat memperkenankanmu hanyalah Rabb Yang
Maha Mendengar lagi Maha Melihat dengan pendengaran dan penglihatan yang
membawa manfaat di dalam hati dan pandangan orang yang tunduk kepada-Nya serta
apa yang dibawa melalui lisan para Rasul ‘alaihimus-salaam.” (Tafsir Ibni
Katsir, 6/210)
Ibnu Katsir dalam penjelasan ayat di
atas secara eksplisit menyamakan keadaan kaum kafir dengan orang yang telah
mati (mayat) yang dinafikkan dari sifat mendengar. Hal itu semakin kuat dengan
penyebutan bahwa Allah Yang Maha Melihat dan Maha Mendengar yang kuasa
memberikan manfaat dari penjelasan dan seruan kepada makhluk-Nya. Di sini
seakan-akan Ibnu Katsir menegaskan bahwa sifat melihat dan mendengar yang
dinafikkan dari orang kafir secara majazi dan orang yang mati secara hakiki itu
akan kembali pada kesempurnaan sifat ke-Maha Melihat dan Maha Mendengar dari
Allah. Hanya Allah lah yang kuasa memberikan penglihatan dan pendengaran kepada
makhluk-Nya.
Dalil Ke 2
QS. Faathir ayat 13-14:
ذَلِكُمُ اللّهُ
رَبّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ وَالّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِن قِطْمِيرٍ*
إِن تَدْعُوهُمْ لاَ يَسْمَعُواْ دُعَآءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُواْ مَا اسْتَجَابُواْ لَكُمْ
وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِـكُمْ وَلاَ يُنَبّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ
“Yang (berbuat) demikian Allah
Tuhanmu, kepunyaan-Nya lah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah)
selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu
menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar,
mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan
mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan
kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui”.
Ayat di atas begitu gamblang dalam
meniadakan pendengaran dari tuhan-tuhan selain Allah yang diseru kaum
musyrikin. Tuhan-tuhan yang disembah selain Allah ini terdiri dari batu,
patung, atau pohon-pohon; juga termasuk orang-orang atau hamba-hamba Allah yang
telah mati. Hal ini ditunjukkan pada ayat (وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِـكُمْ) “Dan di hari kiamat mereka
akan mengingkari kemusyrikanmu”. Hamba-hamba yang dituhankan tadi akan
dibangkitkan di hari kiamat dan akan dihisab serta ditanya. (lihat pula QS.
Al-Furqaan: 17-18)
Contoh dari hamba-hamba yang
dipertuhankan setelah matinya adalah sebagaimana dikatakan Nabi Nuh
‘alaihis-salaam tentang lima berhala yang disembah kaumnya:
وَقَالُواْ لاَ تَذَرُنّ
آلِهَتَكُمْ وَلاَ تَذَرُنّ وَدّاً وَلاَ سُوَاعاً وَلاَ يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْراً
“Dan mereka berkata: "Jangan
sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula
sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa',
yaghuts, ya'uq dan nasr". (QS. Nuh: 13)
Hal yang sama adalah sebagaimana
difirmankan Allah tentang tiga berhala musyrikin Arab:
أَفَرَأَيْتُمُ اللاّتَ
وَالْعُزّىَ * وَمَنَاةَ الثّالِثَةَ الاُخْرَىَ
“Maka apakah patut kamu (hai
orang-orang musyrik) menganggap Al Lata dan Al Uzza, dan Manah yang ketiga,
yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?”. (QS. An-Najm: 19-20)
Dari sini kita tahu bahwasannya Allah
telah menegaskan bahwa berhala-berhala/tuhan-tuhan yang disembah selain Allah
dari kalangan orang shalih yang telah meninggal tersebut tersebut tidaklah
dapat mendengar apa yang mereka minta. Dan kalaupun bisa mendengar (dan
kenyataannya adalah tidak bisa mendengar), niscaya mereka tidak mampu
mengabulkan permintaan mereka. Inilah inti dari QS. Fathir ayat 13-14 dalam
kaitannya dengan bahasan kita.
Dalil Ke 3
Hadits Qalaaib Badr
عن ابن عمر رضي الله
عنهما قال: وقف النبي صلى الله عليه وسلم على قليب بدر، فقال: (هل وجدتم ما وعد ربكم
حقا. ثم قال: إنهم الآن يسمعون ما أقول) فذكر لعائشة، فقالت: إنما قال النبي صلى الله
عليه وسلم: (إنهم الآن ليعلمون أن الذي كنت أقول لهم هو الحق) ثم قرأت: {إنك لا تسمع
الوتى}. حتى قرأت الآية.
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma
ia berkata: “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas sumur-sumur
Badr, kemudian beliau bersabda: ‘Apakah kalian mendapati sesuatu yang telah
dijanjikan Rabb kalian adalah benar?’. Kemudian beliau bersabda lagi:
‘Sesungguhnya sekarang mereka mendengar (yasma’uun) apa yang aku katakan’.
Kemudian berita ini dikhabarkan kepada ‘Aisyah, maka ia berkata: “Sesungguhnya
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam hanyalah bersabda: Sesungguhnya mereka
sekarang mengetahui (ya’lamuun) apa yang dulu aku katakan kepada mereka adalah
benar’. Kemudian ‘Aisyah membaca ayat: “Sesungguhnya kamu tidak mampu
menjadikan orang-orang mati mampu mendengar” sampai akhir ayat. (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari no. 3980-3981)
عن أبي طلحة: أن
نبي الله صلى الله عليه وسلم أمر يوم بدر بأربعة وعشرين رجلا من صناديد قريش، فقذفوا
في طوى من أطواء بدر خبيث مخبث، وكان إذا ظهر على قوم أقام العرصة ثلاث ليال، فلما
كان ببدر اليوم الثالث أمر براحلته فشد عليها رحلها، ثم مشى واتبعه أصحابه وقالوا:
ما نرى ينطلق إلا لبعض حاجته، حتى قام على شفة الركي، فجعل يناديهم بأسماء آبائهم:
(يا فلان بن فلان، ويا فلان بن فلان، أيسركم أنكم أطعتم الله ورسوله، فانا قد وجدنا
ما وعدنا ربنا حقا، فهل وجدتم ما وعد ربكم حقا) قال عمر: يا رسول الله، ما تكلم من
أجساد لا أرواح لها؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (والذي نفس محمد بيده، ما
أنتم بأسمع لما أقول منهم(
قال قتادة: أحياهم
الله حتى أسمعهم قوله، توبيخا وتصغيرا ونقمة وحسرة وندما.
Dari Abu Thalhah: Bahwasannya Nabi
Allah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para shahabat pada perang
Badr untuk menguburkan dua puluh empat mayat tokoh-tokoh kaum Quraisy, kemudian
mereka pun dilemparkan ke dalam sumur di antara sumur-sumur Badr dalam keadaan
busuk dan bau. Kebiasaan beliau jika menampakkan diri pada suatu kaum maka
beliau bermalam di sebuah tanah lapang selama tiga malam. Dan ketika berada di
Badr di hari ketiga beliau meminta untuk disiapkan kendaraannya, lalu beliau
memacunya kemudian beliau berjalan dan diikuti oleh para shahabatnya dan mereka
berkata: ‘Tidaklah kami berpendapat beliau keluar melainkan untuk sebagian
keperluannya”; sampai beliau berdiri di sisi sebuah sumur, kemudian mulailah
beliau memanggil nama-nama mereka dan nama-nama orang tua mereka: ‘Wahai Fulan
bin Fulan, wahai Fulan bin Fulan! Apakah kamu suka seandainya kamu taat kepada
Allah dan Rasul-Nya? Sesungguhnya kami telah mendapati apa yang telah
dijanjikan Rabb kami adalah benar, maka apakah kalian mendapati apa yang
dijanjikan Rabb kalian adalah benar?’. Perawi berkata: Maka ‘Umar radliyallaahu
‘anhu berkata: “Wahai Rasulullah, mengapa engkau berbicara pada bangkai yang
sudah tidak memiliki ruh?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
‘Demi (Allah) yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah kamu lebih
mendengar dari mereka atas apa yang aku katakan’.
Berkata Qatadah: “Allah menghidupkan
mereka sehingga mereka mendengar perkataan beliau sebagai satu penghinaan,
peremehan, adzab, dan penyesalan”. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3976,
Muslim no. 2875, Ahmad 4/29, dan Abu Ya’la no. 1431)
Sisi pendalilan:
Hadits Pertama; terdapat kalimat
pengkhususan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hal waktu, yaitu
perkataan “sekarang” (الآن),
yaitu mayat orang-orang kafir mendengar saat beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam berbicara. Konsekuensinya, maka mereka tidak mendengar selain dari waktu
yang disebutkan. Ini termasuk mukjizat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan
sebagaimana diketahui bahwa mukjizat itu tidaklah berlangsung terus-menerus.
Al-Imam Al-Qurthubi berkata dalam
Tafsir-nya dengan menukil penjelasan Ibnu ‘Athiyyah:
أن قصة بدر خرق عادة
لمحمد صلى الله عليه وسلم في أن رد الله إليهم إدراكا سمعوا به مقاله ولولا إخبار رسول
الله صلى الله عليه وسلم بسماعهم لحملنا نداءه إياهم على معنى التوبيخ لمن بقي من الكفرة،
وعلى معنى شفاء صدور المؤمنين.
“Bahwasannya kisah Badr merupakan
kejadian luar biasa (mukjizat) yang dimiliki oleh Nabi Muhammad
shallallaahu’alaihi wa sallam dimana Allah mengembalikan pendengaran kepada
kaum kafir yang mereka dapat mendengar darinya perkataan-perkataan Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam. Seandainya Rasululah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam tidak mengkhabarkan bahwa mereka mendengar, maka kita akan memahami
bahwa seruan beliau tersebut sebagai penghinaan bagi orang-orang yang tetap
berada dalam kekafiran dan mengandung makna pengobatan bagi orang-orang mukmin”.
(Tafsir Al-Qurthubi, 16/205)
Pernyataan sejenis juga dikemukakan
oleh Al-Alusi dalam Ruuhul-Ma’ani.
Hadits Kedua; Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam tidak mengingkari keyakinan ‘Umar dan para shahabat lain bahwa
orang yang telah mati tidak bisa mendengar. Sebagian shahabat menunjukkan
secara isyarat, sebagian yang lain secara terang-terangan. Isyarat tersebut
nampak pada pertanyaan mereka: (ما تكلم من
أجساد لا أرواح لها) “Mengapa engkau berbicara pada jasad yang sudah tidak
memiliki ruh/nyawa?”. Tentu pertanyaan ini didasari oleh pengetahuan mereka
sebelumnya bahwa orang mati tidak bisa mendengar. Pengetahuan ini tentu
didapatkan dari keterangan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ketidakadaan
pengingkaran beliau tersebut tercermin dari jawaban: (ما أنتم بأسمع لما أقول منهم) “Tidaklah kalian lebih mendengar
tentang apa yang aku katakan dari mereka”. Ini merupakan penjelasan kata
“sekarang” (الآن) sebagaimana yang terdapat pada
hadits pertama. Kesimpulannya, sifat mendengar ini hanyalah terjadi pada waktu
itu saja.
Al-Imam Ahmad meriwayatkan dalam
Musnad-nya:
عن أنس: ... فسمع
عمر صوته فقال يا رسول الله أتناديهم بعد ثلاث وهل يسمعون يقول الله عز وجل { إنك لا
تسمع الموتى } فقال والذي نفسي بيده ما أنتم بأسمع منهم ولكنهم لا يستطيعون أن يجيبوا
فسمع عمر صوته فقال
يا رسول الله أتناديهم بعد ثلاث وهل يسمعون يقول الله عز وجل { إنك لا تسمع الموتى
} فقال والذي نفسي بيده ما أنتم بأسمع منهم ولكنهم لا يستطيعون أن يجيبوا
Dari Anas: ….‘Umar mendengar suara
beliau, kemudian berkata: “Wahai Rasulullah, apakah engkau menyeru mereka
setelah (mati) tiga hari? Apakah mereka mendengar? Bukankah Allah telah
berfirman: “Sesungguhnya engkau tidak dapat menjadikan orang mati mampu
mendengar?”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Demi (Allah)
yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah kalian lebih mendengar daripada
mereka terhadap apa yang aku katakan. Akan tetapi mereka tidak mampu untuk
menjawab”. (HR. Ahmad 3/287 no. 14096; shahih)
Apa yang diketahui ‘Umar sebagaimana
dijelaskan sebelumnya adalah berasal dari pemahaman ayat Al-Qur’an QS. An-Naml:
80. Dan itu hal yang terjadi pada ‘Aisyah ketika ia diberi khabar tentang
peristiwa Badr (hadits pertama) yang kemudian ia ingkari khabar tersebut karena
pengetahuannya akan QS. An-Naml: 80. ‘Aisyah bahkan menyanggah dengan perkataan:
إنما قال النبي صلى
الله عليه وسلم إنهم الآن ليعلمون أن الذي كنت أقول لهم هو الحق
“Sesungguhnya Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam hanyalah bersabda: Sesungguhnya mereka sekarang mengetahui apa
yang dulu aku katakan kepada mereka adalah benar”.
Padahal pemberi khabar menggunakan
lafadh (يسمعون) “mendengar”. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan ‘Aisyah,
‘Umar, dan para shahabat lain adalah orang yang telah mati tidak bisa
mendengar. Dalam kasus ini, ‘Aisyah telah keliru. Jikalau ia menerima khabar
yang sebenarnya (atau bahkan menyaksikan sebagaimana para shahabat ahlul-badr),
niscaya pendapatnya adalah sama dengan para shahabat lain yang menetapkan
peristiwa mendengarnya mayat-mayat kaum kafir di sumur Badr. Wallaahu a’lam.
Dalil Ke 4
Hadits shalawat
عن أوس بن أوس قال
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن من أفضل أيامكم يوم الجمعة فيه خلق آدم وفيه
قبض وفيه النفخة وفيه الصعقة فأكثروا علي من الصلاة فيه فإن صلاتكم معروضة علي قال
قالوا يا رسول الله وكيف تعرض صلاتنا عليك وقد أرمت يقولون بليت فقال إن الله عز وجل
حرم على الأرض أجساد الأنبياء
Dari Aus bin Aus ia berkata: Telah
bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya hari kamu
yang paling utama adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan, dimatikan,
dan hari ditiupkan ruh, serta hari terjadinya kiamat. Maka perbanyaklah
shalawat kepadaku pada hari itu, karena shalawatmu disampaikan kepadaku”.
Mereka (para shahabat) bertanya: “Wahai Rasululah, bagaiman shalawat kami
disampaikan kepadamu padahal engkau telah wafat?”. Beliau pun menjawab:
“Sesungguhnya Allah mengharamkan bumi (untuk merusak) jasad para Nabi”. (Diriwayatkan
oleh Abu Dawud no. 1047, Ibnu Majah no. 1636, Ibnu Khuzaimah no. 1733, dan yang
lainnya; shahih)
عن عبد الله قال
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن لله ملائكة سياحين في الأرض يبلغوني عن أمتي السلام
Dari ‘Abdullah ia berkata: Telah
bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Allah
mempunyai malaikat-malaikat yang bertugas menjelajah di muka bumi untuk
menyampaikan salam yang diucapkan oleh umatku”. (Diriwayatkan oleh Ahmad 1/441,
An-Nasa’i 3/43, Abu Ya’la no. 5213, dan yang lainnya; shahih)
Sisi pendalilan:
Jika mayit bisa mendengar, tentu
mayit Rasululah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lebih dimungkinkan untuk
mendengar. Mayit beliau lebih mulia dari siapapun, termasuk mayit para nabi dan
rasul yang lain. Seandainya mayit beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bisa
mendengar, tentu beliau mendengar salam yang diucapkan umatnya (saat berziarah)
Pada hadits pertama menggunakan lafadh “disampaikan” (ma’ruudlatun) yang
maknanya bahwa beliau tidaklah mendengar secara langsung shalawat yang
diucapkan umatnya untuk beliau. Namun shalawat tersebut sampai melalui
perantaraan malaikat sebagaimana disebutkan secara jelas dalam hadits kedua.
Peringatan:
Ada hadits yang digunakan untuk
menyatakan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendengar dari dalam
kuburnya:
من صلى علي عند قبري
سمعته ، ومن صلى علي نائيا وكل بها ملك يبلغني......
“Barangsiapa yang bershalawat
kepadaku dari sisi kuburku maka aku mendengarnya dan barangsiapa bershalawat
dari jauh maka semuanya itu akan disampaikan malaikat kepadaku”.
Ini adalah hadits palsu
sebagaimana diterangkan oleh Syaikhul-Islam dalam Majmu’ Al-Fataawaa 27/241 dan
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adl-Dla’iifah 1/366-369 no. 203.
Beberapa dalil di atas menunjukkan
keumuman orang mati tidak dapat mendengar. Ia hanya bisa mendengar pada
saat-saat khusus saja (takhshiish) seperti hadits sumur Badr, dan juga hadits
sandal sebagai berikut:
عن أنس رضي الله
عنه، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (العبد إذا وضع في قبره وتولي وذهب أصحابه،
حتى إنه ليسمع قرع نعالهم، أتاه ملكان....)
Dari Anas radliyallaahu ‘anhu, dari
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya beliau bersabda: “Seorang hamba
(yang mati) baru saja diletakkan dikuburnya dan ditinggalkan oleh keluarganya,
hingga ia ia mendengar langkah kaki sandal mereka (yang sedang beranjak
pulang), yang kemudian dua orang malaikat mendatanginya…”. (Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari no. 1338, Muslim no. 2870, Abu Dawud no. 3231, dan yang lainnya)
Kesemuanya itu (berikut hadits-hadits
yang semisal) merupakan bentuk takhshiish ‘alal-‘aam – sebagaimana ma’ruf
diketahui dalam ilmu ushul. Sekaligus satu bentuk pemahaman yang komprehensif
terhadap beberapa nash yang kelihatannya saling bertentangan. Inilah pendapat
jumhur ulama. Wallaaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
(Di tulis pada 5 Sya’ban 1430)
Penulis: Abul Jauza’
(Alumnus IPB & UGM)
Editor: Ahmadi As-Sambasy
Cilacap – Jawa Tengah
Posting Komentar untuk "Apakah Orang Mati Masih Bisa Mendengar ?"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.