Hukum Childfree dalam Pandangan Islam
Saudaraku sahabat kabeldakwah.com
yang semoga dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala.
Baru-baru ini kita temui di media
sosial, banyak yang membicarakan tentang Childfree. Hal ini mulai viral saat
salah satu pasangan selebgram atau youtuber yang mengumumkan bahwa ia dan
pasangannya memilih untuk Childfree. Lantas bagaimanakah hukum childfree dalam
pandangan Islam?
Simak penjelasannya berikut ini:
Apa yang dimaksud dengan Childfree?
Childfree adalah sebuah keputusan
atau pilihan hidup untuk tidak memiliki anak, baik itu anak kandung, anak tiri,
ataupun anak angkat. Penggunaan istilah Childfree untuk menyebut orang-orang
yang memilih untuk tidak memiliki anak ini mulai muncul di akhir abad 20. (wilkipedia)
St. Augustine atau juga dikenal
sebagai Santo Agustinus, atau Saint Augustine dan Saint Austin dalam bahasa
Inggris, Beato Agustinus, dan Doktor Rahmat, ia adalah seorang filsuf dan
teolog Kristen awal yang tulisannya mempengaruhi perkembangan Kekristenan Barat
dan filsafat Barat. Ia adalah uskup Hippo Regius, yang terletak di Numidia. Ia
dipandang sebagai salah seorang Bapa Gereja terpenting dalam Kekristenan Barat
karena tulisan-tulisannya pada Era Patristik. Sebagai pengikut kepercayaan
Maniisme, yaitu salah satu aliran keagamaan yang bercirikan Gnostik. Maniisme
dikenal juga dengan sebutan Manikheisme. Pendiri dari aliran ini adalah Mani.
Ia (St. Augustine) meyakini bahwa
membuat anak adalah suatu sikap tidak bermoral, dan dengan demikian (sesuai
sistem kepercayaannya) menjebak jiwa-jiwa dalam tubuh yang tidak kekal. Untuk
mencegahnya, mereka mempraktikkan penggunaan kontrasepsi dengan sistem kalender.
(Wilkipedia, Saint, Bishop of Hippo Augustine (1887). "Chapter 18.—Of the
Symbol of the Breast, and of the Shameful Mysteries of the Manichæans".
Dalam Philip Schaff. A Select Library of the Nicene and Post-Nicene Fathers of
the Christian Church, Volume IV. Grand Rapids, MI: WM. B. Eerdmans Publishing
Co)
Para pendukung gaya hidup childfree (e.g. Corinne Maier, Penulis asal Paris dalam bukunya "No Kids: 40 Reasons For Not Having Children") mengutip beragam alasan dalam pandangan mereka:
1. Sudah banyak
tanggung jawab sosial dan keluarga, seperti menjadi perawat atau pengasuh utama
dari orang tua, saudara atau pasangan yang disabel.
2. Masalah
finansial dan orientasi karier.
3. Kurangnya akses
untuk mendukung jaringan dan sumber daya serta mereka meyakini bahwa tidak
memiliki anak merupakan kesejahteraan pribadi.
4. Adanya masalah
kesehatan, termasuk kelainan genetik (The Daily Mail: Mail Online, The curse
wiping out all my family: Killer disease hits last of widow's five children,
Andrew Levy, quote: "Most of her children decided against having families
of their own to avoid passing on the disease).
5. Ketakutan bahwa
aktivitas seksual akan berkurang dan khawatir adanya kerusakan atau masalah
dalam suatu hubungan.
6. Beragam
ketakutan (misalnya, pengalaman disekap atau kekecewaan) sama seperti ketakutan
bagi seorang anak.
7. Ketakutan akan
perubahan fisik akibat kehamilan, childbirth experience, (Hofberg; Brockington
(2000). "Tokophobia: an unreasoning dread of childbirth". British Journal
of Psychiatry. 176: 83–85) dan masa pemulihan (misalnya berkurangnya daya tarik
fisik)
8. Keyakinan bahwa
seseorang bisa memberikan kontribusi besar pada kemanusiaan lewat usahanya,
bukan lewat cara membuat anak.
9. Kesadaran akan
ketidakmampuannya untuk menjadi orang tua yang sabar dan bertanggungjawab.
10. Pandangan bahwa
keinginan untuk membuat anak adalah suatu bentuk narcissism.
11. Keyakinan bahwa
adalah suatu tindakkan yang kurang tepat untuk membawa seorang anak yang tidak
diinginkan ke dunia ini.
12. Keyakinan bahwa
adalah suatu tindakan yang kurang tepat untuk sengaja membuat anak sementara di
luar ada banyak anak yang butuh diadopsi.
13. Kepedulian akan
dampak negatif pada lingkunan yang bisa mengancam seperti overpopulation,
pollution, dan kelangkaan sumber daya alam.
14. Antinatalism,
keyakinan bahwa membuat manusia-manusia baru ke dalam dunia adalah suatu sikap
immoral yang dilakukan turun termurun.
15. Keyakinan akan
kondisi bumi yang terus memburuk ke arah negatif sehingga menolak untuk membawa
seorang anak ke dalam situasi yang kian memburuk tersebut (global warming
effects,perang, kelaparan) segala peristiwa buruk tersebut dapat membawa anak
hidup dalam penderitaan hingga kematian.
16. Keyakianan bahwa
manusia cenderung memiliki anak karena alasan yang salah. (misalnya, ketakutan,
tekanan sosial dari norma atau aturan budaya)
17. Mengikuti ajaran
agama yang menolak memiliki anak (Kent, S.A. "Scientology -- Is this a
Religion?". Marburg Journal of Religion. 4 (1): 1999).
18. Tidak suka pada
anak-anak dan tidak tertarik memiliki anak.
19. Ketidakyakinan
akan stabilitas hubungan orang tua dan Keyakinan bahwa mereka terlalu tua untuk
punya anak
Berdasarkan penelitian, di sebutkan bahwa tingkat
pendidikan seorang wanita adalah faktor paling penting dalam menentukan apakah
dia memutuskan mau punya anak: makintinggi tinggi tingkat pendidikan, makin
sedikit keinginan untuk memiliki anak atau jika dia mau, makin sedikit jumlah
anak yang ingin dimiliki.
Secara keseluruhan, para peneliti
telah mengobservasi bahwa para pasangan yang childfree lebih berpendidikan, dan
mungkin karena hal ini, mereka cenderung ingin dipekerjakan dalam bidang
manajemen dan profesional, pada kedua belah pihak atau pasangan untuk
mendapatkan penghasilan yang tinggi dan untuk tinggal di are urban. Mereka juga
cenderung kurang religius, dan tidak mengikuti aturan peran gender umum yang
konvensional. (Park, Kristin (August 2005). "Choosing Childlessness:
Weber's Typology of Action and Motives of the Voluntarily Childless".
Sociological Inquiry. Doi. 75 (3): 372–402)
Hukum Childfree dalam Pandangan
Syariat Islam
Allah subhanahu wa ta’ala telah
menurunkan syariat agama islam ini dengan sangat sempurna, Sebagaimana dalam
firman-Nya:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ
عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah
Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai islam sebagai agamamu.”
(QS. Al Maidah: 3)
Dari ayat diatas kita tidak perlu
mencari agama lain. Cukuplah agama islam sebagai agama dalam hidup kita. Karena
sesungguhnya seluruh lini kehidupan manusia telah di atur dalam agam islam yang
sempurna ini, termasuk dalam hal menikah, berhubungan intim, keluarga, dan
keturunan.
Bukankah tentang hubungan intim di
malam bulan ramadhan, Allah subhanahu wa ta’ala telah menyebutkan:
فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ
لَكُمْ
“Maka sekarang campurilah mereka dan
ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.” (QS. Al Baqarah: 187)
Mengenai tafsiran ‘مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ’, apa yang ditetapkan Allah
untukmu, para ulama menafsirkannya dengan ‘ANAK’. Maka secara tidak langsung
ayat diatas dapat diartikan bahwa tujuan dari hubungan intim termasuk di malam
hari bulan Ramadhan adalah untuk meraih atau mendapatkan keturunan.
Yang berpendapat seperti ini adalah
Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Anas, Syuraih, Al-Qadhi, Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id
bin Jubair, ‘Atha’, Ar-Rabi’ bin Anas, As Sudiy, Zaid bin Aslam, Al-Hakam bin
‘Utbah, Maqatil bin Hayyan, Al-Hasan Al-Bashri, Adh-Dhahak, Qatadah, dan
selainnya. Mereka menafsirkan ayat tersebut dengan meraih anak (keturunan).
Disebutkan dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 2: 70.
Bahkan Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wa sallam membenci orang yang tidak mau menikah. Sebagaimana disebutkan dalam
hadist:
أَنَّ نَفَراً مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ - صلى الله عليه
وسلم - سَأَلُوا أَزْوَاجَ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - عَنْ عَمَلِهِ فِي
السِّرِّ ؟ فَقَالَ بَعْضُهُمْ : لا أَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ . وَقَالَ بَعْضُهُمْ
: لا آكُلُ اللَّحْمَ . وَقَالَ بَعْضُهُمْ : لا أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ . فَبَلَغَ
ذَلِكَ النَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ
وَقَالَ : مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا ؟ لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ
وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ , وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي
فَلَيْسَ مِنِّي
“Beberapa sahabat Nabi shollallahu
'alaihi wa sallam bertanya kepada istri-istri Nabi tentang amal beliau yang
tidak mereka ketahui. Sebagian dari mereka mengatakan, "Aku tidak akan
menikahi wanita." sebagian yang lain mengatakan, "Aku tidak akan
makan daging." Sebagian yang lain mengatakan, "Aku tidak akan tidur
di kasur." Maka, setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya, beliau berkata,
"Mengapa mereka mengatakan demikian dan demikian. Padahal aku sholat,
berpuasa, berbuka (tidak berpuasa), dan menikahi wanita. Barangsiapa membenci
sunnahku, maka ia bukan golonganku”." (HR. Bukhori 5/1949 dan Muslim
2/1020)
Maka apabila Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wa sallam membenci orang yang tidak mau menikah, lantas bagaimana dengan seseorang
yang tidak mau memiliki keturunan. Padahal inti dari menikah adalah supaya
mendapatkan keturunan.
Perlu kita ketahui bahwa Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa sallam sangat bangga dengan banyaknya jumlah ummatnya.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
عَنْ
مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-
فَقَالَ إِنِّى أَصَبْتُ امْرَأَةً ذَاتَ حَسَبٍ وَجَمَالٍ وَإِنَّهَا لاَ تَلِدُ
أَفَأَتَزَوَّجُهَا قَالَ « لاَ ». ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَةَ فَنَهَاهُ ثُمَّ
أَتَاهُ الثَّالِثَةَ فَقَالَ تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّى
مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ
Dari Ma’qil bin Yasaar, ia berkata,
“Ada seseorang yang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata,
“Aku menyukai wanita yang terhormat dan cantik, namun sayangnya wanita itu
mandul (tidak memiliki keturunan). Apakah boleh aku menikah dengannya?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
menjawab, “Tidak.”
Kemudian ia mendatangi Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kedua kalinya, namun masih tetap dilarang.
Sampai ia mendatangi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ketiga kalinya, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Nikahilah wanita yang penyayang yang subur punya banyak keturunan
karena aku bangga dengan banyaknya umatku pada hari kiamat kelak.” (HR. Abu
Daud no. 2050 dan An Nasai no. 3229. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa
hadits tersebut hasan)
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa
sallam juga mencela ‘Azl !
Apa itu yang dimaksud dengan ‘Azl?
Secara bahasa, ‘azl berarti menjauh
atau menyingkir. Seperti ketika seseorang berkata:
عزل عن المرأة واعتزلها : لم يرد ولدها .
“’Azl dari wanita, maksudnya adalah
menghindarkan diri dari adanya anak (hamil).”
Al-Jauhari berkata:
عزل الرّجل الماء عن جاريته إذا جامعها لئلاّ تحمل
“Seseorang melakukan ‘azl –dengan
mengalihkan sperma di luar vagina- ketika berjima’ dengan hamba sahayanya agar
tidak hamil.”
Adapun makna ‘Azl secara istilah, hal
ini tidak jauh dari makna secara bahasa. (Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah,
30:72)
Adapun gambaran dari ‘azl terhadap
pasangan adalah ketika seseorang akan mendekati keluarnya mani (ejakulasi), maka
kemudian kemaluan sengaja ditarik keluar vagina sehingga sperma tumpah di luar.
Hal ini bisa jadi dilakukan karena ingin mencegah kehamilan, atau pertimbangan
lain seperti memperhatikan kesehatan
istri, janin atau anak yang sedang menyusui. (Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah,
30:81)
Para sahabat pernah bertanya kepada
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang ‘azl. Beliau bersabda:
ذَلِكَ الْوَأْدُ الْخَفِىُّ
“Itu adalah pembunuhan tersembunyi.”
(HR. Muslim no. 1442)
Ibnul-Qayyim Rahimahullah berkata,
“Adapun penamaan ‘azl dengan pembunuhan tersembunyi/ terselubung karena seorang
laki-laki yang melakukan ‘azl terhadap istrinya hanyalah berkeinginan agar
terhindar dari kelahiran anak. Maka tujuan, niat, keinginannya itu seperti
orang yang tidak menginginkan anak dengan cara menguburnya hidup-hidup. Akan
tetapi perbedaannya, orang yang mengubur anak hidup-hidup tadi dilakukan dengan
perbuatan dan niat sekaligus; sedangkan pembunuhan tersembunyi/ terselubung ini
(yaitu ‘azl) hanyalah sekedar berkeinginan dan berniat saja. Dan niat inilah
yang tersembunyi/ terselubung.” (Hasyiyah
Ibni Al-Qayyim, 6:151)
Saudaraku yang semoga di muliakan
Allah subhanahu wa ta’ala. Setelah kita mengetahui penjelasan diatas, Maka kesimpulan
dari penulis adalah bahwa slogan Childfree telah menyelisihi apa yang telah
diperintahkan, baik itu perintah dari Al Qur’an maupun Hadist Nabi shollallahu ‘alaihi
wa sallam. Sungguh tidak selayaknya kaum muslimin melanggar atau
menyelisihi apa yang telah Allah dan Rasul-Nya perintahkan. Dan selayaknya pula
seorang muslim tidak boleh mengikuti apa yang dilakukan oleh orang-orang kafir.
Childfree merupakan pemikiran yang menyimpang dari ajaran Allah subhanahu wa ta’ala
dan Rasul-Nya.
Namun, apabila pasangan suami istri
memang tidak dikaruniai keturunan oleh Allah (bukan disengaja) maka ini tidak
termasuk pada kategori childfree sebagaimana yang telah di maksud pada
penjelasan di atas.
Berikut akan kami sampaikan kerugian
atau sisi negatif dari Childfree:
1. Dari sisi
Agama
a. Menyelisihi
perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan tuntunan Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wa sallam. Ini adalah kerugian terbesar.
b. Kehilangan
kesempatan untuk mendapatkan amal jariyah dari anak yang saleh. Ini adalah
termasuk kerugian terbesar dari pasangan suami istri yang memutuskan untuk
childfree.
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ
عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ
وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal
dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu); sedekah jariah,
ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh.” (HR. Muslim, no. 1631)
c. Tidak merasakan
kesempatan mendapatkan penyejuk mata dan penyenang hati (qurrota a’yun) padahal mampu. Allah
subhanahu wa ta’ala telah berfirman:
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا
هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا
لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Dan orang orang yang berkata: “Ya Rabb kami, anugrahkanlah
kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati
(kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” (QS.
Al-Furqan: 74)
2. Dari Sisi
Sosial
a. Mendapat stigma
buruk dari lingkungan sekitar dan lingkungan masyarakat yang masih memegang
kuat pepatah “banyak anak banyak rezeki”.
b. Silsilah
keturunan keluarganya terputus.
c. Tidak ada yang
mewarisi harta kekayaannya atau bingung tidak ada orang yang bisa menanggung
utangnya setelah meninggal dunia.
d. Dan lain-lain
3. Dari sisi Psikologi
dan Kesehatan
a. Tidak merasakan
kebahagiaan berkumpul dengan anak dan cucu.
b. Berpotensi besar
mengalami gangguan psikologi jiwanya, di mana seiring dengan bertambahnya usia,
perasaan kesepian terus semakin terasa.
c. Hidup tanpa anak
berpotensi besar dapat memberi pengaruh buruk terhadap kesehatan baik itu pada
bagian kandungan, vagina, payudara, maupun anggota tubuh yang lain.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menganugerahkan kepada kita Hidayah-Nya dan memberikan kita Pertolongan-Nya. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan kita, keluarga kita dan anak-anak keturunan kita sebagai hamba-hamba-nya yang istiqomah berada dijalan yang lurus sampai akhir hayat. Dan akhirnya dimasukkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala ke dalam surga-Nya.
Semoga bermanfaat...
Oleh: Ahmadi As-Sambasy
Cilacap, 19 Agustus 2021
Posting Komentar untuk "Hukum Childfree dalam Pandangan Islam"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.