Sejarah Kelam Pembungkaman Gerakan Islam di Indonesia - Tiar Anwar Bachtiar
Pada Tahun 2017 Di tengah putusan terdakwa penista agama Basuki Tjahaja
Purnama, Menkopolhukam Wiranto
mengumumkan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI adalah ormas yang
sering mengkapanyekan penegakan khilafah.
Konpers Wiranto memang tidak
menyatakan pembubaran, melainkan hanya himbauan. Akan tetapi, karena yang
membacakannya wakil pemerintah, tentu ada indikasi bahwa pemerintah akan
melakukannya.
Semula banyak pengamat menilai bahwa
Konpers Wiranto bukan sungguh-sungguh ingin membubarkan HTI, melainkan hanya
mengalihkan isu putusan terhadap Ahok . Jika menelusuri isu HTI dan FPI yang
memang pembubarannya sudah menjadi wacana sejak lama, apa yang disampaikan
Wiranto bisa jadi sungguh-sungguh.
Pembubaran HTI hanya mengulang kisah
kelam pembubaran organisasi Islam pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Pada masa Orde Lama, pembubaran organisasi
Islam secara represif dialami oleh Masyumi pada tahun 1960.
Alasan yang menyebabkan Sukarno
memaksa Masyumi bubar karena para pemimpin Masyumi dianggap hendak melakukan
“makar” dengan ikut dalam gerakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia). Soal PRRI sendiri apakah sebuah gerakan makar atau bukan sudah
banyak dibincangkan oleh para sejawaran. R.Z. Leirizza dalam bukunya
PRRI-Permesta Strategi Membangun Indonesia tanpa Komunis (Jakarta: Grafiti,
1997) menyimpulkan bahwa PRRI belum layak dikategorikan makar dalam sistem
pemerintahan parlementer seperti saat itu. Ini hanya semacam gerakan protes
atas keterlibatan PKI dalam pemerintahan yang dinilai akan menghancurkan NKRI.
Kalaupun seandainya benar bahwa PRRI
adalah gerakan makar, maka tindakan membubarkan Masyumi secara paksa adalah
suatu kekeliruan yang parah. Pasalnya, secara organisasi Masyumi tidak pernah
resmi mendukung gerakan ini.
Pemerintah kala itu juga tidak
menemukan bukti otentik atas keterlibatan Masyumi secara organisasi dalam
gerakan ini. Lagi pula para pemimpin Masyumi yang terlibat antara lain:
Syafrudin Prawiranegara, Burhanudin Harahap, dan M. Nastir pada saat itu sudah
bukan lagi pimpinan di Masyumi.
Apa yang dilakukan Sukarno saat itu
benar-benar sudah gelap mata. Alasan makar melalui PRRI hanyalah akal-akan
semata. Sebetulnya sudah sejak lama Sukarno tidak senang dengan Masyumi yang
selalu menjadi penghalang serius kekuasaannya. Mungkin ada benarnya simpulan
Syafi’i Ma’arif dalam disertasinya yang kemudian dibukukan berjudul Islam dan
Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1985; hal. 191) mengenai masalah ini:
“Tapi bagi Soekarno, soal ini
sebetulnya tidak begitu penting sebab yang penting bagi Pemimpin Besar Revolusi
ini ialah bahwa ‘si kepala batu’ Masyumi harus dienyahkan guna melicinkan jalan
bagi realisasi sistem politik demokrasi terpimpinnya.”
Kasus pembubaran Masyumi ini menjadi
preseden buruk pertama sikap represif penguasa di sebuah negara yang sudah
menyepakai demokrasi sebagai sistem bernegaranya. Ini pula yang akhirnya
menjadi sebab jatuhnya Sukarno secara tidak terhormat.
Masyumi sudah lama mengingatkan bahwa
PKI tidak akan pernah punya itikad baik untuk bersama-sama membangun Indonesia
secara demokratis. Ideologi totalitarianisme hanya mengizinkan PKI untuk
menjadi penguasa tunggal di negeri ini. Bila berkuasa penuh maka hanya PKI
satu-satunya partai dan organisasi yang boleh hidup seperti yang suda terjadi
di China, Rusia (USSR), Yugoslavia, Kamboja, dan sebagainya. Namun, karena
tidak menggubris peringatan dari para petinggi Masyumi, akhirnya kejatuhan
Sukarno tahun 1965 benar-benar terjadi di tangan PKI yang selama ini dilindungi
dan dijadikan salah satu alat politik Sukarno.
Saat kekuasan berganti ke tangan
Soeharto, banyak orang berharap bahwa ia akan bertindak lebih adil dan
demokratis. Namun, saat proposal pendirian kembali Masyumi ditolak Soeharto,
umat Islam saat itu sudah bisa menyimpulkan bahwa tindakan represif dan tangan
besi hanya berpindah saja dari Sukarno kepada Soeharto.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan
apabila korban lebih banyak lagi yang jatuh pada masa Orde Baru, karena lebih
lama berkuasa. Dari kalangan umat Islam pun jumlahnya tidak sedikit. Siapa saja
yang merintangi jalan dan kepentingan Soeharto, maka ia akan segera melibasnya.
Ada dua senjata ampuh yang dijadikan alat untuk menggebuk laman-lawannya, yaitu
UU Subversif dan UU Politik (UU Asas Tunggal).
Bila pada masa Orde Lama yang menjadi
aktor utama di belakang Sukarno adalah PKI, maka pada masa Orde Baru adalah
tentara. Dominasi tentara lewat Dwi Fungsi ABRI yang secara politik diwadahi
Golkar menjadi penopang utama sikap represif Sukarno terhadap siapa saja yang
dianggap lawan politiknya, termasuk umat Islam.
Melalui tangan ABRI Soeharto
membubarkan pengajian di Tanjung Priuk hingga terjadi peristiwa pilu
Pembantaian Tanjung Priuk yang sulit dilupakan umat Islam pada tahun 1984. Saat
itu ABRI dipimpin seorang Katholik radikal LB Moerdani. Peristiwa ini terjadi
setelah satu tahun sebelumnya (1983), Soeharto memutuskan bahwa semua
organisasi harus menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas ideologi.
Dengan peraturan ini Soeharto secara telanjang membenturkan Pancasila dengan
berbagai ideologi lain, bahkan dengan agama. Soeharto bahkan sejak tahun 1974
membuat tafsir sendiri atas Pancasila yang dikenal sebagai P4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Hampir-hampir saja semua organisasi
Islam yang dalam AD/ART-nya tidak mencantumkan Pancasila harus bubar. Walaupun
penuh korban dan gejolak internal, dengan terpaksa organisasi seperti
Muhammadiyah, NU, dan Persis mengubah AD/ART masing-masing. Hampir semua
berdalil dengan “kemadharatan” ketika harus menerima “Asas Tunggal” demi keberlangsungan
dakwah.
Namun, organisasi yang menolak
menerima Asas Tunggal ini segera dilarang dan dibubarkan, padahal belum tentu
secara asensial anti-Pancasila. Inilah yang dialami Pelajar Islam Indonesia
(PII) dan Gerakan Pemuda Islam (GPI).
Kedua organisasi ini dilarang tampil
di hadapan publik. Baik PII dan GPI secara formal tidak pernah membubarkan
diri, namun semua aktivitas mereka dilakukan di bawah tanah hingga menghambat
perkembangan kedua organisasi ini.
Bila ketahuan mereka melakukan
aktivitas organisasi di depan publik, maka atas alasan makar mereka akan
ditangkap dan dipenjarakan. Pada tahun-tahun 1980-an itulah puluhan aktivis PII
dan GPI banyak yang harus keluar masuk penjara atas tuduhan ini.
Nasib Soeharto akhirnya sama seperti
Sukarno, ia justru dijatuhkan dan diancam oleh pihak yang selama ini dianggap
menjadi penopang utamanya, yaitu jendral-jendral Katholik, Kristen, dan Kejawen
seperti Sudomo, Ali Murtopo, dan murid-mentor mereka LB Moerdani. Santer
terdengar pada akhir tahun 1980-an Moerdani sudah membuat skenario untuk
menggulingkan Soeharto.
Usaha ini gagal, karena Soeharto
segera mengantisipasinya dengan menyingkirkan semua orang yang sebelumnya ia
percayai itu. Ia beralih mencari dukungan dari umat Islam yang diwakili oleh
Habibie. Namun, musuh-musuh politik Soeharto yang tadinya adalah orang-orang
kepercayaannya tidak pernah berhenti bermanuver hingga akhirnya tahun 1998, ia
harus menanggalkan kekuasaannya.
Bila bercermin pada apa yang terjadi
pada dua penguasa besar Indonesia di masa lalu itu, kita patut memberikan ini
cermin ini kepada siapapun yang berkuasa.
Bila cara-cara represif untuk menekan umat Islam terus dilakukan, bahkan
sampai berani membubarkan organisasi Islam tanpa peradilan, maka berarti ia
sedang menggali kuburnya sendiri.
Penguasa-penguasa yang melakukan
tindakan represif terhadap rakyatnya sebetulnya hanya menunjukkan kelemahannya
dalam mengelola negara dan menegakkan keadilan. Berlaku sewenang-wenang tidak
pernah memperkuat kekuasaan, tapi justru malah melemahkan. Wallahu A’lam Bishowaab.
Dosen sejarah di Unpad dan STAI
Persatuan Islam Garut, Peneliti INSISTS Jakarta.
Oleh:
Tiar Anwar Bachtiar
Rep: Admin Hidcom
Editor: Insan Kamil
Posting Komentar untuk "Sejarah Kelam Pembungkaman Gerakan Islam di Indonesia - Tiar Anwar Bachtiar"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.